Hal ini tentu tidak hanya mempengaruhi bagaimana cara mereka berinteraksi, namun juga bagaimana mereka menghadapi dan menyelesaikan konflik di dalam suatu organisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Dimock pada tahun 2019 berjudul Defining Generations, menunjukkan bahwa Gen Z merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan platform digital dibandingkan dengan komunikasi tatap muka.
Aktivitas ini sekaligus merubah kecenderungan berorganisasi yang biasa dilakukan dengan retorika dan kepiawaian berbicara lisan, menjadi singkat padat dan hilang nuansa emosional. Lambat laun ini dapat menjadi bom waktu apabila terjadi konflik karena miskomunikasi dan mispersepsi.
Dampaknya pun tidak sederhana, bisa saja terjadi kerenggangan antara anggota kelompok, penurunan produksivitas organisasi, hingga bubarnya organisasi tersebut.
Namun dibalik disrupsi komunikasi yang terjadi khususnya pada organisasi mahasiswa, kita perlu memahami bagaimana cara Gen Z ini mengatasi suatu konflik.
Penelitian yang dilakukan oleh Twenge (2020) menyebutkan bahwa Gen Z sangat menyukai kejujuran dan keterbukaan dalam menghadapi konflik.
Mereka mengharapkan diskusi terbuka yang melibatkan semua pihak, mereka perlu merasa terlibat dan dilibatkan. Gejolak untuk ingin “dianggap ada” selalu melekat pada karakter Gen Z yang hidup dalam dunia maya sejak masih belia. Mereka sangat terbuka walau dengan fasilitas sosial tatap langsung yang minim, atau bahkan judgement terhadap diri mereka. Mereka sangat mengaminkan kolaborasi dan kerjasama, kendati mereka dihidupkan oleh suasana individualisme sejak kecil.
Maka perlu dipahami bahwa Gen Z nyatanya juga mampu mengatasi konflik dengan gaya mereka yakni keterbukaan, kejujuran dan keterlibatan personal.
Oleh karena itu, dalam memahami karakter Gen Z mengatasi suatu konflik maka dibutuhkan kepemimpinan yang piawai pula. Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosional seorang pemimpin, termasuk empati dan kemampuan mendengarkan secara interpersonal sangat dibutuhkan dalam meredakan konflik.
Pada organisasi di tingkat mahasiswa, pemimpin yang memahami dinamika Gen Z dapat memaksimalkan media digital dan teknologi untuk membangun kolaborasi sekaligus menjaga hubungan interpersonal.
Perlu juga diaktifkan kembali ruang-ruang pelatihan dan workshop terkait manajemen konflik, penyelesaian masalah kolaboratif dan komunikasi efektif, tidak hanya pengembangan skill profesional saja.