Ramadhan kembali menghampiri kita, berbagai suka dan duka kita rasakan bersama. Bermacam godaan harus kita lawan. Beragam pesan dan nasihat wajib kita terima. Saatnya untuk merefleksikan eksistensi diri di hadapan sang pencipta. Membangun kembali nilai-nilai ilahiyah, melestarikan kualitas ibadah, serta menjaga keimanan yang kokoh menjadi lebih baik. Ramadhan adalah saat paling tepat untuk menahan segala bentuk emosi (dorongan) yang hadir.
Kewajiban berpuasa (shaum), yang diperintahkan Allah bagi hamba-Nya yang beriman, secara hakikat dapat membentuk pribadi bertakwa sebagaimana digambarkan dalam alquran, (Al-Baqarah, 183).Â
Kewajiban tersebut benar-benar dikhususkan bagi orang-orang beriman kepada Allah secara total, bukan untuk mereka yang sekedar mengaku Islam. Juga, bagi mereka yang percaya dan mempercayakan Allah atas hidup dan kehidupannya, bukan untuk mereka yang percaya, namun tidak ridho terhadap takdir-Nya. Â
Tujuan utama spiritualitas Islam adalah untuk membangun kedekatan seseorang dengan Tuhannya. Jika iman berperan membimbing seorang muslim kepada jalan menuju Tuhan, lima rukun Islam memberikan aturan hidup dan petunjuk bagaimana mengarungi jalan tersebut, menghilangkan tembok penghalang antara Allah dengan hamba-Nya.Â
Syahadat merupakan sebuah kesaksian iman, berfungsi menjauhkan seseorang dari pengabdian kepada tuhan-tuhan yang salah dan terbatas. Shalat menjadi ritus ibadah yang akan melepaskan seseorang dari urusan duniawi, zakat menjauhkan seorang muslim dari nafsu kepada harta, haji menjauhkan seorang muslim dari dosa, dan rasialisme. Sementara puasa menjauhkan seseorang dari nafsu jasmaniah dan dorongan-dorongan emosional.
Essensi puasa sesungguhnya bukan sekedar menahan diri dari makan dan minum saja. Lebih dari itu, kita dituntut untuk mampu menahan diri dari segala bentuk nafsu dan emosi yang lahir dalam diri kita.Â
Menahan dorongan untuk tidak berdusta, tidak membicarakan aib orang lain, tidak mengadu domba, serta tidak melakukan hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa.Â
Bentuk emosi yang muncul kerap di rasakan pada sikap yang ditampilkan atas dasar suasana perasaan saat itu. Karena, emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang ditanamkan secara berangsur–angsur yang terkait dengan pengalaman dari waktu ke waktu.
Daniel Goleman dalam bukunya "Emotional Intellegence", mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.Â
Dengan kecerdasan emosional tersebut, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati. Lebih lanjut Goleman mengatakan; kordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik.Â
Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, maka sesungguhnya orang tersebut memiliki tingkat emosionalitas yang baik, dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.
Gambaran di atas sangat berkaitan erat dengan perintah kewajiban berpuasa yang menuntut kita untuk menahan emosi serta menunda kepuasan.Â
Puasa Ramadhan akan membersihkan rohani kita dengan menanamkan perasaan kesabaran, kasih sayang, pemurah, berkata benar, ikhlas, disiplin, terhindar dari sifat tamak dan rakus, percaya pada diri sendiri dan sebagainya.Â
Dengan kemampuan menahan emosi dari segala hal, diharapkan kita mampu membentuk kepribadian yang kokoh, kuat dan berkarakter. Serta mampu mengatur gejolak emosi dan dorongan untuk tidak melakukan hal-hal negatif dan tercela.
Rasulullah Saw. pernah bersabda yang artinya: Ada tiga hal yang apabila dilakukan akan dilindungi Allah dalam pemeliharaan-Nya, ditaburi rahmat-Nya dan dimasukkan ke dalam surga-Nya, yaitu apabila diberi, ia beterima kasih, apabila berkuasa ia memaafkan dan apabila marah ia menahan diri. (HR. Hakim dan Ibnu Hibban)
Hadist di atas adalah cermin dari seseorang yang memiliki kecerdasan emosional. Ia mampu berinteraksi dengan orang lain secara baik dan proporsional. Mampu mengendalikan diri dari nafsu yang liar.Â
Apabila ditelusuri dengan seksama, bagaimanakah seseorang bisa berinteraksi dengan orang lain secara baik dan mampu mengendalikan diri? Jawabannya, karena orang tersebut memiliki "pengetahuan tentang diri," baik diri sendiri maupun orang lain.
Kecerdasan emosional dapat pula menghantarkan seseorang pada dua titik positif dan negatif. Kemampuan mengendalikan emosi yang ada dalam diri kita, akan membawa pada jenjang kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.Â
Seseorang dengan kecerdasan emosional yang tinggi dapat mengatur keadaan jiwa dan pergolakan emosi dalam dirinya, sehingga setiap problematika yang muncul dapat diatasi dengan baik. Sementara orang yang stabilitas emosinya rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif terhadap pikiran dan pergolakan jiwanya.
Kurangnya informasi tentang pentingnya kecerdasan emosional ini, telah menyebabkan diri kita hanyut dalam buaian materialistik, konsumtif dan hedonis.Â
Fenomena tersebut dapat kita saksikan dengan rendahnya aktivitas ritual di bulan suci Ramadhan. Jika di awal Ramadhan ummat Islam berduyun-duyun memakmurkan masjid dengan tarawih dan tadarusnya. Lain halnya kebanyakan yang terjadi di akhir Ramadhan, yang hampir setiap orang disibukkan dengan beragam kepentingan.
Sasaran menggapai kemenangan dan pridikat taqwa nyaris tak tersampaikan. Kita terlalu asyik menghiasi pakaian fisik secara dzahir semata. Di sisi lain kita melupakan kebutuhan akan pakaian dalam jiwa.Â
Kita lebih senang berkunjung dan memadati pasar-pasar tradisional dan supermal-supermal, dibandingkan dengan berlomba-lomba beri'tikaf di masjid atau musholla. Kita lebih merasa malu jika di rumah kita tidak tersedia bermacam-macam makanan, dibandingkan dengan tidak menghatamkan tadarus Al-Quran.
Padahal, puasa termasuk di dalamnya upaya edukasi emosional yang mampu melahirkan individu yang bertakwa dengan karaktersitik pribadi pemaaf, dermawan, dan sederhana.Â
Seseorang yang menjalankan puasa secara ‘hakikat’ (menahan diri dari nafsu) tentu akan berbeda dengan mereka yang berpuasa sekedar mengikuti ‘syariat’ (menahan diri dari makan dan minum saja).
Dengan bekal kecerdasan emosional tersebutlah, seseorang akan mampu mendeterminasi kesadaran setiap orang. Mendapatkan simpati dan dukungan. Serta membangun kebersamaan dalam melaksanakan dan mengimplementasikan sebuah ide atau cita-cita, termasuk mencapai predikat Takwa di sisi Allah.Â
Kemenangan tidak akan sampai tanpa kesungguhan dan kesabaran. Baik sabar dalam menjalankan ibadah, atau sabar dalam menerima musibah. Bentuk kesabaran ini dapat pula diartikan sebagai implementasi dari kecerdasan emosional. Tidak bersabar berarti tidak jatuh cinta.
Semoga tingginya kualitas ibadah puasa dan kemampuan kita dalam menjaga stabilitas emosi yang ada, menjadikan Ramadhan tahun ini kuasa memahami makna akan "konsep diri", dengan senantiasa berkiblat pada perintah Allah dan Rasul-Nya.Â
Mampu menjadikannya dalam jembatan untuk menjumpai Maha Kekasih. Jembatan yang senantiasa harus dijaga. Titiannya harus selalu bersih dari nafsu jelaga. Karena bagi orang-orang beriman, Ramadhan laksana penghapus dahaga. Dahaga atas kasih Maha Kekasih. Wallahu A'lam Bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H