Budhhist adalah nilai primordialisme budaya di Burma yang juga mengandung nilai peralihan sosial, pendidikan, prestise, dan kemuliaan. Hierarki atau tatanan sosial tertinggi atau disebut Thathanabaing berada di tangan Pendeta Buddha 'Sangha', pendidikan dibina dari tingkat desa, setiap raja membangun pagoda dan sekaligus seorang biksu (karena setiap laki-laki pasti menjadi biksu).Â
Setiap pagi, para biksu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Struktur inilah yang kemudian dihilangkan oleh Inggris, dan berusaha membangun kehidupan yang tidak bergantung pada Buddha, termasuk pendidikan. Kondisi ini dapat kita sebut sebagai keterasingan budaya yang memicu pemberontakan.Â
Maka dari itu, tidak mengherankan jika sejak tahun 1906 di Burma telah ada gerakan nasional yang berbasis agama dan sosial yang diwakili oleh YMBA (Young Man Buddhist Association) atau Persatuan Pemuda Burma.
Meskipun demikian, struktur yang telah berubah mendorong terjadinya peningkatan mobilitas atau yang dikatakan oleh Owen sebagai urbanisasi. Sebagian besar urbanisasi disebabkan oleh faktor pendidikan, ada yang dikirim ke Inggris untuk belajar dan adapula yang dididik di Universitas Rangoon, serta pembangunan sekolah menengah seperti Kanbawza College untuk para bangsawan.Â
Peningkatan urbanisasi dan emigrasi mendorong terjadinya peningkatan populasi di Burma hingga dua kali lipat antara tahun 1891 dan 1941. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh pembangunan yang dilakukan Inggris, bahkan sekitar 2,6 juta orang India beremigrasi ke Burma untuk melakukan perdagangan atau menjadi buruh dan pada tahun 1931 sekitar 10 % jumlah penduduk Birma bagian selatan adalah orang India (Tarling, 2008: 162-163). Jumlah ini belum ditambah dengan orang Cina yang juga melakukan emigrasi.
Dimulai sejak tahun 1930-an, orang Burma mulai merasa kehilangan segala perannya dalam berbagai bidang. Sebagian besar dari masyarakat Burma mulai melakukan perlawanan, terutama dengan pembentukan berbagai partai politik yang memperjuangkan nasionalisme seperti Partai Sinyetha (DR Ba Maw), Partai Dua Puluh Satu (U Ba Pe dari Partai Dua Puluh Satu), dan salah satu partai yang dominan adalah Partai Thakin (Thakin Nu dan U Aung San).Â
Pembentukan partai ini tidak terlepas dari faktor pendidikan yang diterima oleh golongan elit, sehingga mereka mampu melakukan perlawanan yang sudah sangat terstruktur, setidaknya begitu yang dikatakan oleh Benedict Anderson.
Pada periode yang sama, Komisi Simon mengajukan ide untuk pemisahan Myanmar dan India, ide tersebut pada mulanya didukung oleh para nasionalis.
Namun, mereka sadar akan ancaman Inggris yang sewaktu-waktu dapat menekan Myanmar jika India lepas dari Inggris. Maka dari itu, kaum nasionalis membentuk liga anti pemisahan, tetapi usaha mereka gagal karena Inggris mengeluarkan memorandum dan pemisahan tetap terjadi pada tahun 1935.
Kemudian, di tahun yang sama lahir organisasi Dobama Asiayone (Kami Masyarakat Burma). Gerakan ini diilhami paham sosialis serta modernis Jepang. Â Selain itu, partai ini disebut juga dengan Partai Thakin yang diwakili oleh Thakin Nu dan Thakin Aung San (Steinberg, 2010: 67). Partai ini adalah partai yang bergerak secara radikal untuk menuntut kemerdekaan secara penuh.Â
Taktik perjuangannya adalah dengan membangkitkan semangat nasionalisme rakyat dengan mengorganisir petani, buruh dan gerakan pemuda. Sementara itu, pada masa pendudukan Jepang, Aung San dan Ne Win dikerahkan sebagai kaki tangan yang ternyata diam-diam berhubungan dengan Sekutu.