Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Lu yang Salah, Lu yang Galak"

8 Maret 2020   00:31 Diperbarui: 8 Maret 2020   00:43 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: clipart-library.com

Bukan, kalimat di atas bukan kata-kata saya. Kalimat tersebut adalah bagian dari kampanye iklan sebuah merk rokok tanah air. Merk yang dimaksud sempat jadi bahan pembicaraan pada tahun 1998 dengan slogan NATO, No Action Talk Only, alias om(ong)do(ang).

Sejak penghujung tahun lalu merk rokok itu kembali agresif menghiasi billboard-billboard di berbagai jalan raya dengan kalimat-kalimat yang sederhana namun mengajak kita berpikir.

Lu yang salah, lu yang galak.

Belum pinter kalau belum komen.

Baru dua kalimat itu yang saya lihat bersliweran, tapi oh alangkah tepatnya untuk menggambarkan kondisi sosial masyarakat "jaman now" ini.

1. Lu yang salah, lu yang galak.

Pernah menghadapi situasi ini? Ada orang yang berbuat salah terhadap kita, menyerobot hak kita, tapi justru ia yang marah-marah pada kita. Contoh paling nyata terjadi di jalan raya. Ada banyak motor yang melawan arus setiap harinya. Begitu ditegur karena mengganggu arus lalu lintas yang seharusnya, eh dia yang nyolot.

Gua lagi buru-buru.

Lu apa ga liat kalau lagi hujan?

Puter baliknya jauh, tauk!

Hanyalah sedikit dari sekian banyak alasan yang dikeluarkan untuk melegalkan tindakan yang jelas-jelas melanggar hukum.

Melawan arus tidak hanya mengganggu ketertiban lalu lintas,  tapi juga bisa membahayakan pengendara kendaraan bermotor lain. Bayangkan jika Anda sedang tenang menyetir tiba-tiba ada kendaraan dari arah sebaliknya muncul di depan kendaraan Anda. Syukur-syukur kalau Anda masih bisa menginjak rem atau membanting setir supaya tidak terjadi tabrakan. Kalau tidak?

Sayangnya orang-orang yang melanggar aturan sangat sederhana dan masuk akal seperti ini biasanya tidak terima kalau diberi tahu. Ujung-ujungnya dia marah-marah ke kita. Ujung-ujungnya kita jadi bertanya-tanya ke diri sendiri, "Dia yang udah ga waras, apa gua sih?"

Tadi sore saya melihat tetangga di dekat rumah bertengkar. Sang suami memarkirkan mobilnya terlalu dekat ke tiang pergola padahal masih banyak ruang kosong di teras itu. Terdengar suara benturan yang membuat kami semua menoleh.

Sang istri berteriak kaget dan langsung mencek kondisi bemper depan. Ada lecet dan dia mulai mengomel. Suaminya tidak terima disalahkan; dia ngotot kalau lecet itu sudah ada sebelumnya. Mereka pun bertengkar dan sayup-sayup saya mendengar sang istri berkata, "Lu yang salah, lu yang galak."

Terlepas dari siapa yang benar atau salah dalam kasus di atas, saya harus mengakui efektivitas iklan merk rokok itu. Kalimat itu bisa ada di top of mind seorang ibu rumah tangga yang saya tahu tidak merokok. Saya cepat-cepat melipir pergi sebelum saya mendengar kalimat bernada tidak enak lainnya.

 

2. Belum pinter kalau belum komen

Sejak Pilpres 2019 saya unfollow semua akun media sosial yang terang-terangan mendukung salah satu capres. Bukan karena saya tidak punya pilihan politik, tapi karena akun pendukung itu pada akhirnya berisi sindiran, ejekan, bahkan sampai caci maki terhadap salah satu kandidat.

Pola yang dipakai biasanya begini: mengunggah sebuah artikel dari media online, pakai caption yang provokatif dan pastinya clickbait, dan taraaa ... bisa dipastikan lovers dan haters capres yang diusung oleh akun itu akan berdatangan seperti laron.

Akun-akun yang memberi komentar mulai dari akun orang yang benar-benar ada sampai akun robot yang isinya hanya nama dan foto diri, tanpa informasi yang lain. Satu kesamaan mereka semua adalah mereka gampang sekali disulut, oleh caption pemilik akun dan oleh komentar dari akun lain.

Seakan-akan ada kewajiban untuk bersuara terhadap segala isu.

Seakan-akan ada desakan untuk selalu mengeluarkan pendapat pribadi.

Seakan-akan komentar kita mewakili tingkat intelegensia kita.

Seakan-akan komentar kita akan membuat kita lebih dihargai dan didengarkan oleh orang lain.

Semuanya itu ilusi saja, saudara-saudara. Dunia maya memberi kita ilusi bahwa keberadaan kita itu penting dan berarti. Kita pun menempuh segala cara untuk mencapai tingkat gengsi yang kita inginkan. Saat reputasi penting itu gagal diraih, kita jadi frustrasi sendiri.

Menyedihkan.

Untuk diri saya sendiri, saya sudah menahan diri untuk memberi komentar di:

1. akun media sosial yang saya tidak kenal secara pribadi,

2. akun media sosial yang membahas isu yang saya tidak kuasai.

Hidup saya jauh lebih tenang sekarang. Daripada hanya memberi komentar di status/posting orang lain, lebih baik saya menanggapinya dengan sebuah tulisan.

Seperti artikel ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun