Sebagai pengunjung atau wisatawan kuliner muslim, saya mengambil posisi untuk menghargai sejarah. Meski memiliki usul pribadi agar kulinernya dizonaisasi - yang akan tergantung Pemerintah Daerah dengan berbagai pertimbangan – saya lebih memilih untuk memegang kendali dari sisi pribadi dalam menentukan pilihan kulinernya. Pilihan saya akan banyak berdasarkan informasi-informasi yang sebelumnya sudah didapat atau sengaja ditanyakan. Kuliner yang meragukan lebih baik saya hindari.Â
Beruntung, para pedagang pun sekarang sudah sadar dengan pentingnya kehalalan untuk pengunjung muslim. Karenanya, saya memberi apresiasi ketika melihat logo disertai sertifikat halal dipampangkan di gerobak dorong para penjual. Semoga, usaha seperti ini diikuti oleh semua penjual makanan halal, sehingga memudahkan wisatawan muslim menentukan pilihan – dan membantu mereka mendapatkan pembeli – yang sedang kelaparan :)
Ah, petualangan lidah harus saya akhiri. Bukannya saya berkejaran dengan waktu, namun mendung yang menggayut diiringi halilintar siap-siap menumpahkan air mata semesta sebagai penanda kota: Bogor Kota Hujan.
Apalah daya, payungku yang selalu disembunyikan harus kubuka saat tiba di stasiun kereta. Iya, payung warna pink, merah muda J.
Lalu, siap-siap beli tiket, kumengikuti antrian bak ular kedinginan. Tapi, hey. Kuberlalu saja. Flazz … secepat kilat ku sudah berada di peron. Dengan kartu Danamon Flazz. Bebas antri. Asyeeeek……
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H