Perdebatan tentang isu kedatangan (atau keberadaan?) TKA buruh kasar dari China menghiasi timeline media sosial saya (terutama Facebook) selama dua pekan terakhir. Sebagai mantan pekerja korporasi yang bergelut di bidang Human Resources sangatlah menarik untuk mengamati sudut pandang dan standpoint dari para bekas kolega, dan juga komentar-komentar yang dilontarkan oleh teman-teman mereka terhadap status-status di medsos yang berkaitan dengan isu ini.
Saya tidak akan membahas tentang Perpres yang kontroversial itu, data perbandingan TKA terhadap TKI di Indonesia, data TKI yang bekerja sebagai buruh kasar di luar negeri dan sumbangsih mereka terhadap devisa negara, dan hal lain yang berkaitan, karena sudah terlampau banyak artikel yang ditulis oleh orang-orang dengan sejuta latar belakang dan bahkan semiliar pendapat pribadi, dengan atau tanpa didukung oleh data yang valid.
Yang saya ingin soroti kali ini adalah suatu pernyataan yang saya lihat muncul berulang kali secara acak di kolom komentar suatu status. Pernyataan itu muncul pada status beberapa orang yang bukan mutual friends dan dilontarkan oleh kenalan-kenalan mereka yang sejauh yang saya tahu tidak punya kesamaan komunitas yang memungkinkan mereka untuk menyuarakan (atau mengulang-ulang) satu pendapat yang sama. Pernyataan itu berbunyi, “Pemerintah seharusnya menyediakan/melindungi lapangan kerja untuk rakyatnya.”
Haruskah? Wajibkah?
Coba kita tarik ke belakang ke bagaimana suatu pemerintah bisa terbentuk. Ada sekumpulan orang yang mendiami suatu wilayah. Mereka bisa jadi satu ras, bisa juga tidak, intinya mereka sepakat untuk mendirikan suatu entitas yang bernama negara dengan seperangkat aturan untuk mengatur dirinya sendiri dan mengatur hubungan antara negaranya dengan negara-negara lain. Jumlah rakyat dalam satu negara hitungannya bukan puluhan atau ratusan, tapi lebih dari itu yang mengharuskan munculnya administrator untuk mengatur kehidupan sehari-hari rakyatnya supaya tetap aman, tenteram, sejahtera, dan sederet kualitas baik lainnya.
Administrator itu yang disebut pemerintah. Ada yang dipilih dari antara rakyat dan disebut sebagai wakil rakyat dengan masa kekuasaan terbatas. Itulah sistem demokrasi yang banyak dipakai negara di dunia saat ini.
Ada juga yang berupa keluarga dan keturunan yang merupakan penghuni mula-mula dari suatu wilayah. Keluarga ini beranak-cucu, bertambah banyak, dan akhirnya punya cukup rakyat untuk mendeklarasikan diri sebagai suatu negara. Masa kekuasaan pemerintah tidak terbatas selama keluarga itu masih menghasilkan penerus, dan tentu saja selama rakyat negaranya tidak ingin menghentikan sistem monarki tersebut.
Sistem monarki dewasa ini biasanya sudah dipadankan dengan sistem demokrasi, dengan monarki dipertahankan sebagai lambang negara dan kabinet yang dipilih oleh demokrasi sebagai pelaksana pemerintahan.
Oke, cukup sudah gambaran singkat tentang terbentuknya pemerintah dan apa yang mereka lakukan.
Salah satu bekas kolega saya mempertanyakan komentar temannya tentang kewajiban pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja. Teman dari bekas kolega saya itu menjawab, “Pemerintah kan sudah dibayar dari pajak rakyat, jadi mereka harus kreatif dong menciptakan lapangan kerja. Mereka juga harus pasang badan untuk melindungi buruh kita dari serbuan buruh asing.”
Iya, memang betul pemerintah dan seluruh aparaturnya digaji dengan pajak rakyat, uang saya dan Anda yang kita setor untuk memastikan hidup bernegara kita berlangsung teratur. Tapi apa benar pemerintah wajib menciptakan lapangan kerja untuk saya dan Anda?
Penyelenggaraan administrasi suatu negara melibatkan berbagai macam jenis pekerjaan dengan beragam job description. Jika negara perlu militer untuk melindungi wilayahnya, maka pemerintah memerlukan tentara. Orang-orang direkrut, diberikan pendidikan dan pelatihan supaya memenuhi job specification seorang tentara.
Jika negara perlu orang-orang untuk mengawasi perlintasan barang antar negara, maka pemerintah merekrut orang-orang untuk bekerja di bea cukai. Pemerintah bahkan merasa perlu mendirikan sekolah khusus untuk menghasilkan lulusan yang langsung siap dan sigap bekerja di bidang bea cukai.
Jika menilik aktivitas pemerintah sekarang yang sedang giat membangun infrastruktur, maka wajar ada banyak lapangan kerja yang tercipta, mulai dari supplier yang menyediakan material sampai dengan pekerja konstruksi di lapangan.
Lapangan kerja yang sudah saya contohkan di atas, mulai dari tentara, petugas bea cukai, supplier dan pekerja infrastruktur dibuat karena ada kebutuhan, bukan karena pemerintah mencari-cari cara untuk membuat lapangan kerja. Lapangan kerja adalah suatu akibat dari sebab yang jelas, bahwa pemerintah menjalankan amanat yang diembannya untuk memfasilitasi kehidupan rakyat di wilayahnya. Lapangan kerja muncul bukan karena pemerintah wajib menyediakannya; dia adalah suatu akibat dari tindak-tanduk pemerintah untuk menyediakan kebutuhan rakyatnya.
Pertanyaan lanjutannya adalah, siapakah yang wajib menyediakan lapangan kerja? Pemerintah atau rakyat? Ada pekerjaan-pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah karena ada kebutuhan akan pekerja untuk melangsungkan administrasi negara, namun rakyat perlu berpikir dan bertindak kreatif dalam mencari penghidupannya. Dalam hal lapangan kerja yang diciptakan oleh pemerintah atau rakyat, pemerintah bertindak sebagai regulator yang membuat Undang-undang, Peraturan, dan Keputusan-keputusan lain sebagainya yang mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif dan menyatakan kewajiban dan melindungi hak pekerja.
Sulitkah berpikir dan bertindak kreatif untuk menciptakan lapangan kerja?
Saya lahir di tahun 80-an dengan orang tua yang bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta. Lingkungan bertetangga saat itu di Bandung bisa dikatakan homogen, kelas menengah-cukup dengan suami-istri yang bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta. Saat itu adalah masa pemerintahan Orde Baru dimana kebebasan berserikat dan berpendapat sangat dikekang oleh pemerintah. Satu-satunya serikat pekerja yang ada di berbagai pabrik adalah SPSI, yang tentu saja merupakan bentukan pemerintah. Demo buruh menuntut perbaikan kesejahteraan bisa dibilang tidak ada, apalagi pernyataan bahwa pemerintah wajib menyediakan lapangan kerja.
Yang saya lihat dari angkatan orang tua saya adalah kemauan dan kemampuan mereka untuk menciptakan lapangan kerja mereka sendiri. Ayah saya adalah seorang pengacara. Di saat tidak ada klien, yang artinya tidak ada pemasukan, dia memberi les bahasa Inggris pada anak SMA. Ketika itu tidak ada serikat pengacara yang bisa menuntut pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja; satu-satunya jalan untuk menambah penghasilan adalah dengan melakukan pekerjaan lain.
Ibu saya adalah seorang dosen bahasa asing di sebuah perguruan tinggi negeri dengan take home pay yang sangat bergantung pada golongan pegawai negeri (mengurus kenaikan golongan pegawai negeri bukanlah hal yang mudah). Di saat kebutuhan hidup bertambah karena biaya sekolah anak-anak yang bertambah, beliau rela bekerja ekstra memberikan les bahasa Jerman mulai pukul lima sore sampai pukul sembilan malam dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu supaya bisa mengirimkan kami ke sekolah swasta yang bermutu.
Tetangga kami adalah seorang pegawai di PT Dirgantara Indonesia (dulu dikenal sebagai Nurtanio) yang hidup sangat berkecukupan. Mereka adalah orang pertama yang memiliki mobil di kompleks perumahan kami. Saat Nurtanio bangkrut dan terjadi pemecatan massal, bapak itu menggunakan uang pesangonnya yang tidak seberapa untuk membeli angkot dan membuka warung kelontong. Awalnya dia menarik sendiri angkotnya sampai lama-lama dia bisa mempekerjakan sopir dan menambah armada angkot, dan tentu saja jumlah sopir.
Posisi terakhir bapak itu di Nurtanio adalah manager, tapi beliau tidak ngotot pemerintah harus mencarikan pekerjaan lain untuknya, memberikan solusi keuangan supaya dia bisa tetap membiayai sekolah ketiga anaknya dan mempertahankan gaya hidup yang sudah terlanjur tinggi. Bapak itu bergerak maju dengan apa yang ada, mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Hidupnya mungkin tidak senyaman dulu, tapi rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap keluarga membuat dia berpikir dan bertindak kreatif. Bahkan di usianya yang kepala enam, seperti kedua orang tua saya sekarang, bapak itu dan istrinya tetap tekun berwirausaha karena mereka ingin mandiri secara finansial di masa tua mereka.
Kedua orang tua saya dan tetangga mereka hanyalah sedikit contoh dari sebuah sikap mental yang mungkin tidak akan terbentuk jika saja kelas pekerja pada jaman Orde Baru memiliki suara dan merasa berhak mengajukan tuntutan. Sebuah sikap mental yang tidak mudah menyerah pada keadaan, yang mau berjuang dan bekerja keras untuk masa depan yang lebih baik. Sebuah sikap mental yang percaya bahwa nasib bisa diubah oleh orang-orang yang berusaha dan berdoa.
Menurut hemat saya sikap mental seperti itu perlu dipertahankan oleh kita, bangsa Indonesia, kalau kita mau menjadi bangsa yang maju. Siapapun presidennya, siapapun menterinya, kalau kita percaya kita bisa mengubah nasib dengan bekerja keras kita akan jeli untuk mencari peluang kerja, atau bahkan menciptakan lapangan kerja.
Sebagai ibu rumah tangga yang memiliki anak-anak yang masih menempuh pendidikan di sekolah, masukan dan kritikan saya pada pemerintah akan saya batasi pada visi dan misi pemerintah untuk dunia pendidikan, yang mereka tuangkan dalam kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan tinggi.
Kurikulum yang ada saat ini mempersiapkan orang untuk bekerja sebagai spesialis, tapi tidak mempersiapkan orang untuk memiliki life skills. Akan tetapi, walaupun kurikulum dari pemerintah saya lihat kurang memadai untuk memperlengkapi anak-anak saya menghadapi kompetisi di masa depan, saya tidak akan hanya menudingkan jari dan menyalahkan pemerintah.
Saya sebagai orang tua, sebagai pendidik utama anak-anak, akan mengupayakan sendiri hal-hal yang saya rasa tidak bisa dicapai/dikuasai dengan pembelajaran yang memakai kurikulum dari pemerintah. Saya akan mencari sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler lain yang bisa menjadi mitra saya untuk mendidik anak-anak supaya tidak hanya pintar secara kognitif, namun juga cerdas dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan.
Pemerintah memang perlu mendapatkan kritik yang membangun, namun terkadang kita harus membatasi diri memberikan kritik supaya kita punya lebih banyak waktu untuk bersikap mandiri, berinisiatif, dan berusaha sendiri.
Kalau kita sekarang merasa tidak menjalani pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan, keahlian, minat, atau apalah, selalu ada pilihan untuk mencari pekerjaan baru. Selalu ada pilihan untuk mencari lapangan kerja yang baru, menguasai keahlian baru, bahkan mencari lokasi kerja di luar Indonesia. Tidak ada hal yang mustahil di era globalisasi dengan kemudahan arus informasi seperti saat ini. Kuncinya hanya dua: 1) selalu mau belajar, dan 2) jangan gengsi.
Saya tahu seorang lulusan teknik komputer yang banting setir membuka butik kebaya karena mendapat warisan dari orang tuanya. Sikapnya yang mau belajar hal baru (belajar macam-macam bahan, belajar menjahit, belajar mensupervisi penjahit, dan sebagainya) dan jeli melihat pasar yang memerlukan produknya membuat usahanya cepat berkembang, bahkan lebih sukses dari waktu masih dipegang oleh orang tuanya. Mengubah profesi paling banter mempengaruhi diri dan keluarga kita; tidak usah pusingkan apa kata orang lain.
Ini hanyalah two cents saya, pendapat seorang ibu rumah tangga di antara milyaran ibu rumah tangga di muka bumi, menanggapi isu pemerintah dan lapangan kerja. Mungkin terlihat sepele, seperti remah-remah rengginang di dasar kaleng bekas Khong Guan, tapi ibu-ibu rumah tangga yang saya tahu, kenal, dan akrabi punya bekal yang kurang-lebih sama untuk putra-putrinya jika menyangkut masa depan dan pekerjaan.
“Nak, belajarlah giat. Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Perlengkapi dirimu supaya siap menghadapi kehidupan yang berat. Jangan menggantungkan nasibmu pada siapa pun, termasuk pada orang tua. Masa depanmu akan cerah jika kamu bekerja keras dan berdoa.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H