Mohon tunggu...
Rifky Julio
Rifky Julio Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate (Baca: Penggangguran)

Sekedar menulis apa yang ingin ditulis. Antropologi | Anime | Daily Life | Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Shinto dan Kepercayaan Lainnya di Jepang

21 Maret 2021   07:45 Diperbarui: 23 Maret 2021   17:51 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Kyoto menjalani upacara Harae di Kuil Oharano-Jinja (via theculturetrip.com)

Negara Jepang identik dengan agama Shinto-nya yang menyembah matahari. Namun sebenarnya terdapat kepercayaan lain selain Shinto yaitu, Buddha, Kristen Katolik, dan agama minoritas lainnya.

Berdasarkan Kementerian Pendidikan Jepang, per tahun 2017 penganut agama di Jepang berjumlah total 290 juta orang dengan rincian, agama Shinto dianut 107 juta orang, 89 juta orang merupakan pengikut agama Buddha, 3 juta orang beragama kristen dan katolik, dan ada 10 juta orang yang menganut agama lain (Mulyadi, 2017).

Jumlah penganut agama di Jepang sendiri dua kali lipat lebih banyak dari jumlah total penduduknya. Hal ini dikarenakan setiap orang di Jepang memeluk lebih dari satu kepercayaan dan mereka ikut dalam perayaan berbagai agama. 

Sistem kepercayaan di Jepang punya warna tersendiri dengan memberikan kebebasan kepada masyarakatnya melaksanakan suatu kepercayaan yang tidak condong kepada satu kepercayaan saja. Hal itu bisa dilihat dari adanya penggabungan ajaran dua kepercayaan yaitu kepercayaan Shinto dan Buddha (Sasaki, 1995:71 dikutip oleh Mulyadi, 2017). Contohnya di rumah mereka terdapat kamidana yang merupakan tempat pemujaan agama Shinto dan butsudan yang bercorak Buddha.

Kepercayaan Shinto

Shinto sendiri sebenarnya terdiri dari dua kata yaitu “Shin” dan “To”. “Shin” bermakna roh dan “To” berarti jalan. Jadi Shinto itu bisa diartikan sebagai “jalannya roh” untuk roh-roh manusia yang telah wafat atau pun juga roh-roh langit dan bumi. Shinto adalah kepercayaan tertua dibanding kepercayaan lain di Jepang dan diyakini sebagai kepercayaan asli masyarakat Jepang.

Awal kemunculan kepercayaan ini masih belum pasti diketahui. Shinto menyebar di Asia lalu menjadi populer di Jepang dan memiliki banyak pengikut disana.

Kepercayaan Shinto menegaskan bahwa semua benda di dunia, baik yang bernyawa atau tidak, wajib untuk dihormati. Hal itu berdasarkan pada konsep Kami, yang dipercaya oleh penganut Shinto sebagai daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka, sehingga bisa diartikan juga sebagai Tuhan atau dewa di kepercayaan Shinto.

Mereka juga meyakini bahwa alam semesta ini adalah tempat bersemayamnya para Kami sehingga muncul sebuah keharusan untuk merawat dan menghormati alam semesta ini. Namun, relasi antara Kami dengan manusia dalam ajaran Shinto justru lebih banyak horizontal dibanding vertikal. Hal itu disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa Kami bersemayam di alam semesta, maka dibangunlah kuil penjaga desa di tempat-tempat seperti di kaki gunung, hutan, laut, dan di tengah pemukiman penduduk.

Warga Kyoto menjalani upacara Harae di Kuil Oharano-Jinja (via theculturetrip.com)
Warga Kyoto menjalani upacara Harae di Kuil Oharano-Jinja (via theculturetrip.com)

Kepercayaan Shinto juga dikenal selalu memulai dan mengakhiri setiap upacara keagamaannya dengan pensucian yang disebut Upacara Harae. Upacara Harae ini dilakukan untuk membersihkan manusia dari kejelekan dan keadaan negatif lainnya, karena menurut kepercayaan Shinto setiap manusia itu pada hakikatnya adalah bersih dan baik.

Upacara peribadatan yang dilakukan oleh penganut kepercayaan Shinto biasanya langsung berhubungan dengan alam seperti Amaterasu Omikami yang dilakukan untuk memuja dewi Matahari agar mendapat kemakmuran dan kesejahteraan dalam bidang pertanian. Upacara tersebut biasa dilakukan di atas gunung Fuji pada Bulan Juli dan Agustus.

Penganut kepercayaan Shinto juga sering memperingati perayaan yang berkenaan dengan pusaka luhur, pengudusan, pengusiran roh jahat, serta puncak-puncak perayaan di tahun baru. Selain itu, kepercayaan Shinto juga mengsakralkan seorang Kaisar. Setiap Kaisar muncul, masyarakat Jepang akan menundukkan diri sebagai tanda penghormatan. Namun, setelah berakhirnya Perang Dunia kedua masyarakat Jepang sudah tidak berpandangan seperti itu lagi. Mereka mulai menganggap bahwa Kaisar adalah manusia biasa yang seperti mereka.

Kepercayaan Lain

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di Jepang terdapat kepercayaan lain seperti Buddha, Kristen Katolik, dan lainnya. Secara harfiah, Buddha adalah kepercayaan atau agama utama yang kedua dari masyarakat Jepang.

Tiba di Jepang sebelum abad ke-6, penyebarannya justru baru menguat setelahnya. Saking kuatnya pengaruh Buddha, kepercayaan Shinto pun hampir terpinggirkan. Sampai pada tahun 1396 M, kepercayaan Shinto diangkat oleh raja menjadi agama negara. Alasannya adalah supaya raja tidak kehilangan kekuasaannya terhadap rakyatnya. Sejak saat itu Shinto dan Buddha mulai bersaing.

Persaingan semakin kontras terjadi diantara pendeta Shinto dengan pendeta Buddha. Tapi pada akhirnya kedua belah pihak dapat berdamai karena para pendeta Shinto sepakat untuk memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem kepercayaan Shinto.

Namun yang terjadi justru menjadi negatif bagi Shinto karena keaslian unsur agamanya mulai terkikis. Agama Buddha mendominasi unsur-unsur kepercayaan Shinto, seperti pengadaan patung-patung dewa di kuil Shinto dan berubahnya arsitektur bangunan kuil Shinto menjadi lebih berwarna dari yang sebelumnya sangat sederhana.

Patung Buddha di Kuil Nanzoin, Sasaguri, Fukuoka (Foto oleh Sayumi via pinterest.cl)
Patung Buddha di Kuil Nanzoin, Sasaguri, Fukuoka (Foto oleh Sayumi via pinterest.cl)

Agama selajutnya adalah Kristen Katolik. Meski jumlahnya tidak sebanyak Buddha, tetapi implikasi pada kehidupan masyarakat Jepang cukup terlihat. Contohnya pada perayaan Natal yang tidak hanya dirayakan oleh umat kristiani di Jepang, tapi juga oleh penganut agama lain. Hal itu juga merupakan bukti bahwa orang-orang Jepang sebenarnya tidak terlalu mementingkan agama dan bisa hidup bebas tanpa terikat suatu keyakinan tertentu.

Kristen Katolik awalnya muncul pada abad ke-15 saat para misonaris dari Portugis dan Spanyol berlabuh di Jepang. Agama ini ternyata berkembang pesat dalam waktu singkat terutama pada kalangan militer yang dilatarbelakangi oleh urusan politik dan perang yang menggunakan budaya barat.

Lalu seabad kemudian agama ini menuai protes dan penolakan dari rakyat Jepang. Adanya unsur monotheisme dan juga karena peraturan yang berbeda dari cara hidup mereka yang bersifat duniawi menjadi faktor penyebabnya.

Pada dasarnya masyarakat Jepang memang lebih mudah menerima kepercayaan dengan banyak dewa (politheisme) karena ajaran Shinto yang mengutamakan kesejahteraan kelompok dibanding individu. Meski begitu, agama Kristen Katolik ini masih tetap eksis hingga sekarang dan rata-rata dianut oleh masyarakat perkotaan.

Selain dua agama besar tersebut, masih ada agama atau kepercayaan lain yang dianut oleh masyarakat Jepang. Seperti gerakan keagamaan baru yang disebut Shinshūkyō. Agama tersebut sebenarnya adalah bentuk aliran kepercayaan yang berasal dari Shinto dan Buddha (Herlina, 2011).

Kedatangan Buddha dan Kristen Katolik pada akhirnya mulai membentuk karakter masyarakat Jepang yang percaya pada banyak dewa. Mereka menganut atau sekedar mengikuti ajaran dari kepercayaan lain yang berbeda tanpa mempermasalahkan keyakinan (Yuliani, 1986). 

Sumber Referensi

Herlina, S. (2011). Suatu Telaah Budaya: Agama dalam Kehidupan Orang Jepang, (2), 113–118.

Mulyadi, B. (2017). Konsep agama dalam kehidupan masyarakat jepang. Izumi, 6(1), 15–21.

Yuliani, R. (1986). Unsur budaya masyarakat jepang dalam sanmai no ofuda. Izumi, 1(1), 10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun