Mohon tunggu...
Rijka HE Maheswari
Rijka HE Maheswari Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Segala sesuatu yang terjadi bukan karena suatu kebetulan, berbahagialah dengan caramu sendiri..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Rindu Seberat Debu

24 Januari 2018   07:27 Diperbarui: 24 Januari 2018   08:55 2062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto:cdn.jurilytics.com

Semenjak kedua mata menjadi indra penglihatan yang luar biasa diberikan oleh Tuhan, ingin rasanya ketika membuka mata, hal-hal yang saya lewati bisa menghilang begitu saja tanpa jejak. Mengharap sesuatu yang saya rasakan tiba-tiba bisa menghilang bak angin lalu. Memutar waktu yang telah lama pergi untuk dihadirkan kembali. Namun hanya seperti arang bekas tumpukan bakar sampah, tersisa sedikit walaupun menghilang. Begitu kisah cinta yang saya alami dengan kekasih hati, dan juga dengan kekasih hidup mati. 

Terjalin begitu lama, menceritakan keindahan suatu tempat berbeda, menceritakan pengalaman masing-masing ketika sama-sama melakukan aktivitas, dan menceritakan apa yang telah dialami dengan pasangan-pasangan yang telah berlalu. Rasanya mendengar suaranya saja, hidup saya sangat sempurna dengan cintanya. Tapi takdir Tuhan dan usaha manusia siapa tahu? Kisah kami berbeda, karena kami mempunyai kehidupan dengan prinsip hidup dari masing-masing orang tua yang berbeda.

Saya mengenalnya dari salam hangat kakak, yang hanya mengenalkan adik kepada temannya, sebatas jabat tangan dan senyum kecil yang tidak memiliki maksut lebih. Tidak lebih. Dia santun, bicaranya tertata dan melihat cara berpakaiannya pun sudah bisa diduga kalau dia adalah orang baik. Kakak pun juga mengenalkannya karena mereka sama-sama teman setugas, teman satu angkatan dan teman yang kerjanya ditempatkan di daerah terpencil. Kami tidak memiliki perasaan apa-apa, karena hanya sebatas menyapa dan berjabat tangan. 

Pernah sesekali dia mencoba menghubungi hanya sekedar bertanya bagaimana kabar, bertanya bagaimana kuliah. Namun siapa sangka, kebiasaannya menjadi aktivitas yang harus saya ketahui. Menyatakan maksud sebenarnya pun dia tak pernah, dan saya juga tidak pernah memaksanya untuk mengatakan. Tapi perasaan kami sama. Kami ingin hubungan baik terjalin.

Hubungan keluarga kami menjadi satu. Itu saja. Hubungan jarak jauh pun kami sempat terjalin, ketika Sabang harus terhubung dengan Jawa hanya lewat suara. Namun dibalik rasa bosan yang dihadapi, saya pun menemukan seseorang yang bisa menyembuhkan rasa bosan saya, menyembuhkan luka hati saya ketika saya butuh seseorang untuk bertemu dan bertatap muka langsung. Hanya untuk mengobati rasa bosan, benci dan rindu kepada seseorang yang jauh menunggu balasan dari rasa bosan saya.

Saya tidak mengerti dengan hati saya, saya tidak ingin menjauh dengan seseorang yang jauh mencintai saya. Tapi di suatu sisi, saya tidak mungkin menjauh dengan orang yang sudah berada di samping saya setiap hari. Menemani saya melewati rasa bosan saya. Melewati rasa rindu saya setiap kali ketika dia menghilang dan mencari saya pun tak pernah. Rindu saya menjadi benci. Ah, menceritakan kejadian ini sepertinya tidak patut, karena saya sudah memilih seseorang yang mau kekasih hidup dan mati saya nanti, yang menjadi pendamping saya, penghibur saat saya bosan. Dia menghilang tanpa kabar apapun. Dan saya selalu membencinya. Janji dan ucapan rindunya menjadi ucapan muak yang saya baca ketika dia pertama kali mengucap rindu kepada saya. Bosan. Tapi tidak pernah saya berhenti untuk membacanya.

Terkadang hati rindu..

Berbuat sesuatupun tak mampu..

Berdoa pada Tuhanpun , dia tak mungkin tahu..

Bahwa rindu ini menggebu..

Kenapa tidak pernah menghubungi saya saja kalau mengucap puisi murahan saja bisa dikirim lewat media. Beralasan sibuk dengan tugas divisi pun pernah jadi alasan, tapi menghubungi sekali saja tidak bisa. Komunikasi macam apa, kalau tidak mau menjelaskan yang terjadi. Iya kan?. Saya juga perempuan, yang tugasnya tidak terlalu agresif untuk tanya semuanya. 

Minimal kalau serius juga kan bisa dari orang tua, menyempatkan datang untuk mendekatkan keluarga misalnya. Tapi dia? Tidak bisa berbuat apa-apa. Menghilang dan muncul mungkin sering dilakukan, sekalian lenyap saja di telan bumi, biar wajah sama badannya tak keliatan. Terlebih tidak perlu diperjelas. Mengecewakan. Keputusan saya, sudah tekad dan saya tidak memilihnya. Tidak dan tidak akan pernah. Hati saya sudah dipermainkan. Lebih sakit ketika saya tidak mendapat nilai "A" di mata kuliah andalan. Sakitnya melebihi orang mau mencabut gigi geraham atas bawah, luar biasa sakit.

Cinta bisa berbalik juga buktinya, ketika mencintai yang lebih berdekatan adalah hal yang wajar. Mencintai orang yang selalu memberikan balasan kasih sayang, semua itu hanya replika jawaban filosofis yang mengatakan bahwa cinta itu buta, mereka yang berpotensi buta cinta akan melakukan apa saja demi orang yang dia cintai, tapi bagi saya, tidak. 

Sebenarnya hanya sesal dalam hati saja menceritakan orang yang tidak pernah hadir dan hanya hadir memberi rindu yang menggantung. Rindu yang tak memberi arti cintanya. Ucap kali dia berkata rindu, rasanya seperti onggokan sampah kering yang dilapisi air sabun cuci. Seperti itulah, dia. Saya hanya menceritakan bagaimana jahat hatinya. Meninggalkan rasa kecewa, membuang harapan jauh untuk tinggal hidup bersama, memadu kasih sayang yang saya simpan tapi dia tidak menyimpannya. Dan saya memutuskan menikah dengan orang yang selalu hadir juga ada untuk setiap hati saya butuh cinta, bukan dia.

Selang sebulan selama pernikahan saya dengan suami sangat bahagia, kami saling melengkapi. Ketika ada rasa amarah di dalam hati, air pun selalu melimpah ruah untuk menenangkan hati. Ketika curiga memuncak, akan selalu ada canda tawa dari bahagia. Kami saling memiliki. Jauh tidak pernah terpikir saya memikirkan seorang yang pernah memenggal rindu dari jauh. Saya benci sampai kapanpun saya membencinya. Dan di ujung pernikahan saya dengan suami, dia kembali memunculkan dirinya hanya dengan berkata lewat pesan singkatnya, "jadi, kau meninggalkan aku untuk dia? Kau tidak menungguku? Dinda, aku rindu, bisakah kita bertemu?"

Saya tidak menyangka selama 3 tahun menghilang, tidak memberikan kabar apapun kepada saya, tapi bagaimana dia tahu saya sudah menikah dengan laki-laki lain. Dia selalu seperti itu, saya rindu tapi hati saya untuk siapa? Ketika saya berpikir untuk menjawab iya, bagaimana suasana hati pasangan saya? Ketika saya menjawab tidak rindupun hati saya hancur terpendam rasa rindu dan kesal yang bercampur jadi satu, ketika saya bertanya pada Tuhan, Diapun pasti akan menyerahkan kembali kepada hati saya. 

Dosa apa terus bertahan seperti ini. Saya memutuskan untuk bertanya kembali tanpa menjawab iya atau tidak kepadanya. Dengan pura-pura mengetahui kehidupannya, seolah tahu yang terjadi padanya, "Kalau saja kau tidak berhubungan dengan wanita itu, pilihan saya adalah kamu. Kau telah meninggalkan ku tanpa alasan dan memberikan kabar. Maaf, aku sudah mempunyai pasangan dan kami bahagia.".Dan dia hanya membalas, "Dinda, bisakah kita bertemu? Aku akan menjelaskan semuanya sekarang. Aku tunggu di depan halte tempatmu bekerja sekarang.Keluarlah aku berada di halte sekarang.".Antara akan mengucapkan iya dan tidak. Iya, karena rindu sesak yang tertahan selama 3 tahun. Dan tidak, karena saya perempuan bersuami, saya sadar akan dosa saya jika bertemu dengan laki-laki lain tanpa ijin suami saya. Dan, saya berpikiran baik menemuinya dan kami tidak lebih dari orang lain yang menyapa ketika bertemu. Dan kami bertemu.

Hati saya hancur, ketika dia bercerita bagaimana ketika dia tidak bisa menghubungi karena tugas di luar pulau terpencil tanpa koneksi jaringan, selama 3 tahun berpindah sampai ke pulau tidak dihuni manusia. Sampai dia mengetahui saya akan menikah dengan laki-laki pilihan saya sendiri. Ketika memulai percakapan dengannya, tampak sekali raut wajahnya, raut wajah yang saya rindukan selama bertahun-tahun, postur badan yang tinggi semampai dan gagah ketika berdiri maupun duduk, ah laki-laki ini.. menghilanglah dari hadapan sekarang atau saya akan menangis dan teriak sekencang-kencangnya. Mulailah percakapannya.

"Dinda, maafkanlah, semua yang kulakukan ini untukmu, tapi kau sudah dengan laki-laki lain yang begitu mencintaimu. Dan diriku juga dengan wanita lain."

"Tak apa, kita tak jodoh." Saya dengan ketus.

"Dinda, aku tertipu dengan teman seangkatanku. Dia yang mencintaiku, tapi aku tidak mencintainya, kau tau kan pasti? Bagaimana orang diberi obat penenang dan pura-pura tertidur berdua".Dia berusaha memebrikan penjelasan.

"kalau kau tak cinta, kenapa kau sampai hati melakukannya hingga kau punya anak sebesar sekarang? Aku tidak bodoh, perempuan waras manapun juga bisa berpikir kalau kau cuma beralasan. Sudahlah".saya berusaha menyudahinya. Tapi air mata ini rasanya ingin berderai. Rindu sekali dengan laki-laki ini, saya percaya dia baik tapi dengan caranya seperti itu, seperti menceritakan kejadian yang sebenarnya.

"Dinda, aku sudah talak dua dengan dia. Satu kali jika kau mengijinkan aku untuk berpisah dengannya, akan kulakukan Dinda. Ini salahku. Aku yang tidak bisa menjagamu, tidak bisa meyakinkanmu. Dinda, aku akan menunggumu sampai kapanpun, tidak peduli selama apapun itu."Jelasnya.

"Pikirkan lah wanita yang mencintaimu, pikirkan lah anak hasil mu dengan dia. Dengan begitu kau juga membalas cintaku. Aku tak cinta lagi padamu, tapi aku sudah memaafkanmu, jangan temui aku lagi. Pergilah seperti dahulu kau pergi tanpa alasan ketika kau mengenalku.Pergilah.."Saya berdiri dan bergegas jalan kembali ke tempat kerja. Hati ini berat, seberat memikul rasa bersalah. Tapi saya sadar, saya wanita bersuami.

Usai sudah pertemuan dengannya, menceritakan kepada saya percuma, walaupun saya bisa rindu tapi rindu saya tidak hanya untuknya. Berkata seperti itu membuat saya terpukul, sakit. Air mata ini terbuang percuma, iya percuma. Saya tidak akan menangisi hati saya dengannya. Menyimpan rindu , membalas rindupun akan terbalas benci, saya memikirkan suami yang begitu mencintai saya. Dan dengan berat hati saya melepaskan kepergiannya. Tak lama selang dia melangkah dan ketika saya terdiam, dia mengirim pesan singkat tanpa harapan membalas. Dan aku, hanya terdiam dan menghela nafas panjang, berharap ini cuma sekilas mimpi buruk yang tidak pernah aku harapkan.

"Akan menunggumu Dinda, aku mencintaimu, sampai kapanpun, jika kau menginginkan aku pergi, aku akan pergi. Tanpa mereka. Jangan pernah mengharapkan aku bahagia dengan rasa bersalah ku kepadamu.. Aku mencintaimu..aku merindukan kebersamaan yang kita janjikan.."

rindu ini, rindu setumpuk beling.. rindu yang seberat debu, jika iya menjadi jawaban terbaik akan kujawab iya, jika tidak.. biarkan saja, biarkan menjadi rindu seperti debu yang dibiarkan terbang terbawa angin..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun