Mohon tunggu...
Rifqi BenBany
Rifqi BenBany Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jaminan Kesehatan Nasional, Evaluasi Perubahan Indones Menuju Universal Health Coverage

28 November 2018   19:36 Diperbarui: 28 November 2018   19:54 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Indonesia Menuju Universal Health Coverage 2019

Indonesia memiliki misi untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia dengan misi menciptakan Indonesia Universal Health Coverage pada Tahun 2019. Universal Health Coverage adalah cakupan kesehatan menyeluruh, artinya seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan jaminan kesehatan secara komprehensif mulai dari promotif preventif.

Universal coverage juga berarti bahwa proporsi biaya yang dikeluarkan secara langsung oleh masyarakat (out of pocket payment) makin kecil sehingga tidak mengganggu keuangan peserta (financial catastrophic) yang menyebabkan peserta menjadi miskin.

Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan yang dibutuhkan tanpa ada kesulitan.

7 Hal ini sesuai dengan kerangka konsep yang disebutkan oleh World Health Organization (WHO) bahwa "The WHO's conceptual framework suggests three broad dimensions of UHC: population coverage, service coverage, and financial coverage". Kemenkes menargetkan bahwa Universal Health Coverage dapat terlaksana hingga cakupan 100% pada tahun 1 Januari 2019.

Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional Indonesia

APBN Tahun 2018 untuk kementerian kesehatan adalah terbesar ketiga. Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan, Kemenkes RI Barlian, SH, M.Kes., mengatakan pagu anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2018 sebesar Rp.59,1 Triliun. Hal ini disampaikan pada pertemuan Forum Merdeka Barat, Jumat (18/8) di Gedung Kemenkominfo, Jakarta.

Menurut Barlian, anggaran tersebut digunakan untuk pelaksanaan kegiatan prioritas nasional sebesar Rp.33,9 Triliun (57,4%), yang terdiri dari Anggaran untuk JKN sebesar Rp. 25,5 T dan Rp 8,4 T Anggaran Non JKN. Artinya hampir 50% biaya anggaran Kemenkes untuk pembiayaan JKN. Biaya JKN begitu besar karena di tambah pula dari sumber pendapatan iuran.

Sesuai dengan amanat pada Perpres No. 12 Tahun 2013, kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di targetkan mencapai cakupan semesta pada tahun 2019. 

RPJMN 2015-2019 telah menyusun berbagai arahan dan strategi untuk mencapai cita-cita mulia ini. Kepesertaan semesta dibutuhkan untuk memastikan terselenggaranya Program JKN yang berkesinambungan karena memiliki kumpulan risiko yang baik sehingga risiko pembiayaan yang dibutuhkan lebih mudah diprediksi.

Data menunjukan saat ini per 1 November 2018 masyarakat Indonesia sudah sebanyak 205.071.003. Dengan rincian kepesertaan BPJS sebagai berikut : Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN sebesar 92.305.191, Penerima Bantuan Iuran APBD sebesar 28.389.783, Pekerja Penerima Upah -- Pegawai Negeri sebesar  17.179.996,  Pekerja Penerima Upah -- BU sebesar 31.640.352, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) -- Pekerja Mandiri sebesar 30.421.103, Bukan Pekerja sebesar  5.134.578.

BPJS terus memperluas jaringannya sehingga masyarakat lebih mudah mengakses ke pelayanan kesehatan. Sampai saat ini fasilitas kesehatan yang telah tergabung dengan jaringan BPJS sebanyak 9.909 Puskesmas, 5.292 Dokter Praktik Perorangan, 6.466 Klinik Pratama, 1.219 Dokter Gigi, 24 RS Kelas D Pratama, 2.218 Rumah Sakit, 238 Klinik Utama, 653 Apotek PRB dan Kronis, 1.086 Optik.

Dalam pelaksanaannya BPJS memang program yang sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Meningkatkan kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan semakin meningkat. 

Masyarakat dengan sakit apa pun dapat di bantu biayanya oleh BPJS. Pada era BPJS sudah tidak ada lagi masyarakat yang tidak bias pulang karena tidak dapat membayar tagihan rumah sakit. Iuran BPJS juga sangat terjangkau ada pilihan kelas mulai dari kelas 3 sampai 1 kalaupun masyarakat tidak mampu membayar iuran dapat didaftarkan menjadi Penerima Bantuan Iuran.

Saat ini Rumah sakit menghabiskan hampir 80% pengeluaran biaya pelayanan kesehatan JKN. Oleh sebab itu, model ini memperhitungkan dampak dari perubahan epidemiologi terhadap perilaku mencari pengobatan di rumah sakit dan berkurangnya pemanfaatan dari sektor informal yang sejalan dengan surutnya kecenderungan di antara penduduk yang berisiko tinggi menderita penyakit berat untuk mendaftar sebagai peserta JKN (adverse selection).

Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, jumlah klinik swasta yang bekerja sama dengan BPJS-K menjadi semakin banyak sehingga model ini menguantifikasikan dampak keuangan tren ini, dengan mempertimbangkan tingkat biaya kapitasi klinik yang lebih tinggi, dan usulan untuk merevisi tingkat biaya tersebut.

Evaluasi Pelaksanaan JKN dan Tantangan Terbesar Health Coverage

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membukukan klaim sepanjang tahun lalu sebesar Rp 84 triliun. Jumlah klaim tersebut melampaui pendapatan iuran perseroan yang hanya sebesar Rp74,25 triliun pada periode yang sama. 

Apabila dibandingkan dengan jumlah klaimnya, maka ada selisih sekitar hampir Rp10 triliun antara jumlah klaim dengan pendapatan iuran. Ibarat pepatah, besar pasak daripada tiang. BPJS mengklaim bahwa jumlah klaim yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendapatan iurannya, tidak memengaruhi fasilitas dan pelayanan perseroan.

Penyelenggaraan BPJS bukan berarti tanpa masalah, program BPJS menimbulkan masalah yang begitu kompleks dari hulu sampai hilir. 

Pada awal BPJS memang di desain untuk defisit keuangan bagaimana tidak dari tahun pertama hingga 2018 BPJS keuangan BPJS selalu defisit. Terhitung sejak tahun 2014 BPJS defisit Rp 3.3T, tahun 2015 defisit Rp 6T, tahun 2016 Rp. 3.1T, dan Tahun 2017 defisit Rp9 T, angka ini diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan akumulasi defisit dari tahun-tahun sebelumnya, meningkatnya angka kesakitan terutama penyakit-penyakit katastropik.

BPJS di desain untuk merugi, salah satu faktor yang tidak dapat dipungkiri yang menjadi penyebab BPJS merugi adalah iuran BPJS yang rendah. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan besaran iuran yang dihitung oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) di 2015 dinilai sudah cukup sesuai. 

Saat ini, iuran kelas I, kelas II, dan kelas III BPJS Kesehatan yang masing-masing bernilai Rp 80.000, Rp 51.000, dan Rp 25.500. "Nah itu kelas tiga dihitung tahun 2015 itu harusnya Rp 33.000, tapi diputuskan Rp 25.500 artinya ada gap Rp 7.500 di angka ideal. Kelas dua juga itu di Rp 63.000, diputuskan Rp 51.000, jadi ada gap Rp 12.000. Hanya kelas 1 di tahun 2015 itu yang sesuai Rp 80.000 per orang per bulan," kata Fachmi kepada detikFinance, Jakarta, Jumat (28/9/2018). Sementara untuk iuran BPJS PBI (Peserta Bantuan Iuran) serta penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah saat ini sebesar Rp 23.000. Padahal, dalam hitungan DJSN 2015 seharusnya nilai ideal Rp 36.000.

Dari proses penetapan iuran saja BPJS memang didesain untuk merugi sehingga ketika hulunya terjadi masalah hilir nyapun akan terjadi masalah pula dan ini menjadi bola salju. 

Disisi lain anggaran yang tidak mencukupi itu terdapat masalah pula dalam pencairan dana PBI dari pemerintah daerah kepada BPJS. Masalah lain juga terjadi dari dana iuran yang tertunggak parahnya lagi yang menunggak salah satunya pemerintah daerah atau kota. 

Pemerintah Kota Tarakan salah satu daerah yang menunggak pembayaran iuran PBI. Total premi yang tertunggak mencapai Rp 1,2 miliar, dengan jumlah peserta PBI yang ditanggung Pemkot Tarakan sebanyak 16.335 orang. Mereka menjadi peserta kelas III dengan biaya premi Rp 25.500 per orang. 

Data tunggakan peserta Jaminan Kesehatan Nasional dan Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sampai September tahun ini yang diperoleh Bulungan Post, secara keseluruhan mencapai Rp 17.131.089.203. Tunggakan tersebut terdiri dari tunggakan peserta kelas III sebesar Rp 7.581.254.573, kelas II sebesar Rp 4.814.875.949 dan kelas I sebesar Rp 4.734.958.681.

Masalah lain dengan sistem BPJS yaitu BPJS membuat skema pembayaran dengan sistem Kapitasi untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Indonesian Case Base Groups (INA-CBG's) untuk Faskes Rujukan. BPJS sekarang masuk dalam ranah puskesmas, seharusnya BPJS fokus pada masalah kuratif bukan promotif dan preventif namun saat ini BPJS juga ikut partisipasi pada ranah puskesmas yang notabenenya puskesmas fokusnya pada promotif dan preventif. 

Saat ini banyak puskesmas yang sulit beroperasi karena banyak dana kapitasi tidak cair karena aspek tata laksana dan sumber daya. Sejumlah persoalan terjadi, antara lain lemahnya pemahaman dan kompetensi petugas kesehatan di puskesmas dalam menjalankan regulasi.

Pada sistem INA-CBG's, sudah 3 tahun tarif tidak dikaji ulang padahal seiring tingkat ekonomi yang sangat dinamis seperti UMR yang naik, tingkat inflasi, kurs yang terus meningkat, perkembangan teknologi yang semakin maju seharusnya INA-CBG's mengikuti perkembangan itu. INA-CBS's pada dasar nya juga memberikan tarif di bawah tarif pasar, ditambah tidak ada peningkatan tarif semakin menjeritlah Pelayanan Kesehatan.

Peningkatan angka kesakitan terutama yang membutuhkan perawatan di Faskes lanjutan juga menjadi masalah tersendiri. Banyak puskesmas yang seharusnya menjadi penyokong utama promotif dan preventif malah membuka fasilitas rawat inap meskipun saat ini sudah banyak yang di atur ulang namun hal itu menunjukan betapa kacaunya sistem yang terjadi. Ketika masalah pembiayaan kesehatan ini hanya difokuskan pada sektor kuratif uang berapa pun total nya akan habis karena yang penting itu mencegah bukan mengobati. 

System rujukan yang belum maksimal juga menjadi masalah yang krusial sehingga terjadi penumpukan pasien di rumah sakit. Padahal sebagian besar kasus seharusnya bias di selesaikan di Puskesmas, hal ini terjadi pula karena di SDM di Puskesmas belum memadai. ketika pasien sudah dirujuk ke Faskes lanjutan dan kondisinya sudah membaik seharusnya dirujuk kembali ke Faskes awal sehingga sistem tsb akan meningkatkan efisiensi biaya dan monitoring masyarakat.

Akhir kata, Universal Health Coverage haruslah tetap di perjuangkan karena ini adalah amanat UUD 45 dan Pancasila. JKN haruslah terus diperjuangkan. Indonesia memang masih awal dan belum memiliki pengalam dalam pengembangan UHC jadi bias dikatakan wajar bila masih banyak masalah. Namun masalah ini perlu perhatian khusus sehingga masalah yang sama tidak terjadi ditahun-tahun berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun