Dalam praktiknya, seringkali dokter menempatkan dirinya lebih tinggi dibanding pasien, bagaikan seorang guardian dan menganggap dirinya paling serba tahu, yang akhirnya membuat pasien kehilangan otonominya.
Kondisi seperti itu dapat kita katakan sebagai hubungan yang bersifat paternalistik, atau ibarat hubungan ayah dan anak. Hubungan paternalistik menyebabkan adanya ketidakseimbangan dan menimbulkan hubungan yang "asimetris" antara dokter dan pasien.
Hingga saat ini pola hubungan paternalistik masih dianut oleh banyak dokter. Keputusan medis pun menjadi kewenangan dokter sepenuhnya dan pasien hanya dapat menerima apa adanya. Pasien tidak memiliki otonomi terhadap kuasa dokter dan tidak punya kontrol atas tindakan dokter kepadanya.
Hal itu juga diperparah jika pasien memang benar-benar tidak kritis dan pasrah akan setiap keputusan dokter. Namun, keadaan "asimetris" seperti itu bisa saja menjadi blunder bagi dokter karena membuat peluang kesalahan medis menjadi lebih besar.
Kemudian seiring berjalannya waktu, hubungan paternalistik antara dokter dan pasien pun bergeser menuju kesetaraan yang bersifat partnership dan fokus pada pasien.
Pasien mendapatkan otonomi penuh dan hak dalam mengambil keputusan medis. Hal tersebut terjadi berkat peristiwa demonstrasi para pasien di Amerika Serikat 30 tahun lalu yang menagih hak-hak para pasien. Sehingga saat ini kedua pihak mempunyai kedudukan yang setara dan saling membutuhkan.
Keputusan dalam perawatan medis diambil setelah pasien menyetujui dan mendapatkan informasi yang memadai. Pola partnership seperti itu juga kemudian berkembang menjadi hubungan kemitraan antara dokter dan pasien.
Hubungan yang harmonis antara dokter dan pasien dapat dibangun melalui komunikasi yang baik. Esensi hubungan diantara keduanya biasa dilakukan dengan komunikasi melalui wawancara pengobatan, karena sifatnya yang interpersonal.
Kedudukan dokter yang umumnya lebih tinggi daripada pasien kemungkinan menciptakan sebuah "jurang kompetensi". Tapi jurang kompetensi tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan kepercayaan masing-masing pihak. Dengan begitu diharapkan dokter dan pasien beserta keluarga pasien dapat saling bekerja sama demi tercapainya tujuan pengobatan.
Oleh sebab itu, dalam pelayanan kesehatan terdapat asas kejujuran yang dijunjung tinggi oleh setiap tenaga kesehatan. Dengan adanya kejujuran, kepercayaan dapat tumbuh dan menciptakan hubungan yang harmonis antara dokter dan pasien.
Teori ini pada dasarnya bertumpu pada pendekatan interaksionisme simbolik. Kesehatan dan pengobatan dalam pendekatan tersebut dianggap terkonstruksi secara sosial oleh interaksi orang-orang. Tindakan dan interaksi khas antar manusia dapat diinterpretasi secara bebas oleh orang lain dengan maksud untuk memahami maksud dari tindakan masing-masing, dalam pembahasan ini adalah tindakan dan perawatan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya.