Mohon tunggu...
Rifki Sya'bani
Rifki Sya'bani Mohon Tunggu... -

Transmission Telcom Engineer (katanya), traveler (sukanya), cyclist (hampir tiap ke kantor) , and book lover. \r\n\r\nhttp://www.nulisbuku.com/books/view/40-hari \r\n\r\nhttp://abuziyad.multiply.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Menjelajah Pedalaman Borneo: "Paling dan Untuk Indonesia"

9 Mei 2011   11:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 2054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alih-alih bicara pelebaran jalan dan peningkatan kualitas jalan, yang sekarang aja sudah merupakan prestasi yang luar biasa dan patut kita syukuri, dibanding 3-4 tahun yang lalu dimana Sintang-Putusibau yang jaraknya tak lebih dari 260 km itu harus ditempuh hingga berhari-hari dengan kendaraan yang tak biasa pula. Alhamdulillah, capaian ini memang harus selalu disyukuri.

 

 

 

BUKIT KELAM: Indah tak seindah namamu dan nasibmu

Jika anda berkesempatan mengunjungi Sintang, jangan sungkan untuk menikmati satu keindahan dan pesona Borneo ini. Bukit Batu dengan ketinggian kurang lebih 500 m. Tak perlu menjelajahi dan mendakinya hingga ke pucaknya, karena memandangnya dari pinggiran jalan Sintang-Putusibau km 13 dari arah Sintang sudah cukup bagi anda untuk mengagumi satu dari batu terbesar di dunia.

Bentuknya yang unik, gagah berdiri menjulang di tengah hamparan dataran rendah disekitarnya membuat bukit ini nampak cantik dan spesial. Bahkan dari pusat kota atau kawasan Bandara Sintang, bukit batu hitam ini sudah tampak menggoda untuk disinggahi lebih dekat.

Namun sayangnya potensi wisata ini masih belum dapat dikelola dengan baik. Suasana taman wisata yang tak terurus dan tak terkelola membuat hati miris dan sedih.

Menyadarkan kita bahwa potensi keindahan alam ini perlu tangan-tangan dingin agar dapat dipromosikan dengan baik.

 

Transportasi Air: Nadi Ekonomi dan Kehidupan

 

Perjalanan menuju beberapa wilayah memang dibutuhkan tenaga dan energi yang lebih. Tak hanya jalan rusak berlubang. Namun ternyata juga sebuah petualangan menembus labirin sungai yang berliku dan menegangkan. Menariknya setiap kota-kota kecamatan yang ramai dahulu merupakan sebuah entitas masyarakat berbentuk kerajaan/kesultanan.

 

Dalam perjalanan dari Sintang menuju ke Nanga Ketungau Hilir saja saya disuguhi pemandangan bangunan heritage Sintang: Istana Kesultanan Sintang di tepian sungainya. Teringat kembali kemegahan masa silam tentang raja-raja penguasa tanah dan delta subur di tepian sungai yang kemudian mendirikan kerajaan sebagai identitas geopolitik dan ekonominya.

 

Atau waktu saya menjelajah ke daerah Kubu yang merupakan kota penting di sebelah selatan Pontianak dari sejak dahulu hingga sekarang, posisinya menjadi salah satu kota yang menjadi gerbang menuju ke Pontianak melalui Selat Karimata dan muara Sungai Kubu yang penuh liku dan bercabang-cabang di saat lalu lintas air masih menjadi andalan utama transportasi di masa silam.

 

 

Kota kecamatan ini memiliki sejarah panjang dan menjadi bagian dari kebangkitan peradaban kesultanan di seluruh pusat pertumbuhan ekonomi dan politik-demografi di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat. Kesultanan Kubu (Al Idrusy) ini tercatat berdiri sejak tahun 1772 dan memiliki kaitan yang erat denganKesultanan Kadriyah (Al Qadry) Pontianak.

 

Selain itu, saya pun bisa menyaksikan kehidupan masyarakat sungai lebih dekat. Bagaimana mereka benar-benar menjadikan sungai sebagai urat nadi kehidupannya. Dari urusan MCK sampai mencari makan. Siklus mata rantai yang harmonik dan unik. Melihat tempat pembuangan limbahnya, dan bagaimana mereka membangun rumah-rumahnya di atas gelombang pasang surut sungai yang bersiklus. Jadi teringat sedikit sebuah film “Water World” yang dibintangi oleh Kevin Costner di era 90-an awal.

 

 

Soal ekosistem sungai, saya beberapa kali dapat menyaksikan elang sungai yang sedang berpatroli udara mencari mangsa dan rezeki hari itu, atau menyaksikan burung yang menjadi lambang dan simbol etnik Kalimantan (baca: Dayak) yaitu burung Enggang. Selain itu sepanjang perjalanan vegetasi alam yang kerap dijumpai adalah pohon Nipah. Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Tumbuhan ini juga dikenal dengan banyak nama lain seperti daon, daonan (Sd., Bms.), buyuk (Jw., Bali), bhunyok (Md.), bobo (Menado, Ternate, Tidore), boboro (Halmahera), palean, palenei, pelene, pulene, puleanu, pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga (Seram, Ambon dan sekitarnya). (Sumber: Wikipedia).

 

 

Bahkan pernah juga saya bersama tim sempat kewalahan saat melintasi beberapa bagian sungai dimana ada ribuan serangga yang mirip tawon sedang melakukan migrasi dari daerah satu ke daerah lain. Menurut sang pengemudi, biasanya hal ini menandakan nanti akan turun hujan. Dan memang benar saat pulangnya di kala senja dari Nanga Bunut ke arah Putusibau, kami harus menikmati hujan yang menghadang dari depan. Menguji kesigapan, ketahahan dan kesabaran kami menelusuri pekat-gelapnya sungai. Hebatnya, sang pengemudi speedboat begitu tenang menikmati rintik hujan yang menghempas wajahnya—seakan tak peduli jika air hujan telah mengganggu pandangannya, speed boat pun tetep melaju pasti ke depan menelusuri tiap lekuk labirin sungai dengan presisi, tepat dan tanpa bingung. Track-nya persis sama dengan track yang terekam di GPS 76Csx yang saya genggam sepanjang perjalanan paginya. Hebat!!

 

Nanga Bunut: Kota di Atas Papan

 

Syahdan, dahulu kala pernah tercatat dalam sejarah masyarakat Kalimantan Barat sebuah kerajaan Bunut. Dan konon keratonnya berada di tengah pemukiman dan perkampungan yang kini merupakan ibukota kecamatan: Nanga Bunut. Di dekatnya berdiri sebuah masjid tertua di kawasan ini. Bahkan sebagai meng-klaim masjid ini adalah masjid tertua di Kapuas Hulu. Wajar sepertinya, karena kawasan ini memang merupakan persimpangan sungai yang strategis.

 

Alhamdulillah, saya sempatkan melaksanakan ibadah sholat Jumat di masjid bersejarah ini. Masjid yang terletak di tengah-tengah pemukiman kota di atas papan.

Suasana pedalaman yang begitu orisinil. Rumah, jalan dan semua bagian yang menopang kehidupan keseharian masyarakat Nanga Bunut dilakukan di atas bilah-bilah papan yang berjajar (baca: beting) menjadikan seluruh kota seakan menyatu menjadi sebuah rumah panggung besar. Lagi-lagi sungai menjadi urat nadi kehidupannya.

Beberapa orang mitra/vendor kami yang pernah bertugas di sini hampir semua terkesan selama mereka tinggal di Nanga Bunut. Bahkan ada yang ingin sekali tinggal di sana seterusnya. Di jalan-jalannya kita tidak akan temui ada kendaraan bermotor. Bisa terbayang pola hubungan komunal antar warganya yang begitu erat, intim dan bersahaja.  

Warganya pun ramah-ramah. Beberapa kali kami berpapasan selalu diiringi dengan senyuman atau bahkan sapaan yang menyenangkan.

 

 

Putusibau: Indahmu kupandang dari ketinggian 1000ft

 

Putusibau adalah the heart of borneo. Dengan Jarak perjalanan darat dari Pontianak mencapai 588 km (the shortest path via Jalan Raya "setengah jadi" Pontianak-Tayan), bisa jadi merupakan titik tengah dari Kalimantan. Putusibau ,merupakan ibukota Kabupaten Kapuas Hulu yang menjadi satu dari sekian kabupaten yang paling kaya akan sumber daya alam nabati dan hewani-nya. Di kabupaten ini setidaknya ada dua taman Nasional yang patut dijadikan pusat wisata ekosistem hutan (Ekowisata) yang sangat luar biasa memukau.

Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum. Danau Sentarum adalah danau yang terbentuk pada zaman es atau periode pleistosen ini memiliki kekayaan flora dan fauna yang luar biasa dan tak dimiliki daerah lain.Tumbuhannya saja ada 510 spesies dan 33 spesies di antaranya endemik TNDS, termasuk 10 spesies di antaranya merupakan spesies baru. Hewan mamalia di TNDS ada 141 spesies. Sekitar 29 spesies di antaranya spesies endemik, dan 64 persen hewan mamalia itu endemik Borneo. Terdapat 266 spesies ikan, sekitar 78 persen di antaranya merupakan ikan endemik air tawar Borneo. Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum tercatat sebagai salah satu habitat ikan air tawar terlengkap di dunia. Termasuk Ikan Arwana! Sementara TNBK memiliki pesona lain yaitu: daya tarik atraksi budaya tujuh sub etnis Dayak yang bermukim di sekitar kawasan TNBK. Mulai sub Dayak Punan Hovongan, Punan Bukat, Taman Kantuk, Kayan, Tamambaloh, sampai Iban. Kali ini, saya tidak hanya membawa oleh-oleh kerupuk basah atau madu putusibau yang biasanya berasal dari kawasan Nanga bunut atau jongkong, tapi juga sebuah pengalaman unik nan tak terlupakan.

 

 

Alkisah, entah mungkin ini adalah bagian dari takdir dan skenario indah milik-Nya. Awal 2009 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Putusibau dan sekali waktu saya sempat googling apa saja terkait “Putusibau” di internet yang kemudian membawa saya berseluncur ke blog pribadi seseorang yang terasa begitu dekat. Tentu karena sang empunya adalah senior saya satu almamater di Yogya dulu.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun