Di ruangan berikutnya, kami disambut dengan miniatur Rumah Adat Banjar, Rumah Bubungan Tinggi. Sebelum perang Banjar terjadi pada tahun 1899, rumah Bubungan Tinggi ini merupakan kediaman Raja dan keluarganya.Â
Bentuk rumah pada masa itu berbeda-beda tergantung strata sosial pemilik rumah seperti rumah Gajah Manyusu yang ditempati oleh Warit (keturunan Raja garis pertama dan kedua) dan Balai Bini yang ditempati oleh putri Raja yang sudah menikah atau keluarga dari pihak Permaisuri.Â
Selain itu, terdapat ukiran-ukiran dari kayu ulin yang tidak dapat dipisahkan dari Rumah Adat Banjar yang khas. Setiap ukiran memiliki makna tersendiri, seperti daun jeruju yang berarti kedamaian, buah nanas yang melambangkan kesuburan dan buah manggis yang melambangkan ciri khas dari masyarakat Banjar itu sendiri yang mana kita ketahui pada bagian bawah buah manggis memiliki bagian berbentuk bunga berwarna hitam yang menandakan banyaknya buah manggis tersebut.Â
Masyarakat Banjar percaya bahwa buah manggis melambangkan kejujuran dimana masyarakat Banjar tidak pernah berbohong dengan perkataannya. Simbol manggis biasanya diletakkan di atas mimbar atau tongkat. Ketika Islam masuk pada tahun 1527, ukiran tersebut bertambah dengan lafaz Allah SWT atau Nabi Muhammad SAW dan tulisan Arab-Jawi.
Museum ini juga menampilkan transportasi sungai, diantaranya berbagai jenis perahu, seperti Jukung Rombong yang digunakan sebagai sarana berjualan, Perahu Parahan dan Perahu Undaan yang digunakan untuk mengangkut penumpang, komoditi hasil bumi dan lainnya serta perahu Sampung yang digunakan untuk bersantai dan perahu sampung jenis naga badudus yang digunakan untuk mengambil air untuk acara penobatan raja.Â
Penggunaan perahu tidak jauh dari penggunaan dayung, masyarakat Banjar membedakan penggunaan dayung menjadi tiga, yaitu Pengayuh laki yang lebih tebal dan kuat dan digunakan pada oendayung bagian belakang, pengayuh bini yang lebih pipih dan tipis dan digunakan pada oendayung bagian depan serta dayung yang lebih besar dari pengayuh laki dan pengayuh bini. Pengayuh ini digunakan pada perahu P. Arahan.
Di sisi samping perahu jenis ini ditampilkan Rumah Linting, yaitu rumah penduduk yang tinggal di pinggir sungai dimana rumah ini akan menyesuaikan volume air dan tidak akan tenggelam. Â Selain itu, dipamerkan juga padapuran, sebuah dapur tempat memasak dan tempat menyimpan bibit tanaman yang disebut salayan.