Konsep keadilan restoratif menjadi semakin relevan dalam penyelesaian perkara pidana. Konsep ini menekankan pada pemulihan korban dan perbaikan pelaku, bukan hanya pada hukuman mati. Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mendorong penerapan keadilan restoratif melalui berbagai regulasi dan kebijakan, termasuk surat edaran, peraturan kejaksaan, dan keputusan direktur jenderal. Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengembangkan sistem peradilan pidana yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan demikian, pengertian dan penerapan hukum pidana Islam tentang pencemaran nama baik dapat memberikan landasan yang kuat bagi penegakan hukum yang adil dan efektif dalam masyarakat Muslim.
Tindak pidana pencemaran nama baik dalam media sosial menjadi isu yang semakin penting dalam konteks hukum pidana Islam. Dalam Islam, mencemarkan nama baik seseorang atau suatu golongan dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap nilai-nilai moral dan etika yang dipegang teguh oleh masyarakat Muslim. Hal ini juga dipandang sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum Islam yang mendasarkan pada keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan terhadap kehormatan individu.
Menurut hukum pidana Islam, tindak pidana pencemaran nama baik termasuk dalam kategori Jarimah Qadzf, yang dapat dihukum dengan had atau ta'zir. Jarimah Qadzf mencakup tuduhan-tuduhan yang merendahkan martabat seseorang, baik dengan menuduh seseorang melakukan perbuatan tercela maupun dengan mencaci dan memaki orang lain. Tindak pidana ini telah memenuhi tiga unsur pencemaran nama baik, yaitu unsur kesengajaan, unsur dilakukan di muka umum, dan unsur menyerang kehormatan atau martabat individu.
Dalam konteks hukum pidana Islam, hukuman atas tindak pidana pencemaran nama baik ditentukan berdasarkan madzhab yang dianut. Salah satu madzhab yang menentukan hukuman atas tindak pidana ini adalah madzhab Syafi'i, yang membatasi masa tahanan ta'zir tidak lebih dari satu tahun. Hukuman penjara dalam Islam memiliki tujuan mendidik atau memperbaiki pelaku, bukan sekadar mencapai kepastian hukum semata.
Dalam menyelesaikan perkara pidana, Islam mengenal dua model penyelesaian, yaitu model diskresif (istihsan) dan model benefisial (istihlah). Kedua model ini memungkinkan adanya proses mediasi bagi pelaku dan korban, sejalan dengan konsep penegakan hukum restoratif. Konsep ini menekankan pentingnya pemulihan korban dan perbaikan pelaku, bukan hanya pada pemberian hukuman mati.
Di Indonesia, penerapan konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana menjadi semakin relevan. Langkah-langkah seperti surat edaran kapolri, peraturan kejaksaan, dan keputusan direktur jenderal badan peradilan umum mahkamah agung mendukung penerapan keadilan restoratif dalam konteks hukum pidana. Ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengembangkan sistem peradilan pidana yang lebih adil dan berkelanjutan, yang sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Â
Perbandingan Hukum
Perbandingan antara hukum pidana positif dan Islam terhadap pencemaran nama baik dalam media sosial mengungkap perbedaan dan persamaan dalam pendekatan, prinsip, serta penegakan hukumnya. Mari kita tinjau beberapa perbandingan yang relevan:
1. Definisi dan Lingkup Tindak Pidana:
* Hukum Positif: Dalam hukum positif, tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial meliputi pembagian berdasarkan cara penyampaian informasi, seperti lisan, tertulis, atau melalui media elektronik. Hal ini mencakup tindakan yang merusak reputasi seseorang dengan membuat pernyataan yang salah kepada pihak ketiga. Di Indonesia, regulasi tindak pidana ini termasuk dalam Undang-Undang ITE dan KUHP.