Seperti yang sudah pernah dijelaskan pada artikel sebelumnya, bahwa Budhhist adalah nilai primordialisme budaya di Burma yang juga mengandung nilai sosial, pendidikan, prestise, dan kemuliaan. Bahkan, pola tersebut telah berlaku sejak masa Kerajaan Pagan (Arthur, 2014: 15-16). Setiap raja didampingi oleh seorang biksu atau sangha yang melakukan praktik pemurnian, reformasi kitab hingga pendirian pagoda. Fenomena ini terus berlanjut hingga masa kontemporer, seperti misalnya U Nu yang merupakan Perdana Menteri Burma (1960-1962) menggunakan Buddha sebagai alat politik dan tidak segan untuk menetapkan Buddha sebagai agama negara. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa hanya para sangha yang dapat menyaingi dominasi Thatmadaw (Kelompok Militer) di Burma. Salah satu bentuk konkretnya adalah munculnya Revolusi Saffron tahun 2007 di Burma.
Dinamika dalam pemerintahan Burma terus terjadi dan bergejolak sejak pemerintahan U Nu hingga dewasa ini. Hal ini diawali ketika terjadi peristiwa kudeta yang dilakukan oleh junta militer Burma pada 2 September 1962. Dengan dalih persatuan nasional, junta militer yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win berhasil merebut tampuk kekuasaan dan secara resmi menjadi Kepala Negara sekaligus Pemimpin Revolusi (Seidel, 2007).
Kudeta tersebut juga dirancang untuk melanggengkan kontrol pemerintahan militer. Tindakan kudeta ini mendapatkan respon yang kurang baik dari mahasiswa, sekitar 2000 mahasiswa berdemonstrasi dan 100 diantaranya menjadi korban tembak pihak militer. Melalui kepemimpinannya, Ne Win membentuk BSPP (Burma Socialist Programme Party) diterbitkan dalam dokumen tanggal 30 April 1962 (Steinberg, 2010). Tidak diragukan lagi bahwa pemerintahan sipil lebih memberikan kebebasan dibandingkan dengan pemerintahan militer. Beberapa ahli juga menilai bahwa periode pemerintahan sipil sebenarnya dijadikan acuan untuk masa depan, hanya saja perlu memposisikan ulang hubungan antara negara dan masyarakat minoritas.
Akan tetapi, bila kita melihat perkembangan periode antara 1962 hingga kudeta tahun 1988 pemerintahan militer cenderung tidak berhasil; ketegangan etnis meningkat, Sosialisme mengalami kegagalan, kegagalan BSPP dalam mengontol masyarakat sipil karena pemerintahan berada di bawah jenderal revolusi dan militer secara otoriter, tanpa adanya badan legislatif.
Pada periode tersebut, rezim cenderung melakukan kontrol terhadap sangha. Sebagai sebuah kekuatan sosial dan nasional yang kritis, rezim militer terus berusaha menjadikannya sebagai alat legitimasi. Terlebih lagi, hanya kelompok Sangha saja yang jumlahnya sebanding dengan Tatmadaw. Pada tahun 1979, pemerintah berupaya membentuk Sangha Maha Nayaka (Dewan Sangha Tertinggi) yang terdiri atas 33 kelompok biksu (1.219 biksu). Hal ini dilakukan agar pemerintah mudah memberikan kontrol atas Sangha, hierarki biksu didirikan dan setiap kegiatan pendidikan yang dilakukan akan berada langsung di bawah pengawasan pemerintah.
Hingga pada tahun 1988 pecah sebuah kudeta secara damai yang dilakukan oleh para aktivis/mahasiwa yang merespon krisis ekonomi serta menuntut adanya reformasi di pemerintahan. Pada 18 September 1988 terjadi peralihan kekuasaan militer atau dapat diartikan sebagai sebuah kudeta secara damai yang menghasilkan the State Law and Order Restoration Council (SLROC) yang digunakan oleh militer sebagai alternatif untuk melanjutkan kontrolnya.Â
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa pemerintah militer dalam bentuk sipil melalui BSPP mengalami kegagalan. Untuk menghindari hal tersebut, pemerintahan yang baru mulai menerapkan struktur ekonomi dan politik yang baru. Tepat pada tanggal 30 November 1988 pemerintah mengeluarkan UU Investasi Asing dan meninggalkan kebijakan sosialis secara bertahap (Steinberg, 2010).
Pada era pemerintahan SLROC/SPDC telah dilakukan pemilihan umum yang dimenangkan oleh Aung San Su Kyi dengan partainya National League for Democraty (NLD). Akan tetapi, pihak militer menolak hasil tersebut dan melakukan penahanan terhadap Suu Kyi. Sebagai upaya mempertahankan kontol pemerintah, Tatmadaw menyusun konstitusi baru yang salah satunya adalah menetapkan 25 % kursi parlemen nasional untuk militer (Roza, 2021).
SLROC/SPDC juga terlibat dalam penggunaan agama Buddha sebagai alat legitimasi politik. Banyak sekali media yang mengabarkan betapa eratnya hubungan antara Buddhia dan Tatmadaw. Pemerintah seringkali memberi makan para biksu, memperbaiki dan membangun pagoda (termasuk Shwedagon). Berbagai ungkapan hiperbolis pun sering muncul, seperti misalnya "televisi Myanmar hanya berisi warna hijau dan kuning". Bila suatu ketika para biksu menolak meletakkan mangkuk mereka dan tidak menerima pemberian Tatmadaw, maka hal ini dianggap sebagai sebuah pembangkangan. Hubungan yang mesra ini ternyata tidak bertahan selamanya, hal ini dibuktikkan dengan munculnya Revolusi Saffron tahun 2007.
Dalam membaca ulang fenomena Revolusi Saffron penulis meminjam perspektif revivalisme. Revivalisme umumnya merupakan sebuah terminologi yang merujuk pada gerakan untuk membangkitkan semangat keagamaan dalam kelompok agama. Setidaknya begitulah definisi yang bisa didapatkan dari beberpa ensiklopedia, salah satunya adalah Britannica:
"Revivalism, generally, renewed religious fervour within a Christian group, church, or community, but primarily a movement in some Protestant churches to revitalize the spiritual ardour of their members and to win new adherents. Revivalism in its modern form can be attributed to that shared emphasis in Anabaptism, Puritanism, German Pietism, and Methodism in the 16th, 17th, and 18th centuries on personal religious experience, the priesthood of all believers, and holy living, in protest against established church systems that seemed excessively sacramental, priestly, and worldly. Of central importance, however, was the emphasis on personal conversion".
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Revivalisme adalah istilah yang baru dikenal pada abad ke-16 melalui fenomena peningkatan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan manusia di gereja. Kebangkitan spiritual ini berkaitan upaya untuk membangun sebuah hubungan yang vital dan kuat dengan Tuhan, karena adanya krisis keimanan. Meskipun demikian, konsep tersebut sesungguhnya bisa kita gunakan dalam menggambarkan fenomena pemikiran atau gerakan dalam agama lain seperti Islam, Yahudi, Hindu, dan Buddhisme.Â
Lebih lanjut lagi, penulis juga meminjam perspektif dari seorang filsuf atau pemikir, yakni Eliade. Beberapa pemikirannya antara lain: "for him and through him history was regenerated, for it was in revivification, the reactualization, of a primordial heroic myth" atau pun "to revive the age of gold, to make a perfect reign a present reality an idea"(Eliade, 1959).Â
Meskipun Eliade tidak pernah sekalipun menyebutkan kata Revivalisme secara khusus, tetapi karya-karyanya yang berkaitan dengan agama seringkali memberikan penggambaran kebangkitan manusia berdasarkan agama. Berdasarkan dua kutipan di atas, Eliade menekankan dua poin penting: 1) kebangkitan dilakukan dengan cara mengaktualisasikan kembali nilai-nilai primordial atau mitos, 2) untuk mengembalikkan masa kejayaan perlu untuk membangun kembali masa-masa kejayaan.Â
Mengacu kepada hal tersebut, Revolusi Saffron yang melibatkan Sangha dapat dikatakan sebagai salah satu wujud dari Revivalisme atau kebangkitan agama Buddha sebagai nilai primordial yang telah berhasil dalam sejarah untuk menangani berbagai kondisi. Seperti halnya yang mereka lakukan ketika terjadi kebangkitan nasional pada masa kolonialisme Inggris.
Selain itu, bila kita menyaksikan beberapa bentuk Revivalisme beberapa agama secara historis, dapat dihasilkan kesimpulan bahwa beberapa gerakan tersebut berupaya untuk meningkatkan peran sosial dan pendidikan bagi kelompok agama, seperti halnya Mahatma Ghandi (Mansyuri, 2011). Mahatma Ghandi menerapkan Bhagavad gita dalam perjuangannya melawan kolonialisme. Dua kata sansekerta dalam Gita telah membangkitkan semangatnya, yakni aparigraha "tidak memiliki', dan samabhava "kesetaraan".
Kedua kata tersebut ia praktikan dalam kehidupannya yang dipenuhi dengan kesederhanaan dan upaya mencapai kebaikan tertinggi (sosialisme) melalui diplomasi terhadap pihak Inggris (Kolonialisme) (Nanda, 2021). Begitu pula, Revolusi Saffron tahun 2007 yang menunjukkan bahwa gerakan atau demonstrasi yang dilakukan oleh sangha merupakan bentuk gerakan yang didasari atas kebangkitan nilai-nilai buddhisme serta menjadi bentuk penegasan akan peran sosial Buddhisme yang masih sentral dalam kehidupan masyarakat di Burma (Myanmar).
Revolusi Saffron merupakan sebuah fenomena revolusi yang melibatkan para biksu yang memakai jubah berwarna Saffron untuk turun ke jalanan di sepanjang Sungai Irrawadhy. Revolusi ini dilakukan oleh para biksu karena adanya pelanggaran nilai primordial (Buddhisme) yang dilakukan oleh junta militer. Salah satu pemicu awal dari fenomena ini adalah permasalahan ekonomi yang berkaitan dengan kenaikan harga bensin dan energi secara tiba-tiba, hal ini berakibat banyaknya penduduk yang tidak mampu membayar biaya bus, bahkan kini orang-orang tidak mampu menyumbangkan makanan ke kuil dan malah meminta makanan kepada para biksu.
Pada tanggal 20 September 2007 seribu biksu Buddha bergabung dalam doa dan berbaris melalui jalan-jalan Rangoon melantunkan Metta Sutta:
"Semoga semua makhluk hidup dapat hidup dalam kebahagiaan dan keamanan! Semoga tidak ada yang menipu orang lain, atau membenci orang lain, atau dengan kebencian dan kemarahan menyakiti orang lain!".
Pada tanggal 28 September massa menentang pasukan militer dan demonstrasi berusaha dihidupkan kembali, dengan membawa mangkuk yang dibalikkan oleh mereka menunjukkan tidak akan menerima sumbangan dari junta militer (pattam nikujjana kamma) dan secara tidak langsung menjadi simbolis atau pertanda mengeluarkan Tatmadaw dari komunitas Buddha. Majalah The Irrawady juga mendeskripsikan bagaimana tentara menggunakan senjatanya sebagai media, sedangkan rakyat menggunakan dharma (kebenaran) sebagai medianya.
Meskipun gerakan ini tidak memakan korban sebanyak demonstrasi tahun 1988, tetapi revolusi ini secara masif dapat tersebar secara nasional dan internasional, berkat kemajuan teknologi. Khawatir tersebar semakin luas pemerintah memutus segala jaringan media yang tersambung secara internasional. Tindakan kekerasan juga terus dilakukan dengan pengerahan pasukan keamanan ke 133 biara untuk menangkap sejumlah biksu. Bahkan, beberapa diantaranya juga dianiyaya (Selth, 2020).
Pemerintah pada mulanya berusaha menghentikkan gerakan biksu yang ada di Pakkoku dengan menggunakan kekuatan militer dan melukai tiga biksu. Akan tetapi, hal ini jutsru menjadi boomerang bagi mereka, serta menyulut kemarahan sangha juga dunia internasional. Revolusi Saffron sendiri menurut Amorisa Wiratri ini adalah kali pertama para sangha menunjukkan peran politiknya (Wiratri, 2011), terutama ketika berusaha melakukan demonstrasi untuk pembebasan Aung San Su Kyi dan mendukung reformasi demokrasi.Â
Hal ini menunjukkan adanya upaya-upaya Revavilisme dengan gerakan yang dimotori nilai-nilai Buddhisme dan mencoba menghidupkan peran sosial dari kelompok agama. Seperti yang kita ketahui juga, selama ini para sangha cenderung tidak memiliki masalah dengan junta militer.
Selama masa Revolusi Saffron berlangsung, banyak sekali media internasional yang mengabarkan situasi di sana dan menunjukkan kepada mata dunia bahwa revolusi demokrasi memang diperlukan di Burma, beberapa diantaranya seperti BBC, Democratic Voice of Burma (DVB) juga memberikan liputan yang kemudian disebarkan ke berbagai cabang seperti Thailand dan Swedia, Associated Press, Reuteurs hingga CNN (Steinberg, 2010).Â
Sebaliknya, pemerintah menganggap hal ini sebagai skema internasional yang dilakukan oleh oknum-oknum dari luar dan dan merupakan dampak negatif adanya globalisasi. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintahan junta militer melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan periode setelah tahun 1988, yakni menjanjikan referendum dan Pemilu tahun 2010 (McCarthy, 2008). Pasca Revolusi, pemerintahan junta militer nampaknya menggunakan proses penyusunan konstitusi sebagai sarana untuk menangkis kritik internasional.
Kebangkitan gerakan buddhisme sebagai nilai primordialisme ternyata tidak hanya berbentuk revivalisme, tetapi juga bentuk dominasi politik dari umat Buddha di Myanmar (Burma). Hal ini telah dibuktikan sepanjang sejarah, bagaimana beberapa kelompok minoritas berusaha melepaskan diri dari Burma ketika Buddha dijadikan agama negara oleh U Nu selaku kepala negara hingga kasus-kasus terbaru yang menimpa muslim di Rohingya. Hal tersebut jelas menggambarkan adanya sebuah ambivelansi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H