Foto di atas berbicara banyak. Ketika virus Corona terus menginfeksi manusia di berbagai belahan dunia, berita-berita yang kita baca dan dengar tentangnya juga berlipat ganda di luar kendali kita. Persis sama dengan cara kerja virus.
Infodemik sendiri berarti adanya informasi berlebih akan sebuah masalah, sehingga mengganggu usaha pencarian solusi terhadap masalah tersebut.
Istilah ini dipopulerkan oleh WHO tepat setelah mereka mengumumkan status pandemi dari Covid-19. Infodemik berkaitan sangat erat dengan pandemi ini, seperti yang kita lihat dari reaksi warga dunia nyata dan dunia maya terhadap pandemi pertama yang terjadi setelah kasus Flu Babi H1N1 pada tahun 2009.
Kata kunci dari sebuah infodemik adalah informasi berlebih yang kebenarannya kadang-kadang patut dipertanyakan, dan bagaimana informasi tersebut tidak membantu menemukan solusi dari masalah yang dimaksud. Saya sendiri percaya bahwa sebuah infodemik juga dipicu oleh masalah mental masyarakat modern: FOMO atau Fear of Missing Out, sebuah perasaan takut ketinggalan.
Dengan peran sebagai pembuat ataupun pembaca/pendengar berita, masyarakat modern dengan ponsel pintar dan internet di tangan mereka sepertinya memiliki rasa takut jika tidak dilibatkan, jika tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain, jika ketinggalan berita yang orang lain sudah tahu.
Pembuat berita memanfaatkan betul masalah mental ini, saya tidak berani mengatakan ini penyakit mental, karena semakin banyak berita bisa dibuat akibat ketakutan-ketakutan manusia yang tidak beralasan.
Apakah kita harus tahu detik ini juga berapa orang yang sudah meninggal di seluruh dunia akibat Covid-19?
Apakah kita harus tahu bagaimana para perdana menteri, presiden, dan menteri dari berbagai negara bisa tiba-tiba terinfeksi?
Apakah kita harus tahu nama para korban pertama di negara kita, lengkap dengan alamat rumah dan para kenalan mereka?
Informasi-informasi sejenis ini terus bergulir ke dalam kehidupan kita, sampai-sampai kalau newsfeed kita sepi kita akan merasa ada yang salah. Kita khawatir jika kita tidak tahu banyak hal seperti biasanya. Kita meributkan hal-hal tak penting dan mengabaikan hal-hal paling penting yang seharusnya kita lakukan sekarang.
Bagaimana cara saya melindungi diri saya dan mereka yang saya kasihi dari penyakit ini?
Apa yang dapat saya lakukan untuk meratakan kurva eksponensial penyebaran virus ini?
Apa yang dapat saya lakukan untuk mereka yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung, untuk mereka yang lemah secara fisik, mental, ataupun ekonomi?
Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita cari jawabannya sekarang, alih-alih membiarkan diri kita ditenggelamkan oleh arus deras informasi.
Informasi itu baik. Ia dapat menyelamatkan nyawa. Ia dapat menghubungkan berbagai pemangku kepentingan. Namun informasi juga bisa berbahaya. Ia dapat membuat kita panik dan paranoid. Ia dapat membuat kita menghabiskan waktu dan sumber daya lain untuk memperdebatkan kebenaran informasi itu dengan orang asing yang menantang kita di internet.
Kemanusiaan kita sekarang melampaui dunia yang fisiknya kita lihat; manifestasinya bahkan lebih jelas di dunia internet. Orang-orang saling mendukung, saling menyemangati dengan kalimat-kalimat motivasi di berbagai media sosial. Kita terus mendoktrin diri kita bahwa badai pasti berlalu.
Kemanusiaan kita menghadapi tantangan ketika pandemi ini memaksa kita menerapkan social distancing, memaksa kita berinteraksi dengan sesama kita lewat sebuah cara yang belum begitu familiar.
Pelukan, tepukan di bahu, kecupan di pipi yang biasanya kita lakukan langsung kini beralih ke isyarat-isyarat yang kita berikan lewat video call. Tidak ada lagi kumpul dengan keluarga atau reuni dengan teman; semua orang menjaga jarak supaya mereka yang sakit tidak menulari mereka yang sehat.
Bagaimana kita melihat kemanusiaan kita di saat kita tidak boleh bersentuhan dengan sesama kita?
Bagaimana kita melihat kemanusiaan kita ketika dalam suatu kurun waktu kita dipaksa untuk tinggal di rumah, kita dilarang untuk melihat secara langsung bagaimana dunia di luar sana berputar?
Bagaimana kita tetap merasa sebagai manusia ketika kita khawatir kalau-kalau kita terjangkit dan mengkhawatirkan keluarga/pekerjaan/pendidikan/hal lain di saat bersamaan?
Saya jadi berpikir; mungkin dengan menghentikan infodemik kita akan mendefinisikan ulang kemanusiaan kita. Bagaimana caranya ya?
Berhentilah terobsesi dengan segala macam informasi.
Kita harus mendapatkan informasi yang cukup dari sumber yang terpercaya. Informasi yang memadai untuk menyiapkan diri kita menghadapi kemungkinan terburuk, untuk tidak mudah menghakimi dan lebih welas asih terhadap sesama, dan untuk bisa berpikir jernih sepanjang waktu.
Infodemik membuat kita tidak mampu melakukan semua itu. Infodemik melumpuhkan akal sehat dan kemanusiaan kita. Infodemik mengeluarkan semua sifat buruk yang kita punya.
Ini yang kita tahu. Media mainstream tetap lebih baik dari portal berita online yang baru diluncurkan kemarin sore. Pernyataan pers dari pemerintah tetap lebih terpercaya daripada pesan berantai yang di-forward dalam grup-grup Whatsapp.
Kita tidak perlu tahu semua hal. Kita cuma perlu informasi yang cukup untuk tetap tegar dan bertindak benar.
Seandainya setiap manusia bersedia melakukan hal yang saya sebutkan di atas, adanya infodemik tidak akan mempengaruhi kita sama sekali. Kita bisa tetap fokus melawan pandemi ini, dan tidak teralihkan oleh ketakutan dan rasa tidak aman yang kita ciptakan dalam kepala kita sendiri.
Dan pada saatnya nanti kita akan mendefinisikan ulang kemanusiaan kita. Kemanusiaan yang merangkul semua orang, tanpa memandang ras, agama, dan asal-usulnya. Kemanusiaan yang membuat kita sadar bahwa kita sedang sama-sama berperang karena virus ini tidak pandang bulu. Kemanusiaan yang memberikan kita kekuatan dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Semuanya akan baik-baik saja. Dan ini dimulai dari cara kita me-manage informasi yang kita terima. Apakah kita akan membiarkan infodemik terjadi dan merugikan kita di kemudian hari?
PS: Versi bahasa Inggris tulisan ini bisa diakses di sini, jika Anda berminat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H