Tetapi, tidak jarang hal tersebut justru memberikan tekanan pada mental kita, di mana muncul ketakutan akan cap gagal yang akan dilekatkan pada kita serta rasa tidak berguna.
Dalam upaya untuk menghilangkan kekhawatiran tersebut, terkadang kita tidak melihat secara holistik permasalahan yang kita hadapi.
Permasalahan utama yang dihadapi bukanlah rasa kalah tersebut, tetapi mengapa kita membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki kehidupan yang amat berbeda dengan kita. Perbandingan yang tidak relevan tersebut justru mengarahkan pikiran kita pada solusi yang salah.
Hal inilah yang menyebabkan tren toxic productivity tertanam begitu kuat. Kita cenderung untuk membandingkan kuantitas, padahal setiap orang memiliki acuannya masing-masing.
Ketiga, kurangnya pemahaman terhadap tujuan melakukan sesuatu
Hal ini mungkin jarang sekali disadari, namun berdasarkan observasi penulis, sebagian besar orang yang telah terjebak dalam toxic productivity tidak tahu apa yang sebenarnya mereka kerjakan.
Mereka terlalu berfokus pada “terlihat sibuk” daripada memahami apa yang sebenarnya mereka lakukan dan manfaatnya bagi mereka.
Hal ini tidak selalu buruk, mengingat bisa saja pengalaman-pengalaman tersebut memberikan mereka sudut pandang baru, bahkan bisa menemukan potensi mereka.
Tetapi, bukankah lebih baik untuk menimbang cost-benefit terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk terjun ke dalam suatu proyek.
Pembuatan keputusan juga perlu didasarkan pada pertimbangan yang matang agar tidak merugikan diri sendiri kedepannya, daripada mempertaruhkan kesempatan dengan membuat keputusan yang impulsif.
Pada akhirnya, kita bisa memperoleh kebahagiaan dari bekerja dengan memahami value dari apa yang kita kerjakan.