Mohon tunggu...
Rifki Sya'bani
Rifki Sya'bani Mohon Tunggu... -

Transmission Telcom Engineer (katanya), traveler (sukanya), cyclist (hampir tiap ke kantor) , and book lover. \r\n\r\nhttp://www.nulisbuku.com/books/view/40-hari \r\n\r\nhttp://abuziyad.multiply.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Menjelajah Pedalaman Borneo: "Paling dan Untuk Indonesia"

9 Mei 2011   11:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 2054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Bekerja sebagai seorang tukang insinyur yang sering mumet di sebuah perusahaan operator telekomunikasi di negeri ini, membuat saya memiliki banyak kesempatan untuk menikmati banyak pengalaman mengunjungi tempat dan site-site pedalaman yang unik dan penuh kisah.

 

"Never stop to exploring what its all about" dalam artian luas, baik dalam bekerja maupun dalam setiap penjelajahan yang sebenarnya.

 

Hidup ini adalah ibarat pengembara (baca: musafir), maka dalam bekerja pun ternyata saya pun mengalami rasa yang sama. Penuh dengan penjelajahan dan pengembaraan. Seorang sahabat pernah iseng berkomentar pada wall, "Loe tu kantornya sebenarnya dimana sih? Kerjaannya koq jalan-jalan melulu?"

 

Hehe.. mungkin ia sering baca status facebook saya sedang berada di suatu tempat yang berbeda-beda.

 

 

 

Kadang saya memang harus menembus labirin sungai pedalaman yang berkelok-kelok tanpa ujung, menyisir pantai, naik turun gunung dan bukit, masuk kampung-keluar kota, menembus liku-liku perkebunan sawit, off road di jalan berlumpur, terhempas dalam speed boat hingga menjelajah di hutan beton ibukota.

 

Dan semua itu bukan sekedar jalan-jalan biasa tetapi traveling dengan misi-misi tertentu, dari memperbaiki element network yang anomali bin rusak, maupun uji terima pekerjaan mitra perusahaan dan produsen perangkat radio transmisi. Jadi, misinya dari corrective maintenance, hingga berlagak semacam auditor dan akseptor pekerjaan vendor/mitra.

 

Adakalanya sedih, miris, namun kagum juga bahwa alam Indonesia ini memang sangat kaya.

 

Inilah perjalanan saya di pulau Kalimantan bersama operator telekomunikasi yang paling Indonesia.

 

 

Apa yang kita bayangkan jika mendengar kata "Kalimantan"?

Hutan tropis belantara,flora-fauna yang masih utuh dengan habitatnya?

Suku dayak yg orisinil?

Orang utan atau primata yg khas bernama bekantan?

ikan arwana yang indah dan mahal harganya?

Buaya muara sungai yang ganas?

Atau sungai-sungai besar meliuk-liuk dengan jutaan hektare lahan gambutnya?

 

Kalau begitu sebagian besar anggapan dan bayangan anda ada benarnya.

 

 

Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Sriwijaya (LKIS 2006), kata Kalimantan bukan kata melayu asli tapi kata pinjaman sebagai halnya kata malaya, melayu yang berasal dari India (malaya yang berarti gunung). Kalimantan atau Klemantan berasal dari Sanksekerta, Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar (kal[a]: musim, waktu dan manthan[a]: membakar). Karena vokal a pada kala dan manthana menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka Kalamanthana diucap Kalmantan yang kemudian disebut penduduk asli Klemantan atau Quallamontan yang akhirnya diturunkan menjadi Kalimantan. (wikipedia).

 

 

Demikian salah satu teori tentang asal usul nama Kalimantan. Terlepas tepat atau tidak, nyatanya memang Pulau Kalimantan memiliki suhu udara tropis yang cukup tinggi dengan simpangan cuaca yang ekstrim, dari hujan tropis basah yang tinggi hingga panas kering kemarau yang menyengat.

 

Sebuah mutiara archipelago yang bernama lain Borneo ini sejatinya memang sangat kaya, ia merupakan tempat tinggal bagi berbagai macam ragam fauna dan flora, juga sebagai pusat jantung dunia dengan alam yang eksotis, ditambah lagi dengan landscape panorama budaya masyarakat aslinya yang unik.

 

Inilah fakta-fakta paling Indonesia yang bisa saya rekam dari berbagai perjalanan:

 

Jalan Raya adalah Halaman Rumah Kami

 

 

Jalanan menuju ke daerah pedalaman Kalbar yang penuh tantangan dan menguji ketangguhan pinggang serta pinggul anda ternyata juga menyisakan keunikan tersendiri. Bayangkan saja, Jarak perjalanan darat dari Pontianak-Putusibau yang mencapai jarak kurang lebih 580 km via jalur alternatif Sei Ambawang-Tayan ternyata 40% dalam kondisi rusak parah.

 

Bahkan ditengah-tengah ibukota Kabupaten sekalipun seperti di Sekadau, anda akan disuguhkan jalanan rusak, berdebu dan kubangan super becek kala hujan turun. 11-12 juga dengan jalananan Bodok-Sanggau yang berselang 20m selalu akan ada lubang.

Atau jalan menuju Sintang dari simpang Nangapinoh maupun Sintang ke arah Bukit Kelam. Mungkin ini bisa jadi bagian dari komoditas wisata adventure dan jejak petualang? Mungkin.. :)

 

Selain jalanan yang begitu menantang, ternyata ada keunikan lain. Masyarakat dan warga yang tinggal di pinggiran jalan raya kerap menjadikannya sebagai tempat nongkrong. Mereka tanpa rasa sungkan apalagi takut untuk sekedar duduk di bibir jalan raya, ngobrol dan kongkow-kongkow.

 

Selain itu memarkirkan sepeda motor di badan jalan juga merupakan kebiasaan yang unik, padahal lebar badan jalan tak lebih dari 7 m saja yang lebih sering di papasi truk-truk besar bermuatan lebih menjulang-tak lagi mengindahkan tonase yang diizinkan oleh DLLAJ-yang penting bisa untung! hehe.

 

Lalu jarak jalan dengan pemukiman sangat dekat, bahkan bisa dibilang rapat. Pola pembangunan pemukiman yang linear di sepanjang jalan raya ini membuktikan minimnya perencanaan pembangunan yang terintegral. Belum lagi kita bicara soal sistem drainase maupun ruang untuk para pejalan kaki.

 

Tapi itulah Indonesia. Pola hubungan tempat tinggal dan urat nadi transportasi darat merupakan adaptasi dari budaya sungai dan sampan yang juga menunjukkan pola yang sama, antara rumah tinggal dengan jalur transportasi hampir berpadu menjadi satu. Hal ini tentu dalam rangka efektifitas, dan produktifitas masyarakat dalam kegiatan ekonominya.

 

Mungkin memang kita perlu bersabar dengan konsep pembangunan daerah yang minim visi ini. Malu dengan negeri jiran terdekat, dimana jalan raya dari Tebedu menuju Kuching kualitasnya mirip jalan tol di Jawa, dengan letak pemukiman yang terletak menjorok ke dalam dan ter-cluster jauh dari jalan raya.  

Alih-alih bicara pelebaran jalan dan peningkatan kualitas jalan, yang sekarang aja sudah merupakan prestasi yang luar biasa dan patut kita syukuri, dibanding 3-4 tahun yang lalu dimana Sintang-Putusibau yang jaraknya tak lebih dari 260 km itu harus ditempuh hingga berhari-hari dengan kendaraan yang tak biasa pula. Alhamdulillah, capaian ini memang harus selalu disyukuri.

 

 

 

BUKIT KELAM: Indah tak seindah namamu dan nasibmu

Jika anda berkesempatan mengunjungi Sintang, jangan sungkan untuk menikmati satu keindahan dan pesona Borneo ini. Bukit Batu dengan ketinggian kurang lebih 500 m. Tak perlu menjelajahi dan mendakinya hingga ke pucaknya, karena memandangnya dari pinggiran jalan Sintang-Putusibau km 13 dari arah Sintang sudah cukup bagi anda untuk mengagumi satu dari batu terbesar di dunia.

Bentuknya yang unik, gagah berdiri menjulang di tengah hamparan dataran rendah disekitarnya membuat bukit ini nampak cantik dan spesial. Bahkan dari pusat kota atau kawasan Bandara Sintang, bukit batu hitam ini sudah tampak menggoda untuk disinggahi lebih dekat.

Namun sayangnya potensi wisata ini masih belum dapat dikelola dengan baik. Suasana taman wisata yang tak terurus dan tak terkelola membuat hati miris dan sedih.

Menyadarkan kita bahwa potensi keindahan alam ini perlu tangan-tangan dingin agar dapat dipromosikan dengan baik.

 

Transportasi Air: Nadi Ekonomi dan Kehidupan

 

Perjalanan menuju beberapa wilayah memang dibutuhkan tenaga dan energi yang lebih. Tak hanya jalan rusak berlubang. Namun ternyata juga sebuah petualangan menembus labirin sungai yang berliku dan menegangkan. Menariknya setiap kota-kota kecamatan yang ramai dahulu merupakan sebuah entitas masyarakat berbentuk kerajaan/kesultanan.

 

Dalam perjalanan dari Sintang menuju ke Nanga Ketungau Hilir saja saya disuguhi pemandangan bangunan heritage Sintang: Istana Kesultanan Sintang di tepian sungainya. Teringat kembali kemegahan masa silam tentang raja-raja penguasa tanah dan delta subur di tepian sungai yang kemudian mendirikan kerajaan sebagai identitas geopolitik dan ekonominya.

 

Atau waktu saya menjelajah ke daerah Kubu yang merupakan kota penting di sebelah selatan Pontianak dari sejak dahulu hingga sekarang, posisinya menjadi salah satu kota yang menjadi gerbang menuju ke Pontianak melalui Selat Karimata dan muara Sungai Kubu yang penuh liku dan bercabang-cabang di saat lalu lintas air masih menjadi andalan utama transportasi di masa silam.

 

 

Kota kecamatan ini memiliki sejarah panjang dan menjadi bagian dari kebangkitan peradaban kesultanan di seluruh pusat pertumbuhan ekonomi dan politik-demografi di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat. Kesultanan Kubu (Al Idrusy) ini tercatat berdiri sejak tahun 1772 dan memiliki kaitan yang erat denganKesultanan Kadriyah (Al Qadry) Pontianak.

 

Selain itu, saya pun bisa menyaksikan kehidupan masyarakat sungai lebih dekat. Bagaimana mereka benar-benar menjadikan sungai sebagai urat nadi kehidupannya. Dari urusan MCK sampai mencari makan. Siklus mata rantai yang harmonik dan unik. Melihat tempat pembuangan limbahnya, dan bagaimana mereka membangun rumah-rumahnya di atas gelombang pasang surut sungai yang bersiklus. Jadi teringat sedikit sebuah film “Water World” yang dibintangi oleh Kevin Costner di era 90-an awal.

 

 

Soal ekosistem sungai, saya beberapa kali dapat menyaksikan elang sungai yang sedang berpatroli udara mencari mangsa dan rezeki hari itu, atau menyaksikan burung yang menjadi lambang dan simbol etnik Kalimantan (baca: Dayak) yaitu burung Enggang. Selain itu sepanjang perjalanan vegetasi alam yang kerap dijumpai adalah pohon Nipah. Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Tumbuhan ini juga dikenal dengan banyak nama lain seperti daon, daonan (Sd., Bms.), buyuk (Jw., Bali), bhunyok (Md.), bobo (Menado, Ternate, Tidore), boboro (Halmahera), palean, palenei, pelene, pulene, puleanu, pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga (Seram, Ambon dan sekitarnya). (Sumber: Wikipedia).

 

 

Bahkan pernah juga saya bersama tim sempat kewalahan saat melintasi beberapa bagian sungai dimana ada ribuan serangga yang mirip tawon sedang melakukan migrasi dari daerah satu ke daerah lain. Menurut sang pengemudi, biasanya hal ini menandakan nanti akan turun hujan. Dan memang benar saat pulangnya di kala senja dari Nanga Bunut ke arah Putusibau, kami harus menikmati hujan yang menghadang dari depan. Menguji kesigapan, ketahahan dan kesabaran kami menelusuri pekat-gelapnya sungai. Hebatnya, sang pengemudi speedboat begitu tenang menikmati rintik hujan yang menghempas wajahnya—seakan tak peduli jika air hujan telah mengganggu pandangannya, speed boat pun tetep melaju pasti ke depan menelusuri tiap lekuk labirin sungai dengan presisi, tepat dan tanpa bingung. Track-nya persis sama dengan track yang terekam di GPS 76Csx yang saya genggam sepanjang perjalanan paginya. Hebat!!

 

Nanga Bunut: Kota di Atas Papan

 

Syahdan, dahulu kala pernah tercatat dalam sejarah masyarakat Kalimantan Barat sebuah kerajaan Bunut. Dan konon keratonnya berada di tengah pemukiman dan perkampungan yang kini merupakan ibukota kecamatan: Nanga Bunut. Di dekatnya berdiri sebuah masjid tertua di kawasan ini. Bahkan sebagai meng-klaim masjid ini adalah masjid tertua di Kapuas Hulu. Wajar sepertinya, karena kawasan ini memang merupakan persimpangan sungai yang strategis.

 

Alhamdulillah, saya sempatkan melaksanakan ibadah sholat Jumat di masjid bersejarah ini. Masjid yang terletak di tengah-tengah pemukiman kota di atas papan.

Suasana pedalaman yang begitu orisinil. Rumah, jalan dan semua bagian yang menopang kehidupan keseharian masyarakat Nanga Bunut dilakukan di atas bilah-bilah papan yang berjajar (baca: beting) menjadikan seluruh kota seakan menyatu menjadi sebuah rumah panggung besar. Lagi-lagi sungai menjadi urat nadi kehidupannya.

Beberapa orang mitra/vendor kami yang pernah bertugas di sini hampir semua terkesan selama mereka tinggal di Nanga Bunut. Bahkan ada yang ingin sekali tinggal di sana seterusnya. Di jalan-jalannya kita tidak akan temui ada kendaraan bermotor. Bisa terbayang pola hubungan komunal antar warganya yang begitu erat, intim dan bersahaja.  

Warganya pun ramah-ramah. Beberapa kali kami berpapasan selalu diiringi dengan senyuman atau bahkan sapaan yang menyenangkan.

 

 

Putusibau: Indahmu kupandang dari ketinggian 1000ft

 

Putusibau adalah the heart of borneo. Dengan Jarak perjalanan darat dari Pontianak mencapai 588 km (the shortest path via Jalan Raya "setengah jadi" Pontianak-Tayan), bisa jadi merupakan titik tengah dari Kalimantan. Putusibau ,merupakan ibukota Kabupaten Kapuas Hulu yang menjadi satu dari sekian kabupaten yang paling kaya akan sumber daya alam nabati dan hewani-nya. Di kabupaten ini setidaknya ada dua taman Nasional yang patut dijadikan pusat wisata ekosistem hutan (Ekowisata) yang sangat luar biasa memukau.

Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum. Danau Sentarum adalah danau yang terbentuk pada zaman es atau periode pleistosen ini memiliki kekayaan flora dan fauna yang luar biasa dan tak dimiliki daerah lain.Tumbuhannya saja ada 510 spesies dan 33 spesies di antaranya endemik TNDS, termasuk 10 spesies di antaranya merupakan spesies baru. Hewan mamalia di TNDS ada 141 spesies. Sekitar 29 spesies di antaranya spesies endemik, dan 64 persen hewan mamalia itu endemik Borneo. Terdapat 266 spesies ikan, sekitar 78 persen di antaranya merupakan ikan endemik air tawar Borneo. Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum tercatat sebagai salah satu habitat ikan air tawar terlengkap di dunia. Termasuk Ikan Arwana! Sementara TNBK memiliki pesona lain yaitu: daya tarik atraksi budaya tujuh sub etnis Dayak yang bermukim di sekitar kawasan TNBK. Mulai sub Dayak Punan Hovongan, Punan Bukat, Taman Kantuk, Kayan, Tamambaloh, sampai Iban. Kali ini, saya tidak hanya membawa oleh-oleh kerupuk basah atau madu putusibau yang biasanya berasal dari kawasan Nanga bunut atau jongkong, tapi juga sebuah pengalaman unik nan tak terlupakan.

 

 

Alkisah, entah mungkin ini adalah bagian dari takdir dan skenario indah milik-Nya. Awal 2009 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Putusibau dan sekali waktu saya sempat googling apa saja terkait “Putusibau” di internet yang kemudian membawa saya berseluncur ke blog pribadi seseorang yang terasa begitu dekat. Tentu karena sang empunya adalah senior saya satu almamater di Yogya dulu.

 

Faktor kedekatan historis ini, ditambah kesamaan nasib sebagai perantauan di Pulau Borneo membuat kami kembali saling mengenal lebih dekat. Walau sekedar via dunia maya. Akhirnya perjalanan terakhir saya ke Putusibau kemarin menjadi wasilah pertemuan kami di dunia nyata. Hehe.. sekaligus berkesempatan menikmati indahnya Putusibau dari udara. Subhanallah...

 

Kang Wewed begitu saya lebih sering memanggil, memang merupakan satu dari dua pilot “pesawat ringan” Trike PK-S 158 bermesin 2 tak Rotary 580cc dengan sistem pengendali triangle bar seperti gantole atau pesawat glidder—yang merupakan aset Taman Nasional Betung Kerihun yang biasa digunakan untuk melakukan aero-patrol dalam upaya menjaga dan memantau kondisi Taman Nasional dari udara.

 

Jadilah penerbangan bersama Kang Wewed adalah penerbangan saya yang ke-7 di tahun 2010. Hehe.. dimana penerbangan sebelumnya selalu menggunakan pesawat Boing 737 series maka kali ini “tantangannya lebih”—sebuah pesawat nyamuk!

Adrenalin terasa hingga ke ubun-ubun adalah saat take off sampai dengan pesawat dalam posisi horizontal dan kedua adalah saat akan landing. Terbayang roda kecil itu beradu dengan aspal run away bandara Pangsuma... fiuuuuh...

Alhamdulillah... Yes,.. i can fly!

 

 

Apa yang sudah dan bisa kita perbuat?

 

 

Mengutip hasil riset badan telekomunikasi dunia (ITU), bahwa setiap 1 % pertumbuhan bidang penetrasi informasi dan teknologi komunikasi (ICT), akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara sebesar 3 %.

 

Untuk membantu pengembangan Teknologi Informasi ini pada Pertemuan World Summit for Information Society (WSIS) Desember 6 tahun yang lalu di Jenewa dihasilkan dua dokumen penting yaitu, Declaration of Principles dan Plan of Action. Secara garis besar mengatakan antara lain bahwa setiap negara diharapkan mampu mengeluarkan National e-Strategy pada tahun 2005. Dalam strategi ini juga ditargetkan pada tahun 2015 seluruh desa sudah tersambung telepon.

 

Dan Telkomsel, sebagai sebuah operator seluler terbesar di negeri ini telah berupaya dan berkontribusi secara positif demi kemajuan negeri, sebagaimana kita ketahui bahwa paket USO Telkomsel meliputi 24.051 pedesaan. Termasuk di wilayah Kalimantan.

 

Jika jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan ujung barat hingga ke timur-utara pulau sampai saat ini masih dalam proses perencanaan dan pembangunan maka Telkomsel sejak tahun 2007 telah memiliki sistem transmisi radio teresterial yang telah menyatukan seluruh simpul pertumbuhan ekonomi di Kalimantan dengan kapasitas yang terus dikembangkan hingga tahun 2009 ini.

 

Bahkan kini di beberapa kota besar seperti Balikpapan dan Banjarmasin sudah memiliki infrastruktur transmisi broadband yang handal: fiber optic transmission system yang dibenamkan di antara tanah-tanah gambut dan paritnya. Menyusul kemudian Pontianak, Palangkaraya, Singkawang dan kota-kota lainnya.

 

 

 

Titik Ekstrem

 

Ada banyak kisah mengharu biru tentang proses penggelaran proyek Sangkuriang mengejar cinta Dayang Sumbi ini.Tantangan keterbatasan media transportasi untuk menjangkau titik ekstrem dan medan yang sulit meninggalkan kenangan dan tentu semangat yang patut kita contoh dan lestarikan.

 

Tergambar jelas bagaimana tim dari planning memeras seluruh kemampuan mereka untuk mampu mendesain sistem transmisi radio yang handal dan mampu menjawab kebutuhan pemenuhan link inter MSC dan BSC-MSC sebagai jalur tulang punggung yang menghubungkan antara nodal satu ke nodal yang lain. Maraton dalam rapat-rapat yang kejar tayang di medio 2006. Lalu bagaimana berjibakunya tim implementasi (TPI, NO Reg, dan vendor) mengawal proses pembangunannya hingga akhirnya awal/Q1 2007 project ini ruas demi ruas bisa terselesaikan.

Gunung Marau

 

Posisinya terletak di ujung selatan peradaban kota kecamatan bernama Kendawangan. Kota yang dikenal sebagai magic city, 2 jam ke arah Selatan dari Ketapang. Di Kota Kendawangan kita akan mudah sekali mendapati kuliner yang berasal dari olahan dari daging rusa, rendang daging rusa, luar biasa!

Dari Kendawangan kita masih harus menaiki motor air atau speed boat kurang lebih 30 menit. Langsung merapat di Dermaganya yang terbuat dari kayu belian nomor wahid. Dari situ perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki di atas gertak (kayu berjajar) sejauh kurang lebih 800 m. Setelah itu medan berganti dengan tangga menanjak. Dan disinilah tantangannya.

 

Di puncaknya, kita akan disambut dengan tower yang gagah, cukup dengan 42 meter saja. Dari sana kita bisa melihat Sungai Kendawangan yang indah dari kejauhan hingga ke muaranya. Di jalur inilah kapal-kapal besar pengangkut tanah lumpur berkandungan boksit dikirim ke negeri China.

 

Gunung Linang

 

Terletak di Mungguk Linang, Batu Ampar, Kubu Raya. Satu titik ekstrim yang lain karena untuk meraih lokasi ini harus naik speed boat 40 PK dari Rasau Jaya (yang berjarak 16 km dari Pontianak). Lama perjalanannya kurang lebih 3 jam. Meliuk-liuk dan menyisir labirin sungai anak Kapuas hingga ke Muaranya.

Bukit kecil yang dipuncaknya terdapat sebuah stasiun radio transmisi yang berdiri menyepi di antara hamparan deretan pohon nipah di sekitarnya. Untuk mencapai puncaknya kami harus menaiki jenjang anak tangga yang cukup menguras tenaga. Dengan kemiringan 45-60 derajat, rasanya beban di punggung jadi berlipat dua kali lebih berat dari sebelumnya. Anak-anak tangganya yang lembab dan basah ditumbuhi lumut hijau yang membuat di beberapa ruas anak tangga lebih licin namun juga telah melunak dan rusak lapuk terkena uraian biota tersebut. Di beberapa ruas di sepanjang jalur anak tangga pohon tumbuh menutupi jalur pendakian. Kami terpaksa harus sedikit merunduk atau dengan bantuan Pak Jaka penjaga site, kami harus memapasi beberapa dahal pohon yang rimbun menutupi jalur dengan parang yang ia bawa. Ketinggian track ini ternyata tak lebih dari 120-130m saja.

 

Di sekitar mungguk atau bukit ini banyak ditemukan ekosistem rawa sungai dengan vegetasi dominan pohon nipah (Nypa fruticans). Dan di antara vegetasi inilah hidup hewan predator sungai yang menjadi puncak piramida makanan: Buaya Muara (Crocodylus porosus).

 

 

Air Hitam

 

Hempasan laut ganasnya selat Karimata di penghujung tahun biasanya membuat banyak nelayan di pesisir kota Kendawangan mengurungkan diri untuk pergi melaut. Gelombang laut memang sedang tak bersahabat di masa-masa itu. Bahkan seorang vendor project transmisi yang berbadan tegap, tinggi besar, dengan mental yang sudah teruji ratusan kali melawan ketinggian dan teriknya matahari ternyata bisa dibuatnya kapok-ketakutan menghadapi ganasnya gelombang.

Menuju ke satu titik yang menghubungkan transmisi backbone Kalimantan bagian barat dengan Tengah ini, dari Pontianak, saya harus naik pesawat Twin macine sejenis foker menuju ke Ketapang dengan bandar udaranya: Rahadi Oesman--salah satu pahlawan pergerakan kemerdekaan Indonesia putra asli Kalimantan Barat yang berkuliah di STOVIA kala itu, dan gugur pada usia muda dalam upaya mempertahankan kemerdekaan-- dari maskapai penerbangan perintis. Cukup 55 menit sampai 1 jam saja di udara.

 

Jika kita hendak menempuh dengan jalur darat, maka Pontianak-Ketapang bisa ditempuh dalam waktu 16 jam. Diawali perjalanan darat dari Pontianak sampai ke Rasau Jaya.Dari sini dilanjutkan dengan Fery menuju ke Teluk Batang.

 

Dari Teluk Batang dilanjutkan dengan darat lagi selama kurang lebih 3 jam baru-lah tiba di Ketapang. Dari Ketapang melanjutkan perjalanan menuju Kendawangan dalam waktu 2-3 jam.

 

 

Laut memang merupakan penguji nyali yang efektif. Bahkan untuk seorang yang bisa berenang sekali pun. Dari Kendawangan perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan speedboat. Selama 3-4 jam lebih hempasan gelombang laut akan dibelah oleh lingga dan lambung speed boat yang terbuat dari fiber, membuat perjalanan mirip arung jeram dengan tempat duduk yang tidak bisa disebut nyaman.

Beberapa kali speed terpaksa macet terapung di tengah laut disebabkan baling-baling mesin tersangkut sampah atau pukat nelayan. Dalam kondisi terapung bebas begini, timbul gentar juga kalau-kalau tiba-tiba ada ombak besar datang menggulung. Perjalanan ke Air Hitam memang panjang dan berliku.

 

Air Hitam, apalah arti sebuah nama. Namun bagi kami, Air Hitam sangat berarti. Menjadi satu titik penghubung section antara Pontianak-Banjarmasin. Sehingga jika ada masalah maka nikmatilah sebuah perjalanan jauh nan dramatis lagi melelahkan.

Mau Mencoba??

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun