Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dan Hari Ini Pun Akan Berlalu

15 Maret 2020   21:22 Diperbarui: 15 Maret 2020   22:45 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya lelah.

Sejak kemarin saya bergerilya di banyak grup WA dimana saya tergabung, mencoba sekuat tenaga mempertanyakan semua informasi yang bersliweran, menantang setiap berita yang berbau hoaks, dan mengingatkan sesama ibu untuk tidak panik.

Gara-gara "perang" ini saya sampai tidur siang selama 2 jam kemarin dan hari ini. Tumben ....

Otak rasanya panas, hati rasanya mendidih. Ini ibu-ibu yang akan mendidik anak-anaknya berlogika dan bernalar lho. Bukan soal mengajari anak apakah sebuah permukaan memiliki sudut 180 derajat, bukan soal bisa hafal nama-nama planet di tata surya saat anak bertanya, hanya soal menanamkan kemampuan sederhana:

Kalau terima info, apapun itu, saring dulu. Dengan logika dan nalarmu.

Kalau tidak yakin, cari sumber informasi lain. Ada banyak jalan ke Roma, eh ke Google.

Kemampuan sederhana begitu kenapa masih banyak ibu yang teledor, tidak mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari anaknya? Bukan karena kemampuan ekonomi atau latar belakang pendidikan si ibu kok.

Ke sekolah mengantar anak dengan mobil Alphard, kuliahnya menurut Facebook di USA. Bukan karena ibu kurang uang atau tidak terdidik sehingga menjadi orang yang mudah sekali termakan dan menyebarkan hoaks.

Kalau begitu, kenapa mudah sekali men-forward berita dengan kalimat pembuka: Ga tau bener ga tau engga, tapi buat kita waspada aja?

Sontoloyo.

Iya, ini tulisan masih tentang kekesalan terhadap sesama ibu. Bukan terhadap Covid-19 yang seharusnya menjadi perhatian kita sekarang, tapi terhadap orang-orang yang memiliki bibit kecemasan dan kepanikan dan tidak mau merasakannya sendirian.

Mereka harus menyeret orang lain ikut masuk ke jurang nestapa khayalan yang mereka ciptakan sendiri di dalam kepala mereka. Mereka terlalu tidak percaya diri untuk merasa takut sendirian.

Sontoloyo. Lagi.

Jadi, apakah saya tidak boleh merasa takut?

Itu pertanyaan seorang ibu waktu saya tadi menegur dia LAGI tentang hoaks yang dia sebarkan.

Jawaban saya begini, saya kutip as is, "Level ketakutan setiap orang berbeda-beda. Memperbesar ketakutan itu di luar batas kewajaran dan menyalurkannya di grup WA, hanya mengakibatkan kegelisahan yang tak perlu dan kepanikan di hati kita yang sedang berusaha supaya tetap tenang."

Balasannya: Ya makanya saya share di sini supaya ga pada kemakan hoaks.

Sontoloyo. Lagi. Lagi.

Situ yang menyebarkan hoaks terus sekarang sok peduli sama orang lain? Tepuk tangan dulu, dong.

Saya mencatat hari ini dengan pengetahuan bahwa hari ini pada akhirnya pun akan berlalu. Semua keresahan yang kita rasakan hari ini akan kita lihat kembali di masa depan dengan perasaan lega, "Ya, saya sudah berhasil melaluinya."

Atau jangan-jangan dengan perasaan menyesal, "Seharusnya saya tidak lebay waktu itu."

Pilihan ada di tangan kita.

Apa hubungan judul tulisan ini dengan foto di atas?

Itu foto waktu saya berumur 2 tahun di rumah pertama yang saya bisa ingat. Saya menjalani hari-hari yang begitu indah di sana. Kami memiliki tetangga yang begitu baik, Pak Harto dan keluarganya. Pak Harto memiliki tiga orang anak laki-laki, Om Erik yang seorang dokter, dan dua adik kembarnya.

Saya tidak ingat nama kedua adik Om Erik. Yang saya ingat, saya sering sekali dititipkan di rumah mereka waktu orang tua saya harus menghadiri acara keluarga seperti pernikahan dan pemakaman. Di rumah mereka saya pertama kali memakan sosis. Kenangan yang indah.

Kami yang pertama kali pindah dari kompleks itu, disusul oleh Pak Harto yang tak lama kemudian meninggal karena stroke. Bapak saya masih bertemu beberapa kali dengan Pak Harto sebelum beliau berpulang. Sedihnya, kami anak-anaknya sudah putus hubungan.

Mungkin anak-anak Pak Harto sekarang menjadi pembaca Kompasiana. Mungkin dengan artikel ini kami bisa menjalin silaturahmi kembali.

Hari yang indah pun berlalu. Hari yang tak indah akan bernasib sama. Untuk setiap hari yang diberikan kepada kita untuk kita jalani, kita bersyukur. Untuk setiap pagi dimana kita masih bisa bernafas, kita berserah.

Itu karena kita punya iman dan pengharapan.

Selamat tabah menjalani masa-masa sunyi karena virus ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun