Segmen 1.
Bulan puasa saat itu. Kebetulan bermalam di sebuah gedung tinggi di sebuah kota besar. Sekitar dua jam sebelum adzan subuh berkumandang, saya sudah bangun. Memanfaatkan keheningan malam, ceritanya. Saya matikan gemuruh AC, saya buka jendela balkon, demi mengharap suara hening malam dan kokok ayam. Namun....
Ternyata jam segitu suasana sudah ramai. Ada tiga suara dari tiga sumber yang muncul. Dari arah depan, jam 2.30 subuh itu sudah berkumandang suara orang yang mengaji. Saya mencoba mendengarkannya, tetapi sulit.Â
Ngajinya begitu cepat, sehingga telinga saya tidak begitu menangkap. Menjelang sahur, sepertinya mikrofonnya diambil alih oleh cucunya. Karena yang muncul adalah gema ngaji  iqra khas anak kecil atau zikir campur aduk. Yang justru paling banyak terdengar adalah cekikan tertawanya anak-anak beramain-main di microphone.
Sementara itu dari arah kiri terdengar suara berdendang. Sebuah lagu. Dari rekaman, entah kaset, entah CD. Bukan. Bukan, suara Bimbo atau Nisa Sabyan. Entahlah, rasanya bukan pula nasyid. Dan dari sumber di kanan, muncul suara orang membangunkan sahur. Diabsen  nama penduduk satu-satu.
Dan itu jam 2.30. Subuh pun belum menjemput.
Segmen 2.
Jam sepuluh pagi, speaker arah depan kembali berbunyi. Kali ini dikuasai ibu-ibu yang sedang mengaji. Khas pengajian ibu-ibu. Ada yasinan, nadoman dan ceramah. Lengkap dengan dialek setempat. Dan itu terdengar sangat jelas dari lantai dua belas. Gedung tinggi itu.
Ketika turun dan berkendara serta melewati jalanan sekitar sumber suara itu, ternyata suara speaker itu hanya terdengar lamat-lamat. Padahal, suasana tidak begitu ramai. Polusi suara tidak menerpa.
Lalu, ke sebelah mana sumber speaker itu mengarah?
Segmen 3.