Uyah tara tees ka luhur
Kalimat di atas adalah sebuah peribahasa Sunda, yang secara harfiah berarti “garam tidak pernah menetes ke atas”. Sebuah arti yang senada dengan peribahasa “Air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga”. Maksudnya adalah “pada umumnya sifat seorang anak mengikuti teladan orangtuanya”. Dan banyak kemungkinan bahwa ini yang terjadi pada Bunda Intan dan keluarga: aktivitas menulis itu sudah menjadi aktivitas turun temurun.
Tausiah Kyai Muchtar Adam di depan anak-mantu-cucu-buyut | Foto: Rifki Feriandi
Hal ini saya temui pada saat mendapatkan kesempatan ikut berbuka puasa dengan Bunda Intan dan keluarga besarnya. Termasuk ayahandanya, Pak Kyai Muchtar Adam, Pimpinan Pesantren Qur’an Baabussalam, Ciburial, Dago. Dalam kesempatan berharga itu, saya menimba banyak ilmu dari Pak Kyai, termasuk memahami sebuah kebiasaan yang sangat positif: membaca dan menulis.
Di ruang tamunya yang sederhana, penulis melihat tiga rak buku penuh dengan buku-buku referensi dan literatur. Dari cerita Pak Kyai dan istrinya, banyak dari buku-buku itu didapatkan langsung dari tempat penerbitannya di luar neger, seperti Timur Tengah sampai Afrika. Tidak hanya itu saja, beliau bahkan selalu berusaha menemui ulama-ulama terkenal setempat untuk menimba ilmu. Di luar kegemaran membaca, Pak Kyai pun aktif menulis. Sudah 62 (enam puluh dua) judul buku yang beliau tulis.
Penulis mendapat kehormatan berbincang di ruang tamu yang penuh dengan buku | Foto: Rifki Feriandi
Saat mengikuti tausiah menjelang berbuka, Pak Kyai menitipkan pesan kepada anak, mantu, cucu dan buyutnya untuk menulis. Karena dalam Surat Al “Alaq disebut “’allama bil qolam”. Qolam. Akan mulia dengan tulisan. Walaupun sudah mati, tulisan akan hidup terus. Beliau memberi contoh seorang ulama, Jalaludin as suyuthi yang menulis 600 buku dengan salah satunya Tafsir Ad-Durrul Mantsuur. “Kalian harus rajin menulis. Jangan buang-buang waktu. Kalo bapak bercerita 60 buku yang ditulis ada sejarahnya, dari iqro. Membaca masyarakat, membaca situasi”
Sebagian buku karya Ayahanda Bunda Intan, Kyai Muchtar Adam | Foto: RIfki Feriandi
Mungkin Bunda Intan dan putera-puteranya yang bisa meyakinkan apakah aktivitas menulisnya berasal dari bakat yang diturunkan dari orang tuanya. Tetapi, saya lebih melihat bahwa apa yang coba diturunkan oleh Pak Kyai Muchtar adalah sebuah kebiasaan baik, berupa aktivitas menulis. Ayahnya suka menulis, anaknya pun mengikuti kebiasaan itu.
Melihat Bunda dan Kakeknya menulis, membuat cucu ikutan menulis. Pak Kyai suka menulis, membuat Bunda Intan – dan juga adiknya, Fajruddin Muchtar – penulis di Kompasiana pula, menjadi suka menulis. Bunda Intan menulis membuat beberapa orang puteranya pun ikutan menulis.
Bersama Bunda Intan dan adiknya yang juga menulis, Kang Fajruddin Muchtar (fxmuchtar) | Foto: Rifki Feriandi
Bun, buatin blog dong!Itu adalah kalimat permintaan dari si bungsu, anak ke 12 Bunda Intan yang kelas 4 SD. Sebuah permintaan yang menjadi tanda bahwa dua hal di atas, yaitu memberi contoh dan turunan kebiasaan, mulai memberi hasil ..... lagi. Sepertinya tinggal Bunda memfasilitasi permintaan si kecil itu dengan membuat “diari” berupa blog.
Your child will follow your example, not your advice
********
Lihat Humaniora Selengkapnya