Dalam kondisi terpuruk seperti itu, apakah OSS membela diri habis-habisan? Dia bisa berkoar-koar bahwa dia mengedepankan etika dan praktek bisnis yang sehat, tapi apakah itu yang dia lakukan?
Tidak. Pada akhirnya dia resign, Saudara-saudara.
Kalimat-kalimat penyesalannya saya rangkum sebagai berikut:
- It is all my fault.
- I could have done better, but I didn't.
- I should do better.
- People are suffering because of me.
- There is nothing else I can do for my team.
- Leaving is the best thing I can do for everyone.
Cara OSS tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Yang jelas dia berbesar hati mengakui kalau dia sudah gagal dan mengecewakan orang lain.Â
Sebelum resign pun OSS tidak ndablek, tetap ngotot kalau dia paling benar. Tidak. Dia mendengar pendapat dan saran dari koleganya, dia mencari tahu apa yang terjadi di luar timnya, sampai akhirnya dia sampai pada keputusan pahit: harus mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya mengabdi selama lebih dari 15 tahun.Â
Dia melakukan itu demi kebaikan semua orang, demi kebaikan GR dan anak buahnya yang lain.
Bukan cuma karakter OSS dalam drama Misaeng, dalam banyak drama lain banyak terlihat kualitas seorang pemimpin yang menurut saya ideal:
- Bertanggung jawab, bukan hanya soal mencapai target tim tapi juga soal mengajari anak buah.
- Bertanggung jawab atas hasil pekerjaannya sendiri dan hasil pekerjaan anak buahnya.
- Mau mengakui kesalahan dan kekurangan.
- Mau berjanji untuk memperbaiki diri dan mencoba lebih baik lagi jika diberi kesempatan.
- Mendengarkan pendapat dan saran dari luar timnya.
- Tidak gampang menyalahkan orang lain.
Apa khayalan saya benar kalau pemimpin di negeri asal drakor memang dituntut untuk memiliki kualitas seperti itu? Bagaimana dengan di negara +62?
Eng ing eng, silakan Google sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H