Nasionalisme secara etimologi merujuk pada beberapa kata, seperti 'nation' yang artinya negara atau bangsa, 'nasionalis' yang berarti orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya, 'nasionalisme' yang bermakna kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu serta semangat kebangsaan, dan 'nasionalisme' yang bermakna paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri atau sifat kenasionalan.Â
Maka secara terminologi dan etimologi, nasionalisme adalah sebuah paham atau kesadaran yang dimiliki oleh orang tertentu untuk memperjuangan kepentingan nation (bangsa) mereka.
Di Asia Tenggara kemunculan nasionalisme dapat dipahami sebagai dampak positif dari adanya praktik Kolonialisme (Susanto, 2016:144). Menurut Benedict Anderson, kehadiran nasionalisme dalam pembentukan nation-state dari tiap negara memiliki karakteristik yang berbeda-beda, begitu pula dengan Asia Tenggara.Â
Pembentukan ini tidak terlepas dari proses penyatuan dan rekonsiliasi etnik yang diawali oleh adanya perasaan atau bayangan bersama sebagai sebuah bangsa.Â
Lebih lanjut lagi, Anderson menyatakan adanya dua buah produk nasionalisme yang dihasilkan oleh praktik Kolonialisme dan Imperialisme negara Barat, yakni nasionalisme murni yang dipicu oleh pengalaman sejarah yang kompleks, dan nasionalisme yang terstruktur yang dipicu oleh media massa, pendidikan, sistem administrasi, dsb (Anderson, 2006: 113-114). Â Dalam hal ini, Anderson secara eksplisit menjelaskan beberapa saluran pembentuk nasionalisme di Asia Tenggara.Â
 Untuk memperkuat pernyataan tersebut, Anderson juga menyatakan bahwa pembebasan terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh para nasionalis menentukan siapa saja yang termasuk ke dalam "komunitas imajiner" (Owen, 2005: 252-253),  merujuk pada pembentukan nation-state.Â
Pembentukan ini diawali oleh identitas lokal yang beragam, kemudian disatukan oleh identitas sosial, seperti budaya, agama, bahasa dan adat-istiadat dan diperkuat oleh faktor-faktor terstruktur seperti media massa, pendidikan, dan sistem administrasi.
Dalam buku The Emergence of Modern Southeast Asia dijelaskan bahwa Nasionalisme kadangkala diawali dengan gerakan-gerakan sosial yang disebut sebagai episode-episode awal nasionalisme, yakni pemberontakan petani yang didukung oleh kekhasan budaya lokal, adat istiadat dan agama.Â
Para pemimpin lokal berusaha membangun kohesi atau ikatan nasional melalui bahasa, agama, dan afinitas etnis, seperti misalnya Buddha di Burma (Tarling, 2008: 591).Â
Salah satu contoh konkretnya adalah Pemberontakan Petani di Burma Selatan tahun 1930 yang dipimpin oleh Haya San (seorang biksu Buddha) yang mengajukan keluhan dari para petani kepada Dewan Umum Persatuan Burma dan memproklamirkan dirinya sebagai raja Buddha-Burma  untuk melawan kolonialisme Inggris, sekaligus mengembalikan idealism monarki masa lalu.
Buddha merupakan penggerak atau motor dalam perjuangan dan pergerakan nasional di Burma. Bahkan, dikatakan "To be Burman is to be Buddhist" yang artinya untuk menjadi orang Burma haruslah beragama Buddha  (Steinberg, 2010: 48).Â
Budhhist adalah nilai primordialisme budaya di Burma yang juga mengandung nilai peralihan sosial, pendidikan, prestise, dan kemuliaan. Hierarki atau tatanan sosial tertinggi atau disebut Thathanabaing berada di tangan Pendeta Buddha 'Sangha', pendidikan dibina dari tingkat desa, setiap raja membangun pagoda dan sekaligus seorang biksu (karena setiap laki-laki pasti menjadi biksu).Â
Setiap pagi, para biksu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Struktur inilah yang kemudian dihilangkan oleh Inggris, dan berusaha membangun kehidupan yang tidak bergantung pada Buddha, termasuk pendidikan. Kondisi ini dapat kita sebut sebagai keterasingan budaya yang memicu pemberontakan.Â
Maka dari itu, tidak mengherankan jika sejak tahun 1906 di Burma telah ada gerakan nasional yang berbasis agama dan sosial yang diwakili oleh YMBA (Young Man Buddhist Association) atau Persatuan Pemuda Burma.
Meskipun demikian, struktur yang telah berubah mendorong terjadinya peningkatan mobilitas atau yang dikatakan oleh Owen sebagai urbanisasi. Sebagian besar urbanisasi disebabkan oleh faktor pendidikan, ada yang dikirim ke Inggris untuk belajar dan adapula yang dididik di Universitas Rangoon, serta pembangunan sekolah menengah seperti Kanbawza College untuk para bangsawan.Â
Peningkatan urbanisasi dan emigrasi mendorong terjadinya peningkatan populasi di Burma hingga dua kali lipat antara tahun 1891 dan 1941. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh pembangunan yang dilakukan Inggris, bahkan sekitar 2,6 juta orang India beremigrasi ke Burma untuk melakukan perdagangan atau menjadi buruh dan pada tahun 1931 sekitar 10 % jumlah penduduk Birma bagian selatan adalah orang India (Tarling, 2008: 162-163). Jumlah ini belum ditambah dengan orang Cina yang juga melakukan emigrasi.
Dimulai sejak tahun 1930-an, orang Burma mulai merasa kehilangan segala perannya dalam berbagai bidang. Sebagian besar dari masyarakat Burma mulai melakukan perlawanan, terutama dengan pembentukan berbagai partai politik yang memperjuangkan nasionalisme seperti Partai Sinyetha (DR Ba Maw), Partai Dua Puluh Satu (U Ba Pe dari Partai Dua Puluh Satu), dan salah satu partai yang dominan adalah Partai Thakin (Thakin Nu dan U Aung San).Â
Pembentukan partai ini tidak terlepas dari faktor pendidikan yang diterima oleh golongan elit, sehingga mereka mampu melakukan perlawanan yang sudah sangat terstruktur, setidaknya begitu yang dikatakan oleh Benedict Anderson.
Pada periode yang sama, Komisi Simon mengajukan ide untuk pemisahan Myanmar dan India, ide tersebut pada mulanya didukung oleh para nasionalis.
Namun, mereka sadar akan ancaman Inggris yang sewaktu-waktu dapat menekan Myanmar jika India lepas dari Inggris. Maka dari itu, kaum nasionalis membentuk liga anti pemisahan, tetapi usaha mereka gagal karena Inggris mengeluarkan memorandum dan pemisahan tetap terjadi pada tahun 1935.
Kemudian, di tahun yang sama lahir organisasi Dobama Asiayone (Kami Masyarakat Burma). Gerakan ini diilhami paham sosialis serta modernis Jepang. Â Selain itu, partai ini disebut juga dengan Partai Thakin yang diwakili oleh Thakin Nu dan Thakin Aung San (Steinberg, 2010: 67). Partai ini adalah partai yang bergerak secara radikal untuk menuntut kemerdekaan secara penuh.Â
Taktik perjuangannya adalah dengan membangkitkan semangat nasionalisme rakyat dengan mengorganisir petani, buruh dan gerakan pemuda. Sementara itu, pada masa pendudukan Jepang, Aung San dan Ne Win dikerahkan sebagai kaki tangan yang ternyata diam-diam berhubungan dengan Sekutu.
Ketika Inggris kembali, Aung San berhasil memimpin pergerakan di Myanmar dan mempersiapkan kemerdekaan. Aung San berhasil melakukan negosiasi dengan Inggris dan menghasilkan Perjanjian Aung San-Atlee pada 27 Januari 1947, yang menyerukan kemerdekaan dalam satu tahun.
Akan tetapi, dalam perundingan tanggal 19 Juli 1947 Aung San terbunuh, diperkirakan pembunuhnya adalah orang suruhan U Saw. kemudian, U Saw dihukum mati dan Aug San digantikan oleh U Nu. Kemerdekaan akhirnya diproklamasikan pada 4 Januari 1948. Akan tetapi, kemerdekaan belum menjamin stabilitas di Myanmar, tepat satu tahun setelahnya terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Karen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H