Museum Lambung Mangkurat adalah sebuah museum yang terletak di Kalimantan Selatan yang didirikan pada tahun 1979. Sejarah singkatnya, Museum Lambung Mangkurat sebelumnya telah mengalami banyak perubahan nama mulai dari tahun 1907 dengan nama "Museum Borneo" yang dikelola oleh Belanda dan berakhir karena perjuangan para penguasa saat itu.Â
Pada tahun 1955 menjadi "Museum Kalimantan" atas perintah Bapak Amir Hasan Bondan dan kemudian berakhir karena kebakaran besar. Pada tahun 1967, "Museum Banjar" lahir atas desakan Konferensi Kebudayaan Banjarmasin.Â
Akhirnya, Museum Negeri Lambung Mangkurat diresmikan pada tanggal 10 Januari 1979 oleh Menteri Pendidikan saat itu. Seluruh koleksi Museum Banjar diintegrasikan ke dalam Museum Lambung Mangkurat hingga sekarang.
Dari mana nama Lambung Mangkurat berasal? Nama Lambung Mangkurat diambil dari pelafalan orang Banjar terhadap Lembu Amangkurat, raja kedua Kerajan Negara Dipa atau awal Kesultanan Banjar.Â
Legenda Suku Maanyan meyakini bahwa Lambung Mangkurat adalah pelafalan lidah orang Melayu Banjar untuk menyebut nama Dambung Mangkurap, salah satu dari tiga orang pemimpin Masyarakat Adat Pangunraun yang gugur.
Di Museum Lambung Mangkurat ini terdapat 10 klasifikasi koleksi, yaitu; Geologika/Geografika, Biologika, Etnografika, Arkeologika, Historika, Numastika/Heraldika, Filogika, Keramoligika, Seni Rupa, dan Teknologika.
Dari luar kita dapat melihat bahwa museum ini berbentuk rumah tradisional Kalimantan Selatan, yaitu Rumah Bubungan Tinggi Banjar. Koleksi museum ini terdiri dari peninggalan Kesultanan Banjar, Candi Agung dan Candi Laras, alat-alat besi dan pertanian, ukiran kayu ulin, perabot rumah tangga, kegiatan budaya dan lain-lain.
Ketika naik ke lantai atas, pameran awal di sisi kiri museum memamerkan batu-batuan hasil tambang di Kalimantan Selatan, seperti batu gunug, batu bara dan batu kuarsa.Â
Di sebelahnya terdapat fauna laut dari filum Mollusca kelas Bivalvia dan Perahu Penyairan yang digunakan untuk menangkap ikan di sekitar pantai, laut dan sungai.Â
Di sisi kanan terdapat fauna endemik Kalimantan Selatan, yaitu bekantan (Nasalis larvatus), rangkong (Buceros vigil Forster) dan buaya (Tomistoma schlegelii) serta flora endemik hasil hutan seperti ulin. Di sudut terakhir terdapat pameran hutan bakau dan penangkaran penyu yang terletak di Kutabaru.
Di ruangan berikutnya, kami disambut dengan miniatur Rumah Adat Banjar, Rumah Bubungan Tinggi. Sebelum perang Banjar terjadi pada tahun 1899, rumah Bubungan Tinggi ini merupakan kediaman Raja dan keluarganya.Â
Bentuk rumah pada masa itu berbeda-beda tergantung strata sosial pemilik rumah seperti rumah Gajah Manyusu yang ditempati oleh Warit (keturunan Raja garis pertama dan kedua) dan Balai Bini yang ditempati oleh putri Raja yang sudah menikah atau keluarga dari pihak Permaisuri.Â
Selain itu, terdapat ukiran-ukiran dari kayu ulin yang tidak dapat dipisahkan dari Rumah Adat Banjar yang khas. Setiap ukiran memiliki makna tersendiri, seperti daun jeruju yang berarti kedamaian, buah nanas yang melambangkan kesuburan dan buah manggis yang melambangkan ciri khas dari masyarakat Banjar itu sendiri yang mana kita ketahui pada bagian bawah buah manggis memiliki bagian berbentuk bunga berwarna hitam yang menandakan banyaknya buah manggis tersebut.Â
Masyarakat Banjar percaya bahwa buah manggis melambangkan kejujuran dimana masyarakat Banjar tidak pernah berbohong dengan perkataannya. Simbol manggis biasanya diletakkan di atas mimbar atau tongkat. Ketika Islam masuk pada tahun 1527, ukiran tersebut bertambah dengan lafaz Allah SWT atau Nabi Muhammad SAW dan tulisan Arab-Jawi.
Museum ini juga menampilkan transportasi sungai, diantaranya berbagai jenis perahu, seperti Jukung Rombong yang digunakan sebagai sarana berjualan, Perahu Parahan dan Perahu Undaan yang digunakan untuk mengangkut penumpang, komoditi hasil bumi dan lainnya serta perahu Sampung yang digunakan untuk bersantai dan perahu sampung jenis naga badudus yang digunakan untuk mengambil air untuk acara penobatan raja.Â
Penggunaan perahu tidak jauh dari penggunaan dayung, masyarakat Banjar membedakan penggunaan dayung menjadi tiga, yaitu Pengayuh laki yang lebih tebal dan kuat dan digunakan pada oendayung bagian belakang, pengayuh bini yang lebih pipih dan tipis dan digunakan pada oendayung bagian depan serta dayung yang lebih besar dari pengayuh laki dan pengayuh bini. Pengayuh ini digunakan pada perahu P. Arahan.
Di sisi samping perahu jenis ini ditampilkan Rumah Linting, yaitu rumah penduduk yang tinggal di pinggir sungai dimana rumah ini akan menyesuaikan volume air dan tidak akan tenggelam. Â Selain itu, dipamerkan juga padapuran, sebuah dapur tempat memasak dan tempat menyimpan bibit tanaman yang disebut salayan.
Setelah itu, ada juga pakaian raja yang juga digunakan untuk pernikahan yang disebut bagajah gamuling yang berkembang sejak zaman Kerajaan Hindu dengan aksen Melayu dan bangmar galung pancar matahari dimana pakaian ini muncul setelah adanya pengaruh Islam dengan aksen Cina-Arab.Â
Ada juga naga darat yang merupakan sampung (kepala) perahu yang digunakan untuk arak-arakan pengantin. Naga di sini dianggap sebagai penolak bala yang dapat mencegah gangguan alam dan simbol pengharapan agar kedua mempelai tidak mendapatkan halangan dalam berumah tangga.
Setelah menikah dan memiliki anak, masyarakat banjar akan mengadakan Tian Mandaring, yaitu mandi di bawah jam 12 malam dengan harapan orang tua dan bayi diberikan rezeki yang baik. Ada juga mandi badudus untuk calon pengantin sebelum pernikahan.
Bayuun Maulud, yang diadakan pada bulan kelahiran bayi atau bulan maulid, bertujuan untuk mengharapkan keberkahan bagi bayi yang baru lahir. Sebelum Islam masuk, tradisi ini dilakukan untuk memperkenalkan bayi kepada penguasa daerah (Datuk) agar anak tersebut tidak penyarikan atau dalam bahasa Indonesia disebut pemarah.
Ada juga kegiatan Basunat yang merupakan upacara siklus hidup bagi penduduk muslim Kalimantan Selatan ketika menjelang dewasa. Alat-alat yang digunakan untuk basunat antara lain pancucuk, sasanggan, penyangga tapih dan lain-lain. Pada masa itu, antibiotik kimia belum ditemukan, sehingga masyarakat menggunakan daun nangka sebagai antibiotik. Setelah basunat berlangsung, sang anak akan diberi hadiah oleh orang tuanya seperti baju baru.
Jangan lupa untuk masuk ke dalam pameran Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliau adalah seorang ulama yang dihormati di seluruh negeri. Beliau mendapat julukan anumerta "Datuk Kelampaian". Beliau adalah penulis kitab Sabilal Muhtadin yang telah menjadi referensi bagi banyak umat Islam di Asia Tenggara. Di Museum ini kita dapat melihat langsung tulisan-tulisan beliau dan karya-karya lainnya.
Ada banyak kegiatan budaya dan peninggalan sejarah baik yang berwujud maupun tidak berwujud di Museum Lambung Mangkurat. Seperti cerita dan peninggalan pertanian, hadiah dari Kerajaan Demak kepada Kesultanan Banjar dan lain sebagainya.
Tur ini ditutup dengan senjata khas Kalimantan Selatan, yaitu Mandau. Mandau ini dulunya adalah senjata yang tidak bernama. Sebelum Mandau ada senjata paling mematikan di Kalimantan Selatan yang bernama Duhung, namun Duhung ini dikalahkan oleh senjata tanpa nama yang lebih mematikan sehingga masyarakat Kalimantan saat itu menyebutnya Kumundao yang berarti kuman mematikan yang memakan, dan jadilah sebutannya sekarang menjadi Mandau.
Apakah kalian tertarik dengan sejarah Kalimantan Selatan? Mari kunjungi Museum Lambung Mangkurat di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Museum buka setiap hari dari jam 08.00-16.00 WITA.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI