Mohon tunggu...
Rifqi Asha
Rifqi Asha Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Film dan Televisi Universitas Pendidikan Indonesia

Mahasiswa yang berusaha untuk mandiri dan bisa menghasilkan uang sendiri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Memahami Istilah "Perempuan Selalu Benar"

8 November 2022   22:22 Diperbarui: 8 November 2022   22:51 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Rifqi Asha Prawira & Sabda Pandita Panca Prasada

Anggapan atau mitos bahwa cewe/perempuan selalu benar merupakan ungkapan atau kalimat yang belakangan ini menjadi buah bibir di kalangan masyarakat dan seringkali terdengar entah sebagai bahan candaan, bahan kajian, atau pun yang lainnya.

Ungkapan kalimat ‘perempuan selalu benar’ ini cukup unik  dan kami jadi tertarik untuk membahasnya melalui kajian semiotika dengan beberapa kaitannya dengan apa yang terjadi pada saat ini.

           Kami akan membahas dan mengaitkannya dengan beberapa aspek atau faktor yang mempengaruhinya, diantaranya yaitu :

  • Perempuan yang selalu mengutamakan perasaan
  • Perempuan yang membutuhkan validasi
  • Hormon dan Genetik
  • Feminisme dan Patriarki
  • Lingkungan
  • Pengaruuh Perkembangan Zaman

Perempuan yang Selalu Mengutamakan Perasaan

Perempuan selalu mengedepankan perasaan bukanlah hal yang aneh, mengapa begitu? Karena memang perempuan dan laki-laki diciptakan dan ditakdirkan untuk memiliki perbedaan serta kelebihan dan kekurangannya masing-masing. 

Perempuan mengutamakan perasaan ternyata dipengaruhi juga oleh hormon yang ada pada dalam diri perempuan itu sendiri. Perkembangan pada perempuan dipengaruhi pada hormon ekstrogen dan progesteron (Risdiandari Sukirman, 2014).

Ternyata memang ada faktor penyebab mengapa perempuan akan mengutamakan perasaannya terlebih dahulu ketimbang laki-laki yang akan selalu mengutamakan logikanya. Namun meski begitu, bukan tidak mungkin juga perempuan bisa menggunakan juga pikiran serta logikanya sebagai  penyeimbang karena perempuan akan selalu mengutamakan perasaanya.

Perempuan akan memilih untuk meluapkan emosi secara verbal, mungkin kita sering mendengar bahwa seorang perempuan bisa mengekspresikan apa saja hanya dalam satu hari sebanyak 20.000 kata. Berbeda dengan laki-laki yang hanya 7000 kata per harinya.

Perempuan Membutuhkan Validasi

Selain perempuan yang selalu mengutamakan perasaan. Hal lain yang menjadi sorotan ialah perempuan yang membutuhkan validasi. Kerap kali kita lihat baik di media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti menemukan orang-orang atau perempuan yang mencari perhatian dengan tujuan untuk mendapatkan validasi.

Misalnya di media sosial seperti instagram atau twitter, ketika ada suatu hal atau kejadian yang dianggap mainstream, ada saja orang yang berkomentar berbeda yang bertujuan agar mendapatkan validasi. Contohnya seperti :

“Apa cuma aku perempuan yang gasuka make up?”

“Apa cuma gue cewe yang gasuka sama K-pop?’

“Apa cuma aku perempuan yang gasuka anime?”

“Kalo gue sih lebih suka temenan sama cowo, temenan sama cewe tuh ribet, banyak dramanya!”

Ungkapan-ungkapan kalimat seperti contoh diatas merupakan contoh perilaku seksis/seksisme, yaitu steorotip dimana awalnya merupakan gender satu lebih unggul daripada gender lainnya, itu case nya banyak ditemukan antara laki-laki dan perempuan (Apa Itu Seksisme Dan Apa Saja Contoh-Contohnya?, n.d.). Namun, ini terjadi diantara kaum perempuan itu sendiri.

Orang-orang yang sering bertutur kata seperti itu ternyata merupakan ciri-ciri dari internalized misogyny. Singkatnya, itu merupakan istilah dimana perempuan satu ingin meninggikan dirinya dengan memojokkan, menjatuhkan, serta mempermalukan perempuan lain dengan dalih berlindung dibalik kalimat ‘jangan bawa perasaan’ (Mengenal Internalized Misogyny, Momok Menakutkan Bagi Perempuan - ITS News, n.d.).

Mereka ingin dianggap berbeda dari kebanyakan perempuan lainnya, sehingga melontarkan komentar seperti itu di media sosial dan berharap ada orang lain yang menanggapi sebagai sebuah bentuk validasi.

Padahal, sejatinya mereka adalah sama-sama perempuan yang bisa dilihat dari segi fisiknya. Apapun tingkah laku, sikap, sifat, perbedaan prinsip, hal yang dilakukan, cara berbicara, cara berpakaian, atau apapun itu mereka tetap perempuan.

Perbedaan prinsip atau pola pikir merupakan hal yang biasa. Semestinya jika hal tersebut terjadi, alangkah lebih baiknya bisa menjadi bahan diskusi, bukan untuk ajang unjuk diri sehingga menimbulkan caci maki, menghakimi, apalagi sampai mengintimidasi. Hal tersebut bisa menjadi suatu forum di ruang publik yang outputnya positif daripada harus menjadi perpecahan antara satu pihak dengan pihak yang lain.

Pengaruh Hormon dan Genetik

Dari dua pembahasan sebelumnya yaitu mengapa perempuan akan selalu mengutamakan perasaannya ketimbang logikanya dan mengapa perempuan membutuhkan validasi, ternyata memang terdapat pengaruh hormon yang ada di dalam tubuh perempuan yang menyebabkan terjadinya hal tersebut.

Hormon yang mempengaruhi pemicu munculnya hal tersebut yaitu hormone progesterone dan ekstrogen. Hormon progesteron dan estrogen juga mempengaruhi perkembangan mental perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan lebih mengutamakan perasaan, ingin dimanja dan penuh perhatian.

Oleh sebab itu bila perempuan mengalami masalah, maka ia akan menangis mengadu dan menyesali diri, dan itu merupakan bentuk luapan emosi yang wajar dari seorang perempuan (Priyono dkk 2009, dalam Tania Hardiyani, 2010). Orang – orang yang berjenis kelamin perempuan memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan apa yang mereka alami (emosi).

Praktiknya perempuan mampu mengungkapkan apa yang dia rasakan saat itu kepada orang lain. Jika perempuan merasa sedih, maka mereka akan bisa menangis sebagai ungkapan apa yang dia rasakan (Risdiandari Sukirman, 2014).

Jika berbicara dari segi genetik, tentu saja akarnya akan kembali kepada hormon karena pada dasarnya semua perempuan memproduksi hormon tersebut. Sudah menjadi takdir bagi para perempuan untuk menjalani kehidupan sebagai perempuan yang memang diberi kelebihan yang unik dan menarik.

Feminisme

Feminisme memiliki tujuan untuk membangun persepsi kesetaraan gender dalam lingkup sosial, politik, ekonomi, dan pribadi. Maka dari itu, anggapan bahwa “perempuan selalu benar” tidak bisa disalahkan begitu saja, karena perempuan ingin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang dimana pada awalnya perempuan “disalahkan” karena melakukan hal yang biasa dilakukan oleh laki-laki, yang sebenarnya hal tersebut tidak terpaku harus selalu dilakukan oleh laki-laki.

Lingkungan

Faktor lingkungan juga menjadi faktor yang cukup berpengaruh terhadap anggapan “perempuan selalu benar”. Secara tidak langsung lingkungan seringkali mendukung anggapan “perempuan selalu benar” ini, karena kultur yang dibiasakan terjadi di masyarakat ketika perempuan berpendapat. Masyarakat seringkali “mengiyakan” pendapat perempuan yang terkadang keliru. 

Namun, karena perempuan lebih sering mengandalkan perasaannya, perempuan seringkali tidak menanggapi masukan terhadap pendapat mereka dan ingin pendapatnya yang diterima. Karena itulah terjadi kultur “mengiyakan” perempuan sekalipun mereka keliru, agar tidak memperpanjang atau memperumit masalah. Apalagi ketika laki-laki yang cenderung mengandalkan logika berdepat dengan perempuan yang cenderung mengandalkan perasaan.

Pengaruh Perkembangan Zaman

Seiring perkembangan zaman, perempuan juga bisa dan mampu berpendapat untuk menyuarakan apa yang mereka inginkan. Berbanding terbalik dengan zaman dahulu yang dimana perempuan sangat dibatasi dalam beraktivitas ataupun bersuara, sekalipun mereka bersuara, suara mereka tidak dianggap dan hal tersebut menjadi suatu kesalahan bagi mereka. Maka dari itu, perkembangan zaman ini juga menjadi titik dimana perempuan bisa melakukan apa yang sebelumnya mereka tidak bisa lakukan di zaman dahulu.

 

 

Daftar Pustaka

Apa itu Seksisme dan Apa Saja Contoh-contohnya? (n.d.). Retrieved November 8, 2022, from https://magdalene.co/story/apa-itu-seksisme

Mengenal Internalized Misogyny, Momok Menakutkan bagi Perempuan - ITS News. (n.d.). Retrieved November 8, 2022, from https://www.its.ac.id/news/2021/11/25/mengenal-internalized-misogyny-momok-menakutkan-bagi-perempuan/

Risdiandari Sukirman, P. (2014). Perbedaan Kematangan Emosi Ditinjau Dari Jenis Kelamin Pada Komunitas MCL (Malang Cat Lovers) [Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang]. http://etheses.uin-malang.ac.id/810/13/10410021 Ringkasan.pdf

Purwanto, Bambang. "Feminisme dalam Kehidupan Masyarakat." Lensa: Kajian Kebahasaan, Kesusastraan, dan Budaya 1.1 (2011): 23-35.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun