Mohon tunggu...
Rifqi Jallabi
Rifqi Jallabi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksistensi Perempuan dalam Berpolitik Dengan Perspektif Gender: Kurang nya Kepercayaan Terhadap Perempuan

6 Desember 2024   21:10 Diperbarui: 6 Desember 2024   21:13 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji eksistensi perempuan dalam ranah politik, khususnya dalam kaitannya dengan kurangnya kepercayaan terhadap keputusan yang diambil oleh perempuan. Perspektif gender menjadi kerangka analisis utama dalam memahami fenomena ini. Melalui kajian literatur dan analisis data kualitatif, penelitian ini berusaha mengungkap faktor-faktor yang mendasari kurangnya kepercayaan tersebut, baik dari sudut pandang sosial, budaya, maupun psikologis. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang lebih mendalam mengenai tantangan yang dihadapi perempuan dalam berpolitik dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik.

Kata Kunci: perempuan, politik, gender, kepercayaan, pengambilan keputusan

Abstract

This research aims to examine the existence of women in the political realm, especially in relation to the lack of trust in decisions taken by women. A gender perspective is the main analytical framework in understanding this phenomenon. Through a literature review and qualitative data analysis, this research seeks to uncover the factors that underlie this lack of trust, both from a social, cultural and psychological perspective. It is hoped that the research results can contribute to a deeper understanding of the challenges faced by women in politics and the efforts that can be made to increase women's participation and representation in public decision making.

Keywords: women, politics, gender, trust, decision making

Pendahuluan

            Ketidakadilan gender dalam politik telah menyebabkan perempuan seringkali terpinggirkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini mengakibatkan kebijakan publik yang kurang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi perempuan. Padahal, membangun masyarakat sipil yang kuat dan berkelanjutan membutuhkan partisipasi aktif dari semua warga negara, termasuk perempuan. Undang-undang telah mengatur ketetapan Perempuan pada tahun 2017 nomor 7 tentang pemilihan umum, secara tegas mengatur mengenai keterwakilan perempuan minimal 30% dalam daftar calon anggota legislatif. Ini adalah landasan hukum yang kuat untuk mencapai target tersebut. Perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda namun sama pentingnya dalam masyarakat. Keduanya memiliki hak yang sama karena nilai seseorang ditentukan oleh pikiran dan kecerdasannya, bukan jenis kelaminnya. Reformasi politik di Indonesia telah membuka peluang besar bagi perempuan untuk lebih aktif berpartisipasi dalam politik dan memperjuangkan hak-haknya yang sebelumnya seringkali dibatasi.

            Keterlibatan perempuan dalam politik sangat penting karena perempuan memiliki pengalaman dan sudut pandang yang unik. Hanya perempuan yang dapat benar-benar memahami dan menyuarakan isu-isu yang dihadapi oleh perempuan. Jika perempuan tidak memiliki wakil yang memahami kebutuhan mereka, kebijakan yang dibuat akan kurang sensitif terhadap masalah perempuan. Meskipun ada pandangan yang berbeda mengenai kuota perempuan, namun banyak perempuan yang mendukung upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. tilah Kesetaraan gender adalah istilah yang banyak diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender secara praktis hampir selalu diartikan sebagai kondisi "ketidaksetaraan" yang dialami oleh para perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil dan semacamnya. Dengan kata lain, kesetaraan gender juga berarti adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

            Kita patut bangga dan menghargai atas perjuangan kaum perempuan di legislatif, para aktivis perempuan dan para feminis yang menginginkan semua pihak bersedia mendukung affirmative action dengan harapan agar ada perimbangan antara laki-laki dengan perempuan di lembaga legislatif maupun lembaga-lembaga pengambilan keputusan, sehingga kebijakan-kebijakan publik/politik tidak akan bias jender tetapi justru akan mendinginkan suhu politik yang semakin hari kian memanas. Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen menyebabkan perempuan kurang memiliki peran dalam pengambilan keputusan. Kebijakan yang dihasilkan cenderung lebih menguntungkan laki-laki karena dibuat oleh orang-orang yang memiliki perspektif maskulin. Akibatnya, perempuan seringkali menjadi pihak yang paling terdampak oleh kebijakan tersebut, namun suara mereka jarang didengar. Kondisi ini membuat perempuan semakin termarginalkan dalam masyarakat. Diskursus mengenai keterlibatan perempuan dalam ranah politik selalu menarik perhatian, khususnya dari perspektif feminisme radikal. Aliran ini mengadvokasi transformasi radikal peran perempuan, yakni pergeseran signifikan dari ruang domestik menuju ruang publik. Dengan kata lain, feminisme radikal berupaya menghapuskan batasan tegas antara perempuan dan politik yang selama ini diciptakan oleh budaya patriarki. Pandangan patriarkal telah mengkonstruksi perempuan sebagai sosok yang idealnya berada di ruang domestik, mengurus rumah tangga dan keluarga. Sementara itu, ruang publik, terutama dunia politik, dianggap sebagai ranah maskulin yang penuh persaingan, kekuasaan, dan intrik. Stereotipe ini membatasi ruang gerak perempuan dan menuntut mereka untuk menjalankan peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja profesional.

Feminisme radikal menantang asumsi-asumsi tersebut dengan argumen bahwa pembagian peran yang rigid antara laki-laki dan perempuan adalah konstruksi sosial yang tidak alami. Mereka berpendapat bahwa perempuan memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam politik dan mengambil keputusan publik. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam politik bukan hanya sekadar soal kuota atau representasi, melainkan upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan demokratis di mana semua suara, termasuk suara perempuan, didengar dan dipertimbangkan. Rendahnya posisi tawar perempuan dalam masyarakat membuat mereka sulit untuk mempengaruhi keputusan-keputusan penting. Partisipasi politik perempuan tidak terbatas pada jabatan-jabatan tinggi, melainkan mencakup berbagai peran aktif dalam proses politik. Keterlibatan perempuan dalam politik merupakan bentuk aktualisasi diri dan cara untuk memastikan bahwa suara perempuan didengar dalam pengambilan kebijakan publik. Perspektif perempuan yang holistik dan responsif gender dapat memperkaya proses pembuatan kebijakan dan menghasilkan legislasi yang lebih inklusif.

Metode Penelitian

            Metode deskriptif adalah salah satu metode penelitian yang digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan suatu keadaan, peristiwa, atau gejala yang terjadi pada saat penelitian dilakukan. Sederhananya, metode ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan "apa" dan "bagaimana" tentang suatu objek penelitian

Pembahasan

  • Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Dalam Lingkup Pemilihan

Partisipasi perempuan Indonesia dalam angkatan kerja, khususnya di sektor publik, masih terbatas. Meskipun terdapat gerakan emansipasi yang mendorong kesetaraan gender, perempuan seringkali harus menanggung beban ganda, yaitu mengurus rumah tangga dan menjalankan karier. Akses dan peluang perempuan untuk menduduki posisi penting di tempat kerja masih terbatas, dan seringkali perempuan dianggap kurang kompeten untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu. Secara historis, peran perempuan di masyarakat Indonesia telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga mereka lebih banyak terlibat dalam pekerjaan domestik. Dua faktor utama yang menghambat kemajuan perempuan adalah budaya patriarki dan interpretasi agama yang sempit. Pandangan tradisional ini menciptakan pemisahan antara peran laki-laki dan perempuan, serta mengasumsikan bahwa kebutuhan perempuan berbeda dan hanya dapat dipahami oleh perempuan lain. Akibatnya, perempuan seringkali kurang memiliki ruang untuk bersuara dan mengambil keputusan dalam ruang publik. Meskipun demikian, partisipasi politik perempuan seringkali terbatas pada hak pilih dan tidak didorong oleh motivasi internal untuk berpartisipasi secara otonom.

Kebijakan publik memiliki peran krusial dalam upaya pemberdayaan perempuan. Melalui kebijakan, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi partisipasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Inisiatif kebijakan satu pintu yang mengintegrasikan berbagai program pemberdayaan perempuan merupakan langkah strategis yang perlu didukung oleh seluruh pemangku kepentingan. Peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif harus diiringi dengan komitmen yang kuat untuk mewujudkan kesetaraan gender. keberhasilan perempuan dalam menjalankan mandat politiknya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sistem pemilu, mekanisme pencalonan, dan partisipasi aktif partai politik dalam mendorong keterwakilan perempuan.

Sebagai tindak lanjut untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan perlu dilakukan beberapa hal sebagai berikut:

  • Salah satu indikator keberhasilan demokratisasi adalah sejauh mana perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam politik. Partai politik sebagai pilar demokrasi memiliki peran krusial dalam mendorong keterlibatan perempuan. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam struktur kepemimpinan partai masih sangat terbatas.
  • Agar partisipasi perempuan dalam politik lebih berarti, perlu adanya tindakan afirmatif berupa kuota perempuan. Artinya, partai politik harus memastikan bahwa sejumlah tertentu calon legislatif adalah perempuan. Praktik ini sudah diterapkan di beberapa negara untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam parlemen.

Ttransisi menuju sistem politik yang inklusif gender memerlukan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Implementasi kebijakan afirmatif seperti kuota perempuan menuntut partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan. Menurut penelitian Center For Asia-Pasific Women In Folitics, terdapat dua faktor utama yang menjadi hambatan bagi partisipasi politik perempuan. Konstruksi sosial selama ini menempatkan perempuan di ranah privat (rumah tangga) dan laki-laki di ranah publik (masyarakat). Perempuan diharapkan mengurus rumah tangga dan keluarga, sementara aktivitas di luar rumah dianggap sebagai tanggung jawab sekunder. Selama tidak mengabaikan tugas domestik, perempuan dapat berpartisipasi dalam kegiatan publMeskipun keterlibatan perempuan dalam politik semakin meningkat, namun perempuan masih menghadapi tantangan ganda. Di satu sisi, mereka dituntut untuk berkontribusi dalam ranah publik, di sisi lain, mereka tetap diharapkan untuk menjalankan peran domestik secara penuh. Beban ganda ini seringkali menjadi penghalang bagi partisipasi politik perempuanic.

Perempuan pemimpin seringkali menghadapi beban ganda. Selain harus memenuhi ekspektasi kinerja yang tinggi, mereka juga harus menghadapsi stigma gender yang menuntut mereka untuk menjadi sempurna dalam segala hal, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi. Hal ini menciptakan ketidakadilan dan menghambat potensi perempuan untuk mencapai posisi kepemimpinan yang lebih tinggi.

  • Hambatan Perempuan Dalam Berpolitik

Partisipasi politik perempuan seringkali hanya dijadikan sebagai simbol politik tanpa ada upaya konkret untuk mewujudkan kesetaraan gender. Partai politik seringkali gagal memenuhi janji-janji kampanye terkait isu-isu perempuan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk sistem kaderisasi partai yang diskriminatif, rendahnya kesadaran politik perempuan, dan kendala finansial. Perempuan merasa suara mereka kurang didengar di pemerintahan. Mereka jarang terlibat dalam pengambilan keputusan penting. Walaupun banyak yang ingin ikut serta dalam politik, masih banyak kendala yang mereka hadapi, baik dari kebiasaan masyarakat maupun lingkungan sosial.

Adanya aturan kuota 30% calon perempuan dalam pemilu merupakan hasil perjuangan panjang perempuan. Sayangnya, belum ada sanksi yang tegas untuk partai politik yang melanggar aturan ini. Untuk mengatasi masalah ini, salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan pemahaman dan minat perempuan terhadap politik. Pemberdayaan adalah proses mengubah hubungan kuasa antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari keluarga hingga negara. Inti dari pemberdayaan adalah memberikan perempuan kesempatan untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui dua pendekatan: pertama, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan potensi setiap individu; kedua, memperkuat kapasitas individu dan komunitas untuk mencapai tujuan mereka.

Strategi pemberdayaan perempuan didasarkan pada prinsip kesetaraan gender. Pendekatan ini melibatkan dialog yang setara antara laki-laki dan perempuan untuk saling menghargai dan mendukung. Pemberdayaan bertujuan untuk mengembangkan potensi individu secara maksimal, sehingga perempuan dapat mencapai kemandirian. Namun, dalam praktiknya, masih banyak tantangan yang dihadapi, seperti adanya hierarki gender yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat, terutama dalam hal ekonomi dan politik. Kemitraan sejajar antara perempuan dan laki-laki adalah kondisi di mana keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Namun, dalam praktiknya, seringkali terjadi ketidakseimbangan kekuasaan. Hal ini seringkali menjadi masalah dalam keluarga yang berpendidikan, karena adanya ekspektasi yang tinggi akan kesetaraan gender. Pendidikan yang tinggi diharapkan dapat mendorong kesetaraan gender, namun ironisnya seringkali menjadi sumber konflik dalam keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan saja tidak cukup untuk mengubah pola pikir dan perilaku yang sudah tertanam. udaya patriarki yang masih kuat di masyarakat menjadi salah satu hambatan utama dalam mewujudkan kesetaraan gender. Meskipun individu sudah memiliki kesadaran akan pentingnya kesetaraan, namun tekanan sosial dan budaya seringkali sulit diubah. ntuk mencapai kemitraan sejajar, diperlukan upaya bersama dari semua pihak. Pendidikan, kesadaran akan gender, dan dialog yang terbuka adalah kunci untuk mengatasi masalah ini.

  • Politik dan Gender

Gender itu sebenarnya hasil dari cara kita memandang laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Masyarakat sering kali membuat aturan-aturan yang membedakan peran dan tugas antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya, laki-laki seringkali mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Konsep gender yang dikonstruksi secara sosial telah menciptakan pembagian peran yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Perempuan seringkali dibatasi pada peran domestik yang tidak memberikan akses terhadap sumber daya dan kekuasaan, sementara laki-laki mendominasi ruang publik. Hal ini memperkuat ketidakadilan gender. Keadaan tersebut menyebabkan posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang tidak terbatas, seperti memasak, mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya. Pekerjaan domestik tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi. Penempatan perempuan pada tugas domestik sepenuhnya mengakibatkan potensi perempuan untuk melakukan hal produktif menjadi berkurang. Memang, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah secara resmi telah menganut dan menetapkan kesepakatan atas persamaan antara perempuan dan lakilaki sebagaimana termuat dalam UUD 45 Pasal 27.

Selain itu, berdasarkan data Komnas perempuan tahun 2012, telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias gender. Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin oleh UUD. Padahal, kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia dalam berperan dan berpartisipasi dan menerima manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan.

Politik pada hakekatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan yang ada diIndonesia masih sangatlah didominasi oleh laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga, tingkat masyarakat hingga tingkat politik formal. Di Indonesia, masalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan masih jadi masalah besar. Kita perlu lebih paham tentang kesetaraan gender dan memberikan lebih banyak kesempatan kepada perempuan untuk ikut mengambil keputusan penting di negara kita. Sayangnya, banyak perempuan yang masih sulit mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan yang bagus, dan kesempatan untuk berpolitik karena pandangan masyarakat yang masih kuno. Meskipun di rumah perempuan dianggap penting, tapi posisinya seringkali tidak setara dengan laki-laki.

Upaya untuk mengarusutamakan gender di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, semakin intensif. Melalui berbagai pelatihan dan program yang disinergikan dengan organisasi internasional, kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender terus ditingkatkan. Namun, kendati demikian, partisipasi perempuan dalam politik, khususnya dalam posisi kepemimpinan, masih relatif rendah. Dominasi laki-laki dalam ranah politik masih menjadi tantangan tersendiri. Rendahnya partisipasi politik perempuan berdampak pada kualitas kebijakan publik yang kurang responsif terhadap kebutuhan perempuan. Untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, diperlukan upaya yang lebih komprehensif, mulai dari perubahan kebijakan hingga perubahan sikap masyarakat. Meskipun masih terdapat kendala, partisipasi perempuan dalam politik Indonesia menunjukkan tren yang positif. Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif semakin meningkat. Terdapat sejumlah bupati dan gubernur perempuan yang berhasil menjabat lebih dari satu periode, menunjukkan adanya kemajuan dalam partisipasi politik perempuan.

Dengan semakin meningkatnya keterbukaan politik, secara teoritis peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik akan semakin besar. Oleh karena itu, argumentasi mengenai pentingnya kuota gender dalam politik menjadi kurang relevan. Meskipun demikian, adanya hak politik bagi perempuan tidak serta merta menjamin terwujudnya partisipasi politik perempuan yang substantif. Faktor-faktor sosial budaya yang masih patriarkal seringkali membatasi kebebasan perempuan dalam menentukan pilihan politiknya. Peningkatan keterbukaan politik seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan partisipasi politik perempuan. Namun, realitas menunjukkan bahwa adanya hak politik formal tidak selalu berbanding lurus dengan partisipasi politik yang substansial. Perempuan masih menghadapi berbagai hambatan struktural dan kultural yang membatasi kebebasan mereka dalam mengambil keputusan politik.

Pendidikan politik itu penting untuk membuat kita semua, baik individu maupun kelompok, lebih paham tentang politik dan ikut serta dalam kegiatan bernegara. Tujuannya adalah agar kita semua bisa menjadi warga negara yang baik, yang tahu hak dan kewajibannya. Pendidikan politik juga menekankan pentingnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Karena saat ini, masih banyak perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam hal pekerjaan dan kegiatan di masyarakat. Oleh karena itu, kita perlu memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk ikut serta dalam pembangunan negara.

Kita perlu memperhatikan masalah pendidikan politik bagi perempuan. Dengan memahami politik, perempuan akan lebih siap untuk berpartisipasi dan memanfaatkan peluang yang ada. Kita juga perlu mengubah kebijakan yang hanya memberikan keuntungan sementara kepada perempuan (affirmative action) menjadi kebijakan yang lebih menyeluruh, yaitu Pengarusutamaan Gender (PUG). PUG bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan di semua bidang kehidupan. Demokrasi yang bermakna harus mengakomodasi kepentingan seluruh warga negara, terutama kelompok mayoritas seperti perempuan. Pandangan tradisional yang membatasi ruang gerak perempuan dalam politik telah menyebabkan marginalisasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan publik. Konsep publik dan privat yang bersifat gender telah memperkuat ketidaksetaraan gender dan menghambat partisipasi politik perempuan.

Kesimpulan

            Tidak dapat dimungkiri, dalam konteks Indonesia persoalan mengenai keterwakilan perempuan di parlemen masih menghadapi sejumlah tantangan, baik internal maupun eksternal. Padahal sebagai warga negara seluruh hak kaum perempuan dijamin konstitusi, termasuk hak untuk berpartisipasi di bidang politik. Adapun kendala ideologis dan psikologis yang akan dihadapi ketika akan masuk ke parlemen, adalah Pertama,masih adanya ideologi gender dan pola-pola kultural maupun peran sosial yang ditetapkan sebelumnya diberikan kepada perempuan dan laki-laki. Kedua, kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk mencalonkan diri. Budaaya ketakuta(culture of fear) mencegah perempuan berkompetisi dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam kehidupan politik.

            Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, yang kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dibentuk melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos. Perbedaan jenis jenis kelamin sering dipergunakan masyarakat untuk membentuk. pembagian peran (kerja) lakilaki dan perempuan atas dasar perbedaan tersebut. Akibatnya terjadilah pembagian peran gender yaitu peran domestik dan peran publik. Politik pada hakekatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan yang ada di Indonesia masih sangatlah didominasi oleh laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga, tingkat masyarakat hingga tingkat politik formal. Gender menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan perkembangan akses perpolitikan bagi perempuan.

 

Daftar Pustaka

Very Wahyudi, Peran Politik Perempuan dalam Persfektif Gender, Jurnal Politik islam, 2018

Jumni Nelli, Eksistensi Perempuan Pada Lembaga Politik Formal Dalam Mewujudkan Kesetaraan Gender, Marwah, 2015

Heldahina Sulaiman, Andi tenri, Telaah Siyasah Syar'iyyah Terhadap Eksistensi Perempuan Dalam Kontestasi Politik. Siyasatuna Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siasyah Syari'ah

Gusmansyah, W. (2019). Dinamika kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia. HAWA, 1(1).

Hasanah, U., & Musyafak, N. (2017). Gender and politics: Keterlibatan perempuan dalam pembangunan politik. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 12(3), 409-432.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun