Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Teknologi untuk Pendidikan, Seperti Apa Seharusnya?

28 Oktober 2019   07:32 Diperbarui: 30 Oktober 2019   19:10 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah murid melaksanakan UNBK ( Ujian Nasional Berbasis Komputer ) di SMK Negeri 3 Kota Tangerang, Banten, Senin ( 3/4/2017). Ujian nasional berbasis online tingkat SMK ini akan berlangsung hingga Kamis 6 April mendatang.(KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI)

Ketika saya mengikuti peliputan acara guru dan tenaga kependidikan (GTK) berprestasi dan berdedikasi dari tahun ke tahun di Kemendikbud, ada beberapa hal menarik yang saya temukan. 

Persoalan sulitnya akses internet di daerah khusus atau biasanya disebut 3T (tertinggal, terluar dan terdepan) menjadi hambatan yang sering dikeluhkan. Istilah 3T dipakai untuk menggambarkan daerah yang terisolir. 

Cerita bagaimana susahnya mendapat sinyal selular seringkali dibumbui kisah lucu tapi memprihatinkan. Misalnya ada guru dan siswa yang hanya bisa mengakses internet kalau naik tebing atau pohon. 

Semula, saya mengira kisah itu hanya ada di lelucon stand up comedy, Ternyata kisah mengenaskan itu benar terjadi, bukan hanya ditemukan di Papua tapi juga di Jawa. 

Seorang kepala sekolah menceritakan, karena tuntutan pembelajaran, maka ia harus memberi pelajaran tentang cara membuat email, mengakses website dan sebagainya. Tentu saja mereka  belajar internet hanya dengan berpura-pura. 

Seluruhnya hanya teori saja. Laku, pada hari yang cerah, mereka akan bersama-sama pergi ke atas bukit mencari sinyal internet dan mempraktekkan pembuatan email dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh kepala sekolah dari Jawa Barat pada Agustus 2019. Kisah serupa juga banyak dijumpai di daerah lain.

Kisah ini juga dilontarkan guru dari Gorontalo. Pada pagelaran pemilihan guru dan tenaga kependidikan (GTK) tingkat nasional pada Agustus 2019, seorang kepala sekolah di sebuah wilayah khusus di Gorontalo juga mengeluhkan hal serupa. 

Dia adalah Ahman Sarman, Kepala SMP Negeri 12, Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo.

Tapi dia membuat terobosan unik. Kepala sekolah tersebut meminta bantuan Telkom perwakilan Gorontalo agar sekolahnya diberi alat untuk bisa mengakses internet langsung ke satelit. 

Usahanya berhasil, sehingga sekolah yang berada daerah khusus bisa mengakses internet langsung dari satelit. Kepala sekolah itu mendapat juara 1 tingkat nasional.

Saya kira cara ini  bisa diterapkan di seluruh sekolah terpencil. Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nadiem Makarim diharapkan sudah memiliki solusi yang menyeluruh untuk mengatasi masalah akses internet ke semua sekolah seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo. Penggunaan satelit khusus pendidikan bisa menjadi solusi. 

Di bidang perbankan sudah dicontohkan oleh Bank BRI. Harga satelit BRI lebih dari Rp 3 triliun, dan kabarnya menciptakan efisiensi. Mestinya Kemendikbud membeli satelit sendiri meski harus mengeluarkan triliunan rupiah. 

Anak SD (ilustrasi Rihad)
Anak SD (ilustrasi Rihad)
Dengan akses internet yang kuat seluruh Indonesia, maka pemerataan kualitas pendidikan bisa ditingkatkan. Transfer ilmu dan teknologi akan semakin mudah. 

Ini cocok dengan keinginan Nadiem untuk terjadinya proses sharing, networking, mentoring, coaching, dalam proses pembelajaran, bukan saja antar orang Indonesia tapi juga akses ke sumber ilmu pengetahuan di negara lain.

Saya yakin, pada umumnya para guru dan tenaga kependidikan sudah melek teknologi. Kesadaran guru tentang teknologi sudah cukup tinggi. Hal itu terlihat dari semakin banyaknya penggunaan aplikasi dalam proses pembelajaran. 

Dalam berbagai lomba untuk GTK terlihat banyaknya karya best practice yang berbasis teknologi. Sekadar contoh, seorang guru Estin Farida dari SD Muhammadiyah Sapen, Yogyakarta  menjadi juara 1 nasional 2019, berkat menggunakan YouTube untuk proses pembelajaran. 

Kemendikbud sendiri memiliki Rumah Belajar sebuah portal berisi materi pembelajaran yang kontennya dibuat guru. Masalahnya ada pada optimalisasi konten yang perlu ditingkatkan, termasuk dalam hal kreativitas dan daya jangkauannya ke publik. 

Dengan jangkauan teknologi, proses pelatihan guru dan tenaga kependidikan juga tidak harus dalam bentuk kelas atau seminar. Apalagi jika proses pelatihan harus di Jakarta yang akan memakan biaya besar karena peserta datang dari seluruh Indonesia. 

Mendikbud sebelumnya, Muhadjir Effendy memperkenalkan sistem zonasi yang akan dipakai juga untuk zonasi pelatihan. Dengan demikian pelatihan GTK tidak harus di Jakarta. Ini akan menghemat biaya.

Dalam kasus lain, Bappenas pernah membuat studi tentang kebiasaan daerah melaporkan langsung berkas-berkas pengajuan bantuan dana alokasi khusus fisik sekolah dari daerah langsung ke Jakarta. Proses itu memboroskan ratusan miliar per tahun. Dengan pengajuan usulan proyek lewat online, cara ini terbukti menghemat uang rakyat. 

Dalam dunia pendidikan, keterbatasan akses informasi telah menimbulkan kesenjangan daerah dan kota. Lihat saja, siswa perkotaan sudah terbiasa menikmati bimbingan belajar di luar sekolah. 

Di daerah terpencil, siswa hanya mengandalkan kepandaian guru. Siswa menjadi fotocopy guru. Guru pandai, siswa pandai dan sebaliknya guru pas-pasan siswa sama juga. 

Di perkotaan siswa sudah bisa lebih pandai guru karena mereka memiliki akses pembelajaran lebih banyak dari gurunya. Mereka bisa mengakses buku tambahan, guru les tambahan, bimbingan belajar, dan belajar dari internet.

Ketika saya meliput siswa berprestasi di bidang akademis tingkat sekolah dasar, ada kecenderungan juara olimpiade di tingkat internasional berasal dari swasta atau sekolah favorit. Salah satu faktor mendasar mengapa siswa itu pandai adalah karena akses pembelajaran yang lebih luas dibandingkan siswa lain. 

Orangtuanya memberi les tambahan, bahkan menyediakan buku soal olimpiade hingga ke luar negeri (beli langsung atau lewat internet). Akses pembelajaran yang luas itulah yang membuat siswa semakin pandai. 

Sebaiknya, siswa di daerah  terpencil tidak bisa melakukannya. Meski ia memiliki intelegensi tinggi, tapi kalau tidak terasah tentu hasilnya pas pasan. Ini terjadi karena mereka berada di lingkungan dengan akses pembelajaran terbatas. 

Nah, teknologi informasi bisa mengatasi hal ini. Ketika saya meliput proses pembelajaran SMA Terbuka, beberapa sekolah berhasil menjalankan tugasnya berkat internet lancar. Sebuah sekolah terbuka yang pernah saya liput, SMA 2 Terbuka Padalarang, Jawa Barat mampu menjalankan proses pembelajaran online. 

Bahkan salah satu siswa bisa diterima di universitas di Amerika. Tapi sebuah SMA  Terbuka lainnya, masih di Jawa Barat berada di wilayah yang  tidak memiliki sinyal internet memadai. Siswa mengandalkan pertemuan langsung dengan guru, meski ia belajar di sekolah terbuka. 

Begitulah, beberapa pengalaman saya selama meliput  di bidang pendidikan terkait dengan teknologi. Intinya, akses teknologi informasi adalah keharusan bagi seluruh siswa di seluruh Indonesia.

Terima kasih. Sekian dulu dari saya Rihad Wiranto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun