Berbagai dampak negatif dari fenomena ini sudah seringkali kita jumpai, bahkan di lingkaran pergaulan kita sendiri.Â
Banyaknya remaja dan pekerja yang mengalami burnout karena bekerja tanpa henti, kondisi mental yang tidak stabil karena jarang memiliki waktu untuk diri sendiri, hingga permasalahan fisik akibat kurang istirahat dan gaya hidup yang buruk merupakan beberapa contoh betapa bahayanya perangkap toxic productivity.
Bila toxic productivity terus mengakar dalam kultur kerja kita, bukan tidak mungkin hal ini akan tumbuh menjadi isu sosial yang lebih besar kedepannya. Lantas, mengapa fenomena ini bisa tumbuh subur pada saat ini?
Pertama, apresiasi lebih terhadap pencapaian individu
Mayoritas employer memberikan insentif lebih pada individu yang mampu perform lebih baik daripada rekan kerja mereka.Â
Sebagai hasilnya, individu akan lebih berfokus pada pengembangan dirinya sendiri dan berusaha meningkatkan value dirinya di mata employer.Â
Dampak dari hal ini adalah hilangnya unsur-unsur kooperasi dan kolaborasi di lingkungan kerja, sehingga terbentuklah paradigma bahwa melesatnya karir hanya bisa tercapai melalui capaian individu.Â
Lebih parahnya, paradigma ini bahkan mulai terbentuk di lingkungan sekolah dan universitas.
Kedua, ketakutan akan kegagalan
Sebagian besar dari kita mungkin pernah khawatir ketika melihat minimnya pencapaian kita dibandingkan dengan orang lain. Hal tersebut terkadang bisa menjadi motivasi untuk berkembang dalam konteks yang positif.Â