Mohon tunggu...
Rifqi Jallabi
Rifqi Jallabi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksistensi Perempuan dalam Berpolitik Dengan Perspektif Gender: Kurang nya Kepercayaan Terhadap Perempuan

6 Desember 2024   21:10 Diperbarui: 6 Desember 2024   21:13 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gender itu sebenarnya hasil dari cara kita memandang laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Masyarakat sering kali membuat aturan-aturan yang membedakan peran dan tugas antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya, laki-laki seringkali mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Konsep gender yang dikonstruksi secara sosial telah menciptakan pembagian peran yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Perempuan seringkali dibatasi pada peran domestik yang tidak memberikan akses terhadap sumber daya dan kekuasaan, sementara laki-laki mendominasi ruang publik. Hal ini memperkuat ketidakadilan gender. Keadaan tersebut menyebabkan posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang tidak terbatas, seperti memasak, mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya. Pekerjaan domestik tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi. Penempatan perempuan pada tugas domestik sepenuhnya mengakibatkan potensi perempuan untuk melakukan hal produktif menjadi berkurang. Memang, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah secara resmi telah menganut dan menetapkan kesepakatan atas persamaan antara perempuan dan lakilaki sebagaimana termuat dalam UUD 45 Pasal 27.

Selain itu, berdasarkan data Komnas perempuan tahun 2012, telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias gender. Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin oleh UUD. Padahal, kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia dalam berperan dan berpartisipasi dan menerima manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan.

Politik pada hakekatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan yang ada diIndonesia masih sangatlah didominasi oleh laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga, tingkat masyarakat hingga tingkat politik formal. Di Indonesia, masalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan masih jadi masalah besar. Kita perlu lebih paham tentang kesetaraan gender dan memberikan lebih banyak kesempatan kepada perempuan untuk ikut mengambil keputusan penting di negara kita. Sayangnya, banyak perempuan yang masih sulit mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan yang bagus, dan kesempatan untuk berpolitik karena pandangan masyarakat yang masih kuno. Meskipun di rumah perempuan dianggap penting, tapi posisinya seringkali tidak setara dengan laki-laki.

Upaya untuk mengarusutamakan gender di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, semakin intensif. Melalui berbagai pelatihan dan program yang disinergikan dengan organisasi internasional, kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender terus ditingkatkan. Namun, kendati demikian, partisipasi perempuan dalam politik, khususnya dalam posisi kepemimpinan, masih relatif rendah. Dominasi laki-laki dalam ranah politik masih menjadi tantangan tersendiri. Rendahnya partisipasi politik perempuan berdampak pada kualitas kebijakan publik yang kurang responsif terhadap kebutuhan perempuan. Untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, diperlukan upaya yang lebih komprehensif, mulai dari perubahan kebijakan hingga perubahan sikap masyarakat. Meskipun masih terdapat kendala, partisipasi perempuan dalam politik Indonesia menunjukkan tren yang positif. Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif semakin meningkat. Terdapat sejumlah bupati dan gubernur perempuan yang berhasil menjabat lebih dari satu periode, menunjukkan adanya kemajuan dalam partisipasi politik perempuan.

Dengan semakin meningkatnya keterbukaan politik, secara teoritis peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik akan semakin besar. Oleh karena itu, argumentasi mengenai pentingnya kuota gender dalam politik menjadi kurang relevan. Meskipun demikian, adanya hak politik bagi perempuan tidak serta merta menjamin terwujudnya partisipasi politik perempuan yang substantif. Faktor-faktor sosial budaya yang masih patriarkal seringkali membatasi kebebasan perempuan dalam menentukan pilihan politiknya. Peningkatan keterbukaan politik seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan partisipasi politik perempuan. Namun, realitas menunjukkan bahwa adanya hak politik formal tidak selalu berbanding lurus dengan partisipasi politik yang substansial. Perempuan masih menghadapi berbagai hambatan struktural dan kultural yang membatasi kebebasan mereka dalam mengambil keputusan politik.

Pendidikan politik itu penting untuk membuat kita semua, baik individu maupun kelompok, lebih paham tentang politik dan ikut serta dalam kegiatan bernegara. Tujuannya adalah agar kita semua bisa menjadi warga negara yang baik, yang tahu hak dan kewajibannya. Pendidikan politik juga menekankan pentingnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Karena saat ini, masih banyak perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam hal pekerjaan dan kegiatan di masyarakat. Oleh karena itu, kita perlu memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk ikut serta dalam pembangunan negara.

Kita perlu memperhatikan masalah pendidikan politik bagi perempuan. Dengan memahami politik, perempuan akan lebih siap untuk berpartisipasi dan memanfaatkan peluang yang ada. Kita juga perlu mengubah kebijakan yang hanya memberikan keuntungan sementara kepada perempuan (affirmative action) menjadi kebijakan yang lebih menyeluruh, yaitu Pengarusutamaan Gender (PUG). PUG bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan di semua bidang kehidupan. Demokrasi yang bermakna harus mengakomodasi kepentingan seluruh warga negara, terutama kelompok mayoritas seperti perempuan. Pandangan tradisional yang membatasi ruang gerak perempuan dalam politik telah menyebabkan marginalisasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan publik. Konsep publik dan privat yang bersifat gender telah memperkuat ketidaksetaraan gender dan menghambat partisipasi politik perempuan.

Kesimpulan

            Tidak dapat dimungkiri, dalam konteks Indonesia persoalan mengenai keterwakilan perempuan di parlemen masih menghadapi sejumlah tantangan, baik internal maupun eksternal. Padahal sebagai warga negara seluruh hak kaum perempuan dijamin konstitusi, termasuk hak untuk berpartisipasi di bidang politik. Adapun kendala ideologis dan psikologis yang akan dihadapi ketika akan masuk ke parlemen, adalah Pertama,masih adanya ideologi gender dan pola-pola kultural maupun peran sosial yang ditetapkan sebelumnya diberikan kepada perempuan dan laki-laki. Kedua, kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk mencalonkan diri. Budaaya ketakuta(culture of fear) mencegah perempuan berkompetisi dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam kehidupan politik.

            Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, yang kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dibentuk melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos. Perbedaan jenis jenis kelamin sering dipergunakan masyarakat untuk membentuk. pembagian peran (kerja) lakilaki dan perempuan atas dasar perbedaan tersebut. Akibatnya terjadilah pembagian peran gender yaitu peran domestik dan peran publik. Politik pada hakekatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan yang ada di Indonesia masih sangatlah didominasi oleh laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga, tingkat masyarakat hingga tingkat politik formal. Gender menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan perkembangan akses perpolitikan bagi perempuan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun