Aku ingat kata bapakku, "Untuk setiap masa, ada orangnya." Untuk masa ketika aku sendirian dan kesepian di negeri orang, ada dia yang datang padaku. Untuk masa yang telah aku lewati bersamanya, aku bersyukur.
Cerita yang ketiga membuat debar di dada. Bukan karena masih cinta atau rindu berat, tapi karena rasa takut dan amarah. Sedari awal orang tuaku tak setuju; mereka memberikan berbagai alasan absurd dan tak absurd untuk menjelaskan insting mereka sebagai orang tua. Kegagalan-kegagalan sebelumnya membuat aku keras kepala. Aku harus mencoba dulu, mungkin dia orangnya.
Waktu aku bilang kalau aku mencari pendamping hidup, si mantan tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Kita masih muda, kenapa tidak lihat saja nanti bagaimana?" Saat itu ada suara kecil yang aku abaikan, "Bukan ini orangnya, kamu hanya membuang waktu."
Aku terus bertahan sampai di satu titik bapak memberi ultimatum, pilih mereka atau dia. Jawabannya sudah jelas, cinta bangkit dan tenggelam, tapi orang tuaku hanya ada dua.Â
Saat berpisah pun aku tak menangis. Ini hanya keputusan yang kutunda. Kepedihan hati sudah ditabur perlahan-lahan, dipupuk dengan sakit yang diabaikan, dan akhirnya kami menuai perpisahan.
Selang beberapa bulan setelah itu, aku bertemu dengan pria yang sekarang menjadi suami dan ayah dari anak-anakku. Sebuah pertemuan singkat yang berlanjut ke rasa tertarik hanya karena aku melihat dia bermain gitar di depanku. Dan bagi dia aku menarik (malah sedikit menyebalkan) karena aku mengoreksi bahasa Inggrisnya.
Tak diragukan lagi, aku akan menikahinya. Dia pun punya keyakinan yang sama, sehingga dia berani memintaku membatalkan rencana studi ke jenjang berikutnya. Sebuah keputusan yang tidak berat, tidak sebanding dengan keberadaan pria ini di hidupku saat itu dan seterusnya.
Tiba-tiba si mantan muncul kembali. Ketika berpisah dia masih memiliki masalah dengan mata (strabismus). Kondisi ini membuat dia gagal mendapat pekerjaan selama hampir 1 tahun.Â
Penyebabnya selalu sama, pihak perusahaan tidak bisa menebak arah matanya dan oleh karena itu wawancara menjadi tidak nyaman. Kondisi menganggur dan rendah diri melihat aku yang sudah bekerja membuat dia sering marah tanpa alasan. Waktu itu mungkin aku bertahan bukan karena cinta, tapi karena sudah enggan mencari yang lain.
Setelah kami berpisah, dia menjalani operasi mata dan harus rela menjadi "buta" selama 1 bulan. Menurutnya dia sudah berkorban banyak untukku, jadi dia murka saat tahu aku sudah menjalin hubungan yang baru. Untung kami terpisah kota, jadi cukup dengan mengganti nomor telepon genggam aku pun lenyap dari pantauannya.
Masalah mulai timbul ketika ada media sosial. Dia membuntutiku dan mengirim pesan bertubi-tubi. Aku tidak takut padanya; aku marah. Aku tidak mau diganggu. Keputusannya untuk menjalani operasi tidak ada sangkut paut denganku, kenapa sekarang aku dituntut untuk bertanggung jawab atas pengorbanan dan perasaannya?