Kedua orang tua saya dan tetangga mereka hanyalah sedikit contoh dari sebuah sikap mental yang mungkin tidak akan terbentuk jika saja kelas pekerja pada jaman Orde Baru memiliki suara dan merasa berhak mengajukan tuntutan. Sebuah sikap mental yang tidak mudah menyerah pada keadaan, yang mau berjuang dan bekerja keras untuk masa depan yang lebih baik. Sebuah sikap mental yang percaya bahwa nasib bisa diubah oleh orang-orang yang berusaha dan berdoa.
Menurut hemat saya sikap mental seperti itu perlu dipertahankan oleh kita, bangsa Indonesia, kalau kita mau menjadi bangsa yang maju. Siapapun presidennya, siapapun menterinya, kalau kita percaya kita bisa mengubah nasib dengan bekerja keras kita akan jeli untuk mencari peluang kerja, atau bahkan menciptakan lapangan kerja.
Sebagai ibu rumah tangga yang memiliki anak-anak yang masih menempuh pendidikan di sekolah, masukan dan kritikan saya pada pemerintah akan saya batasi pada visi dan misi pemerintah untuk dunia pendidikan, yang mereka tuangkan dalam kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan tinggi.
Kurikulum yang ada saat ini mempersiapkan orang untuk bekerja sebagai spesialis, tapi tidak mempersiapkan orang untuk memiliki life skills. Akan tetapi, walaupun kurikulum dari pemerintah saya lihat kurang memadai untuk memperlengkapi anak-anak saya menghadapi kompetisi di masa depan, saya tidak akan hanya menudingkan jari dan menyalahkan pemerintah.
Saya sebagai orang tua, sebagai pendidik utama anak-anak, akan mengupayakan sendiri hal-hal yang saya rasa tidak bisa dicapai/dikuasai dengan pembelajaran yang memakai kurikulum dari pemerintah. Saya akan mencari sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler lain yang bisa menjadi mitra saya untuk mendidik anak-anak supaya tidak hanya pintar secara kognitif, namun juga cerdas dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan.
Pemerintah memang perlu mendapatkan kritik yang membangun, namun terkadang kita harus membatasi diri memberikan kritik supaya kita punya lebih banyak waktu untuk bersikap mandiri, berinisiatif, dan berusaha sendiri.
Kalau kita sekarang merasa tidak menjalani pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan, keahlian, minat, atau apalah, selalu ada pilihan untuk mencari pekerjaan baru. Selalu ada pilihan untuk mencari lapangan kerja yang baru, menguasai keahlian baru, bahkan mencari lokasi kerja di luar Indonesia. Tidak ada hal yang mustahil di era globalisasi dengan kemudahan arus informasi seperti saat ini. Kuncinya hanya dua: 1) selalu mau belajar, dan 2) jangan gengsi.
Saya tahu seorang lulusan teknik komputer yang banting setir membuka butik kebaya karena mendapat warisan dari orang tuanya. Sikapnya yang mau belajar hal baru (belajar macam-macam bahan, belajar menjahit, belajar mensupervisi penjahit, dan sebagainya) dan jeli melihat pasar yang memerlukan produknya membuat usahanya cepat berkembang, bahkan lebih sukses dari waktu masih dipegang oleh orang tuanya. Mengubah profesi paling banter mempengaruhi diri dan keluarga kita; tidak usah pusingkan apa kata orang lain.
Ini hanyalah two cents saya, pendapat seorang ibu rumah tangga di antara milyaran ibu rumah tangga di muka bumi, menanggapi isu pemerintah dan lapangan kerja. Mungkin terlihat sepele, seperti remah-remah rengginang di dasar kaleng bekas Khong Guan, tapi ibu-ibu rumah tangga yang saya tahu, kenal, dan akrabi punya bekal yang kurang-lebih sama untuk putra-putrinya jika menyangkut masa depan dan pekerjaan.
“Nak, belajarlah giat. Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Perlengkapi dirimu supaya siap menghadapi kehidupan yang berat. Jangan menggantungkan nasibmu pada siapa pun, termasuk pada orang tua. Masa depanmu akan cerah jika kamu bekerja keras dan berdoa.”