Kemarin saya mengunjungi situs Kompasiana dan saya tertarik melihat topik tulisan yang dipilih, yaitu tentang naik jabatan.
Naik jabatan. Naik pangkat. Promosi.
Apapun istilahnya, inti dari semuanya itu adalah penambahan tanggung jawab, wewenang, dan (semoga) remunerasi bukan?
Sebagai budak korporasi yang pernah berkecimpung di dunia Human Resources, saya melihat persoalan naik jabatan sebagai persoalan pelik. Mengapa? Karena jumlah kotak di struktur organisasi sedikit, namun orang yang mau mengisi kotaknya kelewat banyak.
Setiap karyawan baru yang mengisi jabatan di level apa pun tentu berharap tidak tinggal di jabatan itu selamanya. Seorang admin bermimpi menjadi officer, officer bermimpi menjadi manager, manager bermimpi menjadi head, head bermimpi menjadi director, dan seterusnya. Naik kelas/naik tingkat adalah natur manusia; tidak banyak manusia yang bisa puas dengan kondisi yang itu-itu saja.
Kalau jumlah kotak dan jumlah orang tidak sebanding, bagaimana caranya seseorang bisa naik jabatan?
Ada dua pihak yang harus berperan dalam proses naik jabatan, yaitu:
1. Karyawan
Mau naik jabatan, tapi pekerjaan tidak pernah diselesaikan tepat waktu. Mau naik jabatan, tapi malas ikut training untuk meningkatkan skill. Mau naik jabatan, tapi selalu menolak tanggung jawab baru. Karyawan seperti ini pada umumnya tidak akan pernah mendapat promosi (saya tidak berbicara dalam konteks perusahaan keluarga atau karyawan yang diterima bekerja karena ada koneksi "orang dalam").
Kalau mau dipromosikan, karyawan harus aktif meng-upgrade attitude dan skill-nya. Kenapa attitude disebutkan lebih dahulu daripada skill? Karena tanpa attitude, skill secanggih apa pun tidak akan bisa membuat pekerjaaan membuahkan hasil.
Seorang karyawan pintar mencari celah untuk menekan biaya produksi, tapi dia sering sekali menggosipkan bosnya. Apa banyak orang akan senang jika dia mendapat promosi?