Praktis, hampir semuanya terdisrupsi oleh kehadiran inovasi yang disruptif, khususnya teknologi digital. Startup itu dibangun dan dibesarkan oleh generasi-generasi baru yang masih muda belia. Mereka muda dan praktis tak memiliki catatan Sejarah masa lalu. Sementara, yang menghadapinya adalah kita, orang-orang lama “yang terperangkap masa lalu”. (Kasali, 2017: 2).
Begitulah kira-kira sepenggal kata yang tertulis pada buku karya Rhenald Kasali berjudul Self-Disruption pada tahun 2017. Buku tersebut membahas bagaimana era disrupsi akibat digitalisasi yang menembus batas, mengubah tatanan industri, memaksa pemain lama untuk mundur digantikan pemain baru yang lebih muda dengan segala inovasi dan kreativitasnya.
Pada kenyataannya, disrupsi ini tidak hanya terjadi pada kalangan profesional saja, lebih jauh, disrupsi terjadi di kalangan mahasiswa, pada aktivitas-nya di organisasi tingkat mahasiswa, dengan sesama-nya.
Disrupsi sosial, menurut Schrijvers, Prins dan Passchier (2011) secara intrinsik dihubungkan dengan konsep risiko yang didefinisikan sebagai kemungkinan dan konsekuensi.
Apabila dihubungkan dengan konteks komunikasi, maka disrupsi komunikasi dimaknai sebagai sebuah kondisi datangnya bencana yang terjadi akibat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi baru secara masif, sehingga mendatangkan resiko bagi aktivitas komunikasi yang sudah ada atau biasa dan digantikan oleh aktivitas yang baru.
Organisasi yang dilakukan oleh para mahasiswa di tingkat universitas sudah ada sejak lama, dari dimulainya para cendekiawan masa penjajahan, hingga saat ini.
Tujuan dasar dari berbagai bentuk organisasi kemahasiswaan tidak jauh dari menyamakan persepsi, menyamakan tujuan dan pandangan dalam rangka memajukan organisasi yang diikuti dan pengembangan diri para anggotanya.
Kita dapat melihat berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Program Studi, Himpunan Mahasiswa Islam, BEM dan lain sebagainya, tentunya masing-masing organisasi ini memiliki tujuan dan pandangan tersendiri, terlepas dari mana asal Universitasnya.
Generasi Z (Gen Z) seperti yang kita pahami adalah generasi yang lahir di tengah terpaan teknologi yang memudahkan segala aktivitas mereka sejak lahir. Mereka terkoneksi satu sama lain, melalui teknologi digital dan media sosial yang menjadi bagian integral dalam hidup mereka.
Hal ini tentu tidak hanya mempengaruhi bagaimana cara mereka berinteraksi, namun juga bagaimana mereka menghadapi dan menyelesaikan konflik di dalam suatu organisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Dimock pada tahun 2019 berjudul Defining Generations, menunjukkan bahwa Gen Z merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan platform digital dibandingkan dengan komunikasi tatap muka.
Aktivitas ini sekaligus merubah kecenderungan berorganisasi yang biasa dilakukan dengan retorika dan kepiawaian berbicara lisan, menjadi singkat padat dan hilang nuansa emosional. Lambat laun ini dapat menjadi bom waktu apabila terjadi konflik karena miskomunikasi dan mispersepsi.
Dampaknya pun tidak sederhana, bisa saja terjadi kerenggangan antara anggota kelompok, penurunan produksivitas organisasi, hingga bubarnya organisasi tersebut.
Namun dibalik disrupsi komunikasi yang terjadi khususnya pada organisasi mahasiswa, kita perlu memahami bagaimana cara Gen Z ini mengatasi suatu konflik.
Penelitian yang dilakukan oleh Twenge (2020) menyebutkan bahwa Gen Z sangat menyukai kejujuran dan keterbukaan dalam menghadapi konflik.
Mereka mengharapkan diskusi terbuka yang melibatkan semua pihak, mereka perlu merasa terlibat dan dilibatkan. Gejolak untuk ingin “dianggap ada” selalu melekat pada karakter Gen Z yang hidup dalam dunia maya sejak masih belia. Mereka sangat terbuka walau dengan fasilitas sosial tatap langsung yang minim, atau bahkan judgement terhadap diri mereka. Mereka sangat mengaminkan kolaborasi dan kerjasama, kendati mereka dihidupkan oleh suasana individualisme sejak kecil.
Maka perlu dipahami bahwa Gen Z nyatanya juga mampu mengatasi konflik dengan gaya mereka yakni keterbukaan, kejujuran dan keterlibatan personal.
Oleh karena itu, dalam memahami karakter Gen Z mengatasi suatu konflik maka dibutuhkan kepemimpinan yang piawai pula. Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosional seorang pemimpin, termasuk empati dan kemampuan mendengarkan secara interpersonal sangat dibutuhkan dalam meredakan konflik.
Pada organisasi di tingkat mahasiswa, pemimpin yang memahami dinamika Gen Z dapat memaksimalkan media digital dan teknologi untuk membangun kolaborasi sekaligus menjaga hubungan interpersonal.
Perlu juga diaktifkan kembali ruang-ruang pelatihan dan workshop terkait manajemen konflik, penyelesaian masalah kolaboratif dan komunikasi efektif, tidak hanya pengembangan skill profesional saja.
Sehingga, manajemen konflik bagi gen Z ini mampu memaksa mereka untuk mendisrupsi diri mereka sendiri untuk piawai dalam mengutarakan pendapat secara lisan dan bijak dalam menyelesaikan konflik dengan pendekatan hubungan interpersonal dan kolaboratif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H