Trip bersama komunitas itu selalu seru. Apalagi jika trip itu untuk eksplorasi kuliner di kota tempat Jokowi berdomisili selama menjadi Presiden, yang juga kota dengan segudang rasa: Bogor. Apalagi jika trip itu bersama komunitas penulis penggila kuliner, yang kebetulan disingkat keren: KPK. Apalagi jika trip itu juga diisi dengan workshop kekinian bertema “Pegang Kendali Instagrammu” bersama Ayudia Respatih.
Food blogger dengan instagram keceh gitu loh. Apalagi jika trip itu dilakukan dengan menggunakan moda transportasi masal, cepat dan murah, Commuter Line. Apalagi jika trip itu menggunakan fasilitas non-tunai – mengikuti Gerakan Nasional Non-Tunai Bank Indonesia – berupa kartu Flazz Bank Danamon: cepat dan tidak ribet. Apalagi trip itu tambah cool karena kartu yang didukung penuh oleh layanan Danamon Prima itu ternyata limited edition, hanya 5000 kartu brosis, berwarna merah, khas club Manchaster United. De Gea di kartuku.
Surya Kencana ya Soto Kuning. Soto Kuning ya Surya Kencana.
Sebenarnya, alasan saya ikut perjalanan ini adalah satu: ingin menikmati soto kuning. Kuliner ini sudah sering saya dengar sebagai kuliner khas Bogor. Dan katanya, soto kuning terkenal itu ya di Surya Kencana.
Memang, di sepanjang jalan Surya Kencana itu banyak sekali kios atau resto soto kuning. Teman seperjalanan memberi tahu jika soto kuning terkenal itu berada di arah sebaliknya dari saya jalan, namun bukanya mulai jam empat sore. Sementara teman-teman yang lain menyarankan ke soto kuning Pak Yusup, saya malah lebih tertarik dengan kios berjudul “Yellow Soto”. Tertarik doang dengan nama restonya yang eye catching. Tapi kaki terus mengikuti jalan menuju kios Pak Yusup. Tapi…. OMG. Ada dua Yusup di sana. Dan dua-duanya rame. Satu pakai huruf “f” – Yusuf. Satu lagi pakai huruf “p” – Yusup. Hadeuh. Untung tidak membuat saya yang USA – Urang Sunda Asli, bingung, secara saya bisa ngomong “f” J .
Yang pertama saya kunjungi adalah kios sokun Pak Yusup – dengan “p” tanpa huruf “M” di depannya. Kios ini berupa gerobak dorong biasa, berada di trotoar kios yang sedang tutup. Siang menuju sore itu kondisi gerobaknya ramai, dengan beberapa konsumen sedang menikmati soto panasnya dan sebagian menunggu untuk dibawa pulang. “Aura” kuningnya soto sudah terpancar dari jeroan dan daging – sebagai bahan utama soto - yang sengaja diletakkan terbuka di atas daun kelapa.
Warna kuningnya berpadu goreng limpa dan perkedel bak kulit coklat terbakar mentari, dilatarbelakangi asap putih dari kuah soto kuningnya. Ah. Eksotis ya. Sebuah sajian yang menggugah selera untuk dicicipi dan … difoto. Apalagi bekal ilmu kunci food-photograpgy dari workshop sebelumnya masih terngiang di telinga: lighting ada (kebetulan lagi panas), human element ada (ambil saja tangan si abang atau konsumen yang makan), mood ada (mangkok dan botol kecap bolehlah jadi penambah rasa), sudut pengambilan – kayaknya 45 derajat saja biar volumenya muncul.
Sebentar. Kita bandingkan dulu dengan kios satunya lagi, M Yusuf – dengan “f” dan dengan huruf “M”.
Berbeda dengan sokun Pak Yusup, Soto Kuning Pak M Yusuf ini mengambil bentuk restoran. Resto nya cukup luas dengan meja-meja panjang yang sangat membantu membuat nyaman untuk makan. Di dindingnya terpampang menu-menu yang disajikan, yang memudahkan pengunjung menentukan pilihan.
Dari sisi tampilan, mungkin gerobak di sokun M Yusuf ini tidak terlalu “instagramable”, mengingat gerobaknya agak tertutup – dalam arti positif itu higienis – sehingga sedikit menghalangi sinar matahari. Warna-warna masakan, seperti jeroan dan dagingnya pun tidak sekuning gerobak sebelah. Tapi, aromanya tidaklah kalah. Apalagi, proses pelayanan di sini terlihat lebih profesional.
Iya, Sokun M Yusuf ternyata memiliki pegawai cukup banyak, 10 orang. Pembuatan pesanan soto dilakukan oleh orang yang berbeda dengan membuat minuman. Demikian pula untuk membayar dilakukan dengan kasir tersendiri. Jadinya, proses menunggu jauh terkurangi. Yang menarik adalah para pegawainya itu – yang berseragam kaos kuning - adalah keluarga Pak M Yusuf sendiri. Ada istri, anak, menantu dan cucu. Sepertinya Pak Yusuf berniat memegang kendali bisnisnya secara penuh di keluarganya. Kendali itu pula lah yang dikemukakan Pak M Yusuf ketika memutuskan untuk menutup beberapa kios soto kuningnya di Jakarta, agar rasa khas “Bogor”-nya tetap melekat di restoran soto kuningnya di kota Bogor.
Itu yang beliau ucapkan saat ditanya mengenai kekhawatiran turunnya bisnis mengingat pesaingnya dengan nama yang hampir sama membuka dagangan di lokasi yang dekat. “Di sana kan memakai gerobak, jadi kalau dikunjungi beberapa orang pun sudah terlihat penuh, sementara di sini bisa menampung banyak orang”, ujar Pak Yusuf. Kendali itu pula yang membuat Soto Kuningnya terkenal ke luar Bogor dan menjadi sasaran kuliner beberapa selebriti dan orang penting. Kendali yang seirama banget dengan tagline Danamon sebagai sponsor trip ini: “saatnya memegang kendali”.
Mengenai rasa, untuk membandingkannya, karena saya memegang kendali finansial saya sendiri – ciee – maka saya beli kedua soto kuning itu. Harga Sokun Pak Yusup (dengan “p”) adalah Rp. 30,000 dan Pak M Yusuf (dengan “f”) adalah 35,000. Sengaja saya beli dua-duanya karena saya tidak langsung mencicipi di tempat. Saya cicipi saat perut saya kosong – setelah menempuh perjalanan di hujan lebat - dan hati berbahagia, dalam arti mencicipi bersama dengan istri tercinta di rumah. Sokun Pak Yusup lebih kentara warna kuningnya dibandingkan dengan Sokun Pak M Yusuf. Namun rasa gurih khas soto kuning terasa dari kedua soto itu, meski rasa kaldu dari Sokun Pak Yusup lebih kental.
Surya Kencana (Surken) tidak hanya Soto Kuning, pemirsa
Bagi yang sedang berwisata kuliner di Suken, jangan hanya mengunjungi warung soto kuning. Surken memiliki berbagai penganan yang menarik untuk dicicipi – atau setidaknya dikunjungi jika perut kenyang. Saking menariknya pilihan, kita sendiri lah yang harus memegang kendali, daripada perut Anda maju beberapa sentimeter setelahnya.
Nah, pilihan saya tergantung dari air liur yang menetes ketika melihatnya. Lumpia basah khas Bogor, dengan campuran rebung, toge dan telurnya yang lezat. Wedang Ronde warna warni, dengan abang penjual anak muda berrambut jambul kekinian (bukan jambul Rifki, dia pake pomade J ). Jejeran berbagai jenis pisang di tandannya. Bir kotjok yang ternyata bukan bir. Dodongkal. Juga asinan khas Bogor. Satu jenis kuliner yang temanku temuin dan sayangnya tidak sempat saya jenguk adalah Pepes unik – pepes pisang dan nangka.
Satu hal yang menarik dicatat, Surya Kencana ternyata memiliki cukup bervariasi kuliner berbahan pork – daging babi. Itu bisa dengan gampang terlihat dari bentuk makanannya yang berbeda – dan sepertinya gampang diidentifikasi oleh mereka yang tidak familiar, seperti halnya sate babi yang gerobaknya penulis lewati. Juga bisa dilihat dari fisik warung dan nama kulinernya yang cukup identik dengan kuliner berbahan port – seperti warung dengan warna dominan merah dan nama kuliner semisal “Nasi Campur”. Hal itu bisa dimengerti, karena Surya Kencana memiliki sejarah panjang dari jaman dahulu sebagai daerah Pecinan.
Sebagai pengunjung atau wisatawan kuliner muslim, saya mengambil posisi untuk menghargai sejarah. Meski memiliki usul pribadi agar kulinernya dizonaisasi - yang akan tergantung Pemerintah Daerah dengan berbagai pertimbangan – saya lebih memilih untuk memegang kendali dari sisi pribadi dalam menentukan pilihan kulinernya. Pilihan saya akan banyak berdasarkan informasi-informasi yang sebelumnya sudah didapat atau sengaja ditanyakan. Kuliner yang meragukan lebih baik saya hindari.
Beruntung, para pedagang pun sekarang sudah sadar dengan pentingnya kehalalan untuk pengunjung muslim. Karenanya, saya memberi apresiasi ketika melihat logo disertai sertifikat halal dipampangkan di gerobak dorong para penjual. Semoga, usaha seperti ini diikuti oleh semua penjual makanan halal, sehingga memudahkan wisatawan muslim menentukan pilihan – dan membantu mereka mendapatkan pembeli – yang sedang kelaparan :)
Ah, petualangan lidah harus saya akhiri. Bukannya saya berkejaran dengan waktu, namun mendung yang menggayut diiringi halilintar siap-siap menumpahkan air mata semesta sebagai penanda kota: Bogor Kota Hujan.
Apalah daya, payungku yang selalu disembunyikan harus kubuka saat tiba di stasiun kereta. Iya, payung warna pink, merah muda J.
Lalu, siap-siap beli tiket, kumengikuti antrian bak ular kedinginan. Tapi, hey. Kuberlalu saja. Flazz … secepat kilat ku sudah berada di peron. Dengan kartu Danamon Flazz. Bebas antri. Asyeeeek……