Mohon tunggu...
Muhammad Rigan Agus Setiawan
Muhammad Rigan Agus Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Rigan

Mahasiswa Ilmu Sejarah UI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revolusi Saffron Myanmar 2007: Antara Revivalisme dan Dominasi Politik

14 Agustus 2022   12:43 Diperbarui: 14 Agustus 2022   13:16 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Revivalisme adalah istilah yang baru dikenal pada abad ke-16 melalui fenomena peningkatan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan manusia di gereja. Kebangkitan spiritual ini berkaitan upaya untuk membangun sebuah hubungan yang vital dan kuat dengan Tuhan, karena adanya krisis keimanan. Meskipun demikian, konsep tersebut sesungguhnya bisa kita gunakan dalam menggambarkan fenomena pemikiran atau gerakan dalam agama lain seperti Islam, Yahudi, Hindu, dan Buddhisme. 

Lebih lanjut lagi, penulis juga meminjam perspektif dari seorang filsuf atau pemikir, yakni Eliade. Beberapa pemikirannya antara lain: "for him and through him history was regenerated, for it was in revivification, the reactualization, of a primordial heroic myth" atau pun "to revive the age of gold, to make a perfect reign a present reality an idea"(Eliade, 1959). 

Meskipun Eliade tidak pernah sekalipun menyebutkan kata Revivalisme secara khusus, tetapi karya-karyanya yang berkaitan dengan agama seringkali memberikan penggambaran kebangkitan manusia berdasarkan agama. Berdasarkan dua kutipan di atas, Eliade menekankan dua poin penting: 1) kebangkitan dilakukan dengan cara mengaktualisasikan kembali nilai-nilai primordial atau mitos, 2) untuk mengembalikkan masa kejayaan perlu untuk membangun kembali masa-masa kejayaan. 

Mengacu kepada hal tersebut, Revolusi Saffron yang melibatkan Sangha dapat dikatakan sebagai salah satu wujud dari Revivalisme atau kebangkitan agama Buddha sebagai nilai primordial yang telah berhasil dalam sejarah untuk menangani berbagai kondisi. Seperti halnya yang mereka lakukan ketika terjadi kebangkitan nasional pada masa kolonialisme Inggris.

Selain itu, bila kita menyaksikan beberapa bentuk Revivalisme beberapa agama secara historis, dapat dihasilkan kesimpulan bahwa beberapa gerakan tersebut berupaya untuk meningkatkan peran sosial dan pendidikan bagi kelompok agama, seperti halnya Mahatma Ghandi (Mansyuri, 2011). Mahatma Ghandi menerapkan Bhagavad gita dalam perjuangannya melawan kolonialisme. Dua kata sansekerta dalam Gita telah membangkitkan semangatnya, yakni aparigraha "tidak memiliki', dan samabhava "kesetaraan".

Kedua kata tersebut ia praktikan dalam kehidupannya yang dipenuhi dengan kesederhanaan dan upaya mencapai kebaikan tertinggi (sosialisme) melalui diplomasi terhadap pihak Inggris (Kolonialisme) (Nanda, 2021). Begitu pula, Revolusi Saffron tahun 2007 yang menunjukkan bahwa gerakan atau demonstrasi yang dilakukan oleh sangha merupakan bentuk gerakan yang didasari atas kebangkitan nilai-nilai buddhisme serta menjadi bentuk penegasan akan peran sosial Buddhisme yang masih sentral dalam kehidupan masyarakat di Burma (Myanmar).

Revolusi Saffron merupakan sebuah fenomena revolusi yang melibatkan para biksu yang memakai jubah berwarna Saffron untuk turun ke jalanan di sepanjang Sungai Irrawadhy. Revolusi ini dilakukan oleh para biksu karena adanya pelanggaran nilai primordial (Buddhisme) yang dilakukan oleh junta militer. Salah satu pemicu awal dari fenomena ini adalah permasalahan ekonomi yang berkaitan dengan kenaikan harga bensin dan energi secara tiba-tiba, hal ini berakibat banyaknya penduduk yang tidak mampu membayar biaya bus, bahkan kini orang-orang tidak mampu menyumbangkan makanan ke kuil dan malah meminta makanan kepada para biksu.

Pada tanggal 20 September 2007 seribu biksu Buddha bergabung dalam doa dan berbaris melalui jalan-jalan Rangoon melantunkan Metta Sutta:

"Semoga semua makhluk hidup dapat hidup dalam kebahagiaan dan keamanan! Semoga tidak ada yang menipu orang lain, atau membenci orang lain, atau dengan kebencian dan kemarahan menyakiti orang lain!".

Pada tanggal 28 September massa menentang pasukan militer dan demonstrasi berusaha dihidupkan kembali, dengan membawa mangkuk yang dibalikkan oleh mereka menunjukkan tidak akan menerima sumbangan dari junta militer (pattam nikujjana kamma) dan secara tidak langsung menjadi simbolis atau pertanda mengeluarkan Tatmadaw dari komunitas Buddha. Majalah The Irrawady juga mendeskripsikan bagaimana tentara menggunakan senjatanya sebagai media, sedangkan rakyat menggunakan dharma (kebenaran) sebagai medianya.

Meskipun gerakan ini tidak memakan korban sebanyak demonstrasi tahun 1988, tetapi revolusi ini secara masif dapat tersebar secara nasional dan internasional, berkat kemajuan teknologi. Khawatir tersebar semakin luas pemerintah memutus segala jaringan media yang tersambung secara internasional. Tindakan kekerasan juga terus dilakukan dengan pengerahan pasukan keamanan ke 133 biara untuk menangkap sejumlah biksu. Bahkan, beberapa diantaranya juga dianiyaya (Selth, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun