Mohon tunggu...
Rifqiyatul Qomariyah
Rifqiyatul Qomariyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Dimana ada kemauan, disitu ada jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemikiran Tokoh Muslim di Indonesia

5 Juni 2023   13:25 Diperbarui: 6 Juni 2023   15:34 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Dalam perkembangan Islam di Indonesia, terdapat beberapa tokoh pemikiran yang memiliki peran penting dalam mempengaruhi dan mengarahkan arah pemikiran, pendidikan, dan perjuangan umat Islam. Pemikiran tokoh-tokoh Muslim seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Kholil Bangkalan, Syekh Nawawi Al-Bantani, dan KH Achmad Siddiq telah memberikan kontribusi yang signifikan.

  • KH Hasyim Asy'ari

Kiai Haji hasyim Asy'ari lahir dengan nama Muammad Hasyim, adalah seorang ulama terkenal di Indonesia. Nama Asy'ari merupakan nama ayahnya yang berasal dari Demak, yaitu Kyai Haji Asy'ari, seorang pendiri dan pengasuh pondok pesantren teremuka, yaitu pondok pesantren keras di Jombang. Kyai Haji Hasyim Asy'ari lahir pada tanggal 14 Februari 1871 M atau 24 Dzulqo'dah 1287 H.  Beliau wafat di Tebuireng, Jombang pada tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan 13 H dalam penanggalan Hijriah.

Pemikiran KH Hasyim Asy'ari:

Pendidikan: Selain mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, Kiai Hasyim menerapkan lembaga pendidikannya dengan menggunakan  pendekatan dan metode yang bersifat tradisional. Pada perkembangannya, Kyai Haji Hasyim Asy'ari banyak mengadopsi pendekatan pendidikan Islam klasik meliputi segala aspek normatif, etika dalam proses pembelajaran, serta tradisi belajar dan mengajar. Ia meyakini bahwa aspek-aspek tersebut telah membawa umat Islam pada masa keemasannya dulu. Pemikirannya tercermin dalam karyanya "Adab al-'Alim wa al-Muta'alim" yang terpengaruh oleh tradisi pendidikan Islam klasik dan pemikiran ulama terkemuka seperti Imam Ghazali dan Az-Zarnuji.

Paham Keagamaan: Kyai Haji Hasyim Asy'ari memperjuangkan sistem bermazhab sebagai cara beragama dan memandangnya sebagai salah satu elemen kunci dalam NU. Baginya, untuk memahami ajaran Al-Quran dan Sunnah dengan benar, penting untuk mengadopsi pendekatan bermazhab. Ia menyebutkan empat mazhab, yaitu Syafi'i, Maliki, Hambali, dan Hanafi, sebagai ciri khas ahlus sunnah dan Nahdlatul Ulama. Untuk memahami ajaran Islam, Kyai Haji Hasyim Asy'ari tidak langsung mengutip sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebaliknya, ia mengkaji pandangan ulama terkemuka pada masa pertengahan yang terdokumentasikan dalam "kitab kuning". Kemudian, pandangan-pandangan tersebut dihubungkan dengan sumber asli, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadis. Pendekatan ini dilakukan untuk mencegah umat Islam dari kesalahan dalam penafsiran ajaran Islam. Dalam menjaga prinsip bermazhab, ia juga mendorong adanya kelas diskusi di Pesantren Tebuireng yang melibatkan ulama dan santri.

Teologi: Dalam karya-karyanya yang berjudul "Ar Risalah at-Tauhidiyah" dan "Al-Qaid fi Bayan Ma Yajib min al-Qaid", Kyai Haji Hasyim Asy'ari menjelaskan adanya tiga tingkat pemahaman manusia tentang Tuhan. Pertama, tingkat pemahaman tauhid bagi orang awam yang meliputi pengenalan akan keesaan Tuhan. Kedua, tingkat pengetahuan dan keyakinan yang bersumber dari Allah, yang merupakan pemahaman tentang tauhid bagi para ulama. Ketiga, tingkat pemahaman yang lebih mendalam tentang Keagungan Tuhan yang mencerminkan perasaan yang sangat dalam, Khususnya para sufi yang membawa ilmu tentang Tuhan atau Makrifat.

Tarekat: Kyai Haji Hasyim Asy'ari memberikan perhatian mendalam pada bidang tarekat. Ia menulis karya "Al-Durar al-Muntasirah fi Masa'il at-Tis'a 'Asyarah" yang berisi panduan praktis bagi umat Islam agar lebih berhati-hati dalam memahami dunia tarekat atau jalur spiritual. Dalam karyanya, ia menguraikan pengertian tentang wali Allah yang menjadi dasar bagi para pengikut tarekat.

  • KH Kholil Bangkalan

Syaikhona Kholil Bangkalan adalah seorang ulama terkenal. Beliau lahir di kampung Senenan, desa Kemayoran, kecamatan Bangkalan. Nama beliau diberikan berdasarkan kota kelahirannya, sehingga beliau dikenal sebagai Muhammad Kholil Bangkalan. Syaikhona Kholil Bangkalan dilahirkan pada hari Selasa, tanggal 3 Jumadi al-Akhir tahun 1252 H, atau sekitar tahun 1836 M. Beliau meninggal dunia di usianya yang ke 106 tahun,  yaitu pada hari Kamis 29 Ramadhan tahun 1343 Hijriyah/ 24 April 1925 Masehi.

Pemikiran KH Kholil Bangkalan:

Pertama, ia meyakini bahwa mengajarkan agama Islam akan lebih efektif jika dekat dengan penguasa wilayah, seperti yang dilakukan oleh pendahulunya, Sunan Gunung Jati. Kedua, ia mengajarkan konsep tawakal 'ala Kholil, yang mengandalkan doa dan bekerja keras, sambil menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah SWT. Ketiga, ia menganjurkan hidup sederhana, cinta ilmu, dan akhlak yang baik. Keempat, ia menekankan pentingnya mengikat ilmu dengan tulisan dan memiliki penguasaan tata bahasa Arab. Kelima, ia menganggap ilmu mengenal Allah dan syariat-Nya sebagai tujuan utama yang lebih penting. Keenam, ia mengajarkan pentingnya belajar ilmu tasawuf untuk menjaga keseimbangan dan menghadapi godaan hawa nafsu dan pengaruh syaitan. Ketujuh, ia aktif dalam memperjuangkan akidah Islam ahlusunnah wal jama'ah, semangat cinta terhadap tanah air, dan perlawanan terhadap penjajah.

  • KH Nawawi Al-Bantani

KH Nawawi al-Bantani, memiliki nama lengkap Muhammad Nawawi. KH Nawawi merupakan keturunan dari Umar bin Arobi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Mashbuqil al-Jawwi al-Bantani. Beliau lahir pada tahun 1230 Hijriyah/1813 Masehi di Tanara Tirtayasa Serang Banten. Kemudian beliau meninggal di Mekkah pada tahun 1314 Hijriya/1897 Masehi. Nisbat "al-Bantani" diberikan guna membedakannya dengan Imam Nawawi yaitu seorang ulama terkenal dari Nawa Damaskus yang hidup pada abad ke-13.

Pemikiran KH Nawawi Al-Bantani:

Syekh Nawawi memainkan peran penting dalam menginspirasi dan mendidik ulama Al-Jawwi serta masyarakat Indonesia. Ia mendorong pembebasan umat Islam dari penjajahan agar ajaran Islam dapat diimplementasikan dengan mudah. Selain mengajar agama, Syekh Nawawi menyumbangkan pemikirannya tentang kemerdekaan, anti-kolonialisme, dan patriotisme untuk kemajuan masyarakat. Meskipun tidak melalui revolusi fisik, ia berusaha menanamkan semangat kebangkitan dan nasionalisme melalui pendidikan. Dalam bidang tasawuf, ia menganjurkan mengikuti imam tasawuf, mengaku sebagai pengikut Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi dalam tarikat Qadariyah Naqshabandiyah. Dalam pemikiran fiqihnya, ia dipengaruhi oleh Imam Syafi'i dan mengakui al-Quran, hadis, ijma', dan qiyas sebagai sumber hukum Islam. Meskipun berbeda dengan pemerintahan Saudi yang melarang ziarah kubur, Syekh Nawawi mendukung praktik ini dan menganjurkan menghormati makam orang-orang yang berkontribusi dalam sejarah Islam. Ziarah ke makam Nabi Muhammad dan para sahabatnya dianggap sebagai bentuk ibadah yang mengingatkan pada perjuangan dan prestasi mereka.

  • KH Achmad Siddiq

KH Achmad Siddiq merupakan salah satu tokoh berpengaruh di daerah Jember dan juga di tingkat nasional. Ia lahir pada 24 Januari 1926 M atau 10 Rajab 1344 H. Dia berasal dari Kabupaten Jember dan memiliki nama kecil Achmad Muhammad Hasan. Pada saat yang sama dengan kelahirannya, Nahdlatul Ulama sebuah organisasi besar juga didirikan. KH. Achmad Siddiq lahir tujuh hari sebelum berdirinya Nahdlatul Ulama. Achmad Siddiq adalah putra bungsu dari Kiai Muhammad Siddiq dan Nyai Hj. Zakiah. Kiai Achmad Siddiq wafat pada tanggal 23 Januari 1991 di ruma sakit Dr. Soetomo Surabaya dan dimakamkan di pemakaman Aulia Desa Mojo Kediri.

Pemikiran KH Achmad Siddiq:

KH Achmad Siddiq memandang Pancasila sebagai asas dalam perspektif teologis dengan mengaitkannya dengan konsep takwa yang ada dalam Al-Qur'an. Menurut Achmad Siddiq, Islam dalam konteks Khittah NU bukan berarti meletakkan Islam dan Pancasila sebagai agama dan ideologi secara sejajar. Dia menjelaskan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal tidak mengurangi makna Islam sebagai agama, tetapi memberikan konteks bahwa Islam juga mencakup ilmu pengetahuan dan pemikiran yang relevan dengan perubahan zaman. Achmad Siddiq juga menegaskan bahwa ideologi adalah hasil karya manusia, dan umat Islam dapat memiliki ideologi selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam konteks Indonesia, Achmad Siddiq menganggap penting untuk menjelaskan hubungan antara Islam dan Pancasila agar tidak hanya dipahami secara simbolis, tetapi juga substansial. Pancasila dipandang sebagai manifestasi dari nilai-nilai ajaran Islam seperti tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Hal ini penting agar umat Islam memahami bahwa Pancasila merupakan dasar yang sesuai dengan ajaran agama mereka.

Salah satu gagasan penting KH Achmad Siddiq lainnya adalah penciptaan istilah persaudaraan, yang dimaksudkan untuk mengikat dan mengatur hubungan manusia dari sudut pandang agama Islam. Istilah tersebut meliputi ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama manusia) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Ketiga istilah ini dikenal dengan trilogi ukhuwah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun