Istilah ini diperkenalkan dan digalakkan oleh WHO, dan di antara netizen +62 muncul sebagai tagar #dirumahaja.
Social distancing, ada juga yang menerjemahkannya sebagai peregangan sosial, adalah sebuah usaha sadar untuk menghindari orang-orang yang berkumpul, kerumunan massa, dan menjaga jarak antara 1.8 sampai 2 meter dengan orang lain.
Covid-19 menular melalui cairan tubuh orang yang terinfeksi, yang keluar melalui air mata, kelenjar keringat, dan bersin. Oleh karena itu etika bersin digalakkan kembali dan berjabat tangan tidak dianjurkan, supaya antar orang tidak ada kontak dengan cairan tubuh. Jarak 1.8 sampai 2 meter sendiri ditetapkan sebagai jarak aman dimana cairan yang bisa menginfeksi tersebut tidak sampai ke tubuh orang lain.
Setiap negara menentukan angka yang berbeda-beda untuk mendefinisikan kerumunan massa. Di bulan Februari 2020 negara Swis pernah melarang kegiatan berkumpul lebih dari 1000 orang yang membuat batalnya pameran otomotif terbesar di negara itu (Geneva Motor Show 2020). Seiring dengan peningkatan jumlah orang terinfeksi Covid-19, Swis menurunkan angka ini menjadi 100 orang.
Penurunan angka batas ini berkorelasi dengan penurunan probabilitas orang yang seharusnya sudah dikarantina (tapi belum dikarantina, karena tidak menunjukkan tanda-tanda sakit) menulari orang lain. Bagaimana dengan di Indonesia? Sampai detik ini saya belum menemukan pembatasan jumlah orang berkumpul oleh pemerintah Indonesia.
Pembatasan jumlah orang berkumpul dan pembatasan jarak antar orang sejauh 1.8 sampai 2 meter saya pikir sulit diterapkan di kota-kota besar di Pulau Jawa. Tingkat kepadatan penduduk bisa dibilang tinggi dan ada banyak transportasi massal yang tanpa disadari bisa menjadi medium penularan penyakit (apapun, bukan hanya Covid-19).
Tadi sore saya menerima SMS dari BNPB yang menyarankan jarak antar orang minimal 1 meter. Setelah membaca teks itu saya mengangkat wajah dan menatap Mbak kasir di Indo***** yang sedang membungkus barang belanjaan saya.
Toko itu kecil dan padat dengan barang, jarak antara saya dan dia hanya sekitar 40 centimeter saja. Yang patut diapresiasi, si Mbak kasir sudah mengantisipasi kontak dengan banyak pelanggan dengan cara memakai masker selama melayani transaksi. Saya lihat di sisi kiri mesin kasir juga ada botol berisi hand sanitizer.
Menurut saya, pemerintah perlu memperhatikan orang-orang yang bekerja di dalam ruangan yang tidak terlalu besar seperti ini. Para pramuniaga toko, para tukang bangunan, para petugas admin di kantor jasa pengiriman paket, hanyalah sedikit dari sekian banyak profesi yang mungkin tidak memiliki informasi yang memadai tentang Covid-19 namun memiliki resiko penularan yang tinggi akibat kondisi lingkungan kerja mereka.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan memperkenalkan satu lagi istilah yang bisa jadi cepat populer jika hoaks terkait Covid-19 tidak mereda juga.