3. Pengaturan Status Hukum Anak: UU No.12 Tahun 2006 memberikan kesempatan kepada ibu untuk memberikan status kewarganegaraan kepada anak, sekalipun suami atau ayah tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia. Hal ini memberikan perubahan positif terutama dalam hubungan anak dengan ibunya.
4. Penggunaan Asas Kesatuan Hukum: Undang-Undang ini menganut asas kesatuan hukum, yang berarti paradigma suami-istri atau ikatan keluarga sebagai inti masyarakat yang mendambakan suasana sejahtera, sehat, dan bersatu. Hal ini memberikan kesempatan kepada perempuan untuk tetap mempertahankan kewarganegaraan asalnya.
5. Pengaturan Pendaftaran Anak Berkewarganegaraan Ganda: Pendaftaran anak berkewarganegaraan ganda harus dilakukan oleh orang tua atau wali dan dapat dilakukan dengan mengajukan kepada Kepala Kantor Imigrasi yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak dan membawa dokumen-dokumen yang diperlukan.
Terdapat juga pembatasan kewarganegaraan ganda yaitu, anak berkewarganegaraan ganda harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya setalah 18 tahun atau sudah kawin dan batas waktu anak untuk menyampaikan pernyataan adalah 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin.
Pemerintah Indonesia telah merespons kasus dwi kewarganegaraan dengan beberapa langkah.
Pertama, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Yasonna Laoly menjelaskan bahwa Indonesia tidak menganut prinsip kewarganegaraan ganda, tetapi dapat memberikan Overseas Citizenship of Indonesia (OCI) yang mirip dengan Overseas Citizenship of India (OCI) di India. OCI ini memungkinkan diaspora Indonesia untuk memiliki visa multiple entry dan dapat tinggal di Indonesia dengan beberapa syarat.
Kedua, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menawarkan pemberian kewarganegaraan ganda bagi diaspora Indonesia, tetapi usulan ini menuai berbagai reaksi dari dalam negeri.
Ketiga, Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal dan tidak menganut dwi kewarganegaraan. Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2022 yang memperbarui Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. PP ini memungkinkan anak-anak hasil perkawinan campuran untuk menjadi WNI.
Dalam beberapa kasus, seperti Nazanin Zaghari-Ratcliffe, warga negara ganda Iran-Inggris yang ditahan di Iran, pemerintah Indonesia tidak dapat memberikan kewarganegaraan ganda karena Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal.
Kasus dwikewarganegaraan telah menjadi isu yang sangat sensitif dan kompleks dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan Undang-Undang (UU) dwikewarganegaraan yang dilakukan oleh pemerintah telah menimbulkan berbagai reaksi dan kontroversi. Berikut adalah kesimpulan pribadi saya terkait dengan kasus dwikewarganegaraan dan respon pemerintah:
1. Perubahan UU dwikewarganegaraan: Pemerintah telah mengubah UU dwikewarganegaraan untuk memperluas definisi "warga negara" dan memperketat syarat-syarat pengajuan status warga negara. Perubahan ini bertujuan untuk mengantisipasi kasus-kasus dwikewarganegaraan yang semakin kompleks dan untuk memastikan keamanan nasional.