Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Merese Rasa Rinjani sebagai Eco-Sustainable Tourism

18 November 2021   05:06 Diperbarui: 18 November 2021   05:10 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku pernah minum dari embun yang dipanen loh".

Lalu bagaimana dengan lampu penerang dan listrik?

Sustainability approach

energi gelombang | researchgate
energi gelombang | researchgate

Kan ada energi alternatif. Kita kenalkan saja energi berkelanjutan. Energi surya dengan menggunakan solar cell. Atau energi angin dengan membuat mini turbin angin. Atau bahkan kita coba energi terbarukan yang jarang disentuh: energi ombak. Seru kali ya kalo kita menginap di sini, lalu mendapatkan berbagai pengalaman pertama yang sebelumnya tidak pernah kita alami. Atau bahkan pengunjung sendiri bisa dilibatkan atau berperan serta membuat energi alternatif lain: biomass -- dari sampah dan berbagai kotoran buangan.

Energi yang dihasilkan itu akan digunakan secara efisien. Seperti bisa saja kita desain lodge-villa tanpa penyejuk udara, melainkan didesain tropis dengan teknologi sederhana cross ventilation memanfaatkan angin dan segarnya keteduhan pepohonan. Penerangan pun ditantang harus efektif, dengan menggunakan lampu yang padam sendiri kalo sudah terang dan otomatis mati saat malam di jam tertentu. Misalnya, tiap jam 10 malam lampu -- bukan listrik -- mati. Dalam keadaan darurat, pencahayaan menggunakan lampu senter, atau lilin dari bahan daur ulang.

Memang kenapa tiap jam 10 malam lampu dimatikan?

Karena itulah yang dijual kan. Gelapnya malam. Gelap segelap-gelapnya. Demi apa? Ya demi mendapatkan sensasi di Puncak Rinjani itu: melihat bertaburannya bintang, terpukau memandang gugusan Bima Sakti dan bintang berekor atau bintang jatuh. Dan itu hanya bisa didapatkan dalam gelap segelapnya malam, bukan? Bukankah experience seperti itu yang jarang didapatkan "orang kota" yang selalu diliputi oleh polusi cahaya? Saya tuh suka terbayang suatu saat seorang anak kecil bercerita kepada temannya di kota: "eh aku beneran melihat bintang berkerlap-kerlip. Buanyak banget. Kamu pernah lihat gak? Dan aku diajari juga nyanyi Bintang Kecil. Keren tahu".

Keterlibatan masyarakat untuk keberlanjutan wisata

"Diajari lagu Bintang Kecil" mungkin aneh-aneh ya. Tapi, anak kecil sekarang mana kenal lagu itu. Dan lagu itu bisa diajari pada saat mereka menginap atau berkemah di lokasi ini. Oleh siapa? Oleh penduduk setempat. Bagus kan kalau penduduk setempat diberdayakan untuk terlibat di lokasi wisata itu. Mengajari anak bernyanyi adalah satu hal. Tapi yang lebih menarik lagi adalah jika para penduduk itu mengajak para pengunjung untuk .....BERMAIN.

Lenjang | gadizalombok
Lenjang | gadizalombok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun