Kita lebih senang berkunjung dan memadati pasar-pasar tradisional dan supermal-supermal, dibandingkan dengan berlomba-lomba beri'tikaf di masjid atau musholla. Kita lebih merasa malu jika di rumah kita tidak tersedia bermacam-macam makanan, dibandingkan dengan tidak menghatamkan tadarus Al-Quran.
Padahal, puasa termasuk di dalamnya upaya edukasi emosional yang mampu melahirkan individu yang bertakwa dengan karaktersitik pribadi pemaaf, dermawan, dan sederhana.Â
Seseorang yang menjalankan puasa secara ‘hakikat’ (menahan diri dari nafsu) tentu akan berbeda dengan mereka yang berpuasa sekedar mengikuti ‘syariat’ (menahan diri dari makan dan minum saja).
Dengan bekal kecerdasan emosional tersebutlah, seseorang akan mampu mendeterminasi kesadaran setiap orang. Mendapatkan simpati dan dukungan. Serta membangun kebersamaan dalam melaksanakan dan mengimplementasikan sebuah ide atau cita-cita, termasuk mencapai predikat Takwa di sisi Allah.Â
Kemenangan tidak akan sampai tanpa kesungguhan dan kesabaran. Baik sabar dalam menjalankan ibadah, atau sabar dalam menerima musibah. Bentuk kesabaran ini dapat pula diartikan sebagai implementasi dari kecerdasan emosional. Tidak bersabar berarti tidak jatuh cinta.
Semoga tingginya kualitas ibadah puasa dan kemampuan kita dalam menjaga stabilitas emosi yang ada, menjadikan Ramadhan tahun ini kuasa memahami makna akan "konsep diri", dengan senantiasa berkiblat pada perintah Allah dan Rasul-Nya.Â
Mampu menjadikannya dalam jembatan untuk menjumpai Maha Kekasih. Jembatan yang senantiasa harus dijaga. Titiannya harus selalu bersih dari nafsu jelaga. Karena bagi orang-orang beriman, Ramadhan laksana penghapus dahaga. Dahaga atas kasih Maha Kekasih. Wallahu A'lam Bissawab.