Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi daerah, industri golf termasuk dalam Pajak Daerah yang dikenai Pajak Hiburan, padahal sebelum undang-undang tersebut diterbitkan, lapangan golf merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Pusat), di mana PPN Masukan dapat dikreditkan dengan PPN Keluaran pada masa pajak yang sama. Konsekuensi dari pemberlakuan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 adalah pada perlakuan perpajakannya, di mana PPN masukan lapangan Golf menjadi pungutan pajak yang tidak dapat dikreditkan oleh perusahaan lapangan golf dan harus dibiayakan, sehingga menambah beban industri ini. Kepastian hukum menjadi kabur dan keadilan pajaknya dipertanyakan, karena keberadaan Industri Golf dalam UU PPN No. 42 tahun 2009 masih belum dicabut. Dalam hal pemajakannya, dimana kedudukan Industri Golf dalam perundang-undangan di Indonesia, apakah dalam UU PPN atau pajak daerah?Â
Menurut pengakuan Dennis G Koeth (Indonesian Golf Course Owners Association, Golf In Indonesia) dan para wisatawan manca negara lainnya, bila Skotlandia disebut negerinya golf (home of golf), maka Indonesia adalah negerinya golf dan kesenangan (home of golf and leisure). Suatu kombinasi yang tidak ditemukan di negara lain. Pada dasarnya golf adalah cabang olahraga yang diminati oleh banyak kalangan terutama para usahawan, dan tidak dapat dimungkiri bahwa sektor ini menyimpan banyak potensi yang bisa mendorong pertumbuhan bisnis dan sektor pariwisata, kebudayaan dan seni (culture and art) serta hospitality industry lainnya. Sebagian pegolf memanfaatkan momentum bermain golf dengan melakukan lobi-lobi bisnis atau politik, antara pengusaha dengan pengusaha, antara pengusaha dengan pejabat, atau antara dengan pejabat.Â
Saat ini Indonesia memiliki sekitar 250 lapangan golf yang tersebar di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya, Bali, dan Pekanbaru. New Kuta Golf di Bali (18 holes) yang mengkombinasikan golf dengan kekayaan alam dan budaya Bali, dan Labersa Golf & Country Club Resort Pekanbaru (27 holes) yang mengkombinasikan golf dengan hospitality industry lainnya seperti perhotelan (Labersa Grand Hotel yang berbintang 5) dan Water Park and Theme Park (semacam dunia fantasi Ancol). Hal ini menjadikan golf bukan saja sebagai cabang olah raga, tapi masuk juga dalam sederetan hospitality industry yang mampu menyerap puluhan ribu tenaga kerja. Dengan perannya ini, golf memberi kontribusi yang cukup besar bagi penerimaan pendapatan nasional dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Daerah.Â
Ambivalensi Pemerintah dalam Perlakuan Pemajakan Industri Golf Di IndonesiaÂ
Dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g dan h Undang-Undang No. 26 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, antara lain dinyatakan, bahwa permainan bilyar, golf, dan bowling serta pacuan kuda, dan kendaraan bermotor digolongkan ke dalam pajak hiburan. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan "Penyelenggaraan hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah"
Namun disisi lain, bilyar, golf, dan bowling, berkuda, dan lomba motor yang oleh Komite Olahraga Nasional dan Komite Olimpiade Indonesia telah diterapkan sebagai cabang olahraga prestasi dan telah dipertandingkan dalam kejuaraan tingkat nasional dan internasional.Â
Dalam Pasal 68 ayat (1) UU No. 3 tahun 2005 tentang sistem keolahragaan diamanatkan bahwa "Pemerintah membina dan mendorong pengembangan industri sarana olahraga dalam negeri". Pasal 33 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 2007 tentang "Penyelenggaraan Keolahragaan," ditegaskan bahwa "Pemerintah dan Pemerintah daerah berkewajiban memberikan pelayanan dan kemudahan bagi penyelenggaraan kegiatan olahraga prestasi. Olahraga Golf, sejak tahun 1969 dipertandingkan di PON Surabaya dan sejak tahun 1982 dipertandingkan di Asian Games New Delhi, dan sejak Indonesia tergabung dalam Asean, Golf dipertandingkan di Sea Games. Mulai tahun 2016 Golf akan dipertandingkan di Olympiade, sehingga Golf tercatat sebagai olahraga Internasional, bukan hiburan.
Dasar Hukum Perpajakan Industri GolfÂ
Dalam menyikapi dan mencari kebenaran normatif dalam pemajakan industri golf, selain mengkaji aspek filosofisnya, mari kita lihat sejenak dasar hukum yang mewadahinya. Dalam Penjelasan UU No. 42 tahun 2009 Perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 8 tahun 1983 tentang PPN barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah ini bertujuan: "Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai". Mari kita tinjau secara historis bagaimana perlakuan pajak daerah terhadap golf: 1. Dalam Undang-Undang No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah (menggantikan UU No. 19 tahun 1997), BAB VI Pajak Hotel, Pasal 38, ayat (2) menjelaskan bahwa: Yang Tidak termasuk objek pajak adalah: a. Penyewaan rumah atau kamar, apartemen dan atau fasilitas tempat tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel. b. Pelayanan tinggal di asrama, dan pondok pesantren. di- c. Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan di hotel yang pergunakan bukan oleh tamu hotel dengan pembayaran Penjelasan huruf c: Fasilitas olahraga dan hiburan, antara lain, pusat kebugaran (fitness center), kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotik, yang disediakan atau dikelola hotel. d. Pertokoan, perkantoran, perbankan, salon yang dipergunakan oleh umum di hotel. e. Pelayanan perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel dan dapat dimanfaatkan oleh umum.
2 Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Re tribusi Daerah, Pasal 42 menjelaskan bahwa: 1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. 2) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Tontonan film. b. Pagelaran kesenian, musik, tari, dan atau busana. c. Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya. d. Pameran. e. Diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya. f. Sirkus, akrobat, dan sulap. g. Permainan bilyar, golf, dan boling. h. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan. i. Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, clan pusat kebugaran (fitness center). j. Pertandingan olahraga. 3) Penyelenggaraan Hiburan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah. 3. Berdasarkan Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 jo. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 diatur jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa. Pada butir 2 ditegaskan bahwa jasa dalam rangka usaha lapangan golf tidak termasuk jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sehingga atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Perspektif Pajak Golf: Maju Kena Mundur KenaÂ
Bila kita membandingkan perlakuan pajak atas pendapatan golf di indonesia dengan negara-negara lain, baik di Eropa, Amerika Serikat, dan negara Asia lain (Singapura, dan Malaysia) yang mendefinisikan pendapatan golf sebagai objek pajak pertambahan nilai, maka perlakuan pajak atas pendapatan golf di Indonesia sangat unik karena tampil berbeda. Dipicu oleh otonomi daerah yang lebih mengedepankan pembagian jatah "kue" yang lebih besar untuk kepentingan daerah, para fungsionaris legislatif dan eksekutif tidak lagi berpikir kaidah normatif dari perlakuan pajak pendapatan atau melihat kajian historisnya. Bagi mereka selama masih ada titik persinggungan dengan kegiatan wisata atau hiburan, maka golf dikenakan pajak daerah/hiburan, tanpa memperduli pandangan orang atau negara lain.
Dari perspektif public finance, kebijakan memasukan pendapatan golf sebagai objek pajak daerah, sah-sah saja, namun dari perspektif kajian perpajakan terlihat adanya "suatu pemaksaan kekuasaan" untuk melegitimasi suatu pungutan meskipun landasan teorinya tidak mendukung. Pungutan PPN masukan dan Pajak Daerah bagi perusahaan golf tidak sama dengan pajak penjualan, semuanya diperlakukan sebagai "dibiayakan" dalam pembukuan perusahaan golf, ibarat maju kena mundur kena, di satu sisi pengenaan PPN -masukan dengan tarif 10% dari nilai pembelian barang dan jasa yang harus dibiayakan, di sisi lain atas pembayaran pajak daerah 10% dari pendapatan golf ke Kas Daerah juga harus dibiayakan. Padahal bila kita mau jujur sebenarnya pemberlakuan pendapatan golf sebagai objek pajak daerah adalah tindakan pembodohan masyarakat.Â
Ketidakberhasilan pemda dalam mensukseskan pencapaian target penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya bukan dalih untuk mengenakan Pajak Daerah (menggantikan PPN) terhadap pendapatan golf, karena mengarah kepada "ketidakpastian hukum" dan "ketidakadilan pajak", di samping timbulnya pemajakan ganda atau cascading effect yang menyebabkan high cost economy. Untuk menghindari pemajakan ganda/cascading effect negara besar seperti Prancis, Amerika Serikat, dan Inggris, serta sekitar 60 negara lain menganut sistem perpajakan berdasarkan PPN (VAT) sebagai teknik pemajakan atas penjualan, sesuai dengan sifat PPN yang pada dasarnya merupakan pajak atas konsumsi (consumption tax), termasuk terhadap golf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H