Intan Rosmadewi. Kami memanggilnya Bunda Intan atau Bunda saja. Beliau adalah seorang penulis cukup produktif di Kompasiana. Total sampai tulisan ini dibuat, sudah 195 artikel beliau buat dengan hampir 50 persennya masuk kategori pilihan. Bunda pun aktif mengikuti acara-acara komunitas, termasuk berkesempatan ikut tour ke pertambangan di Nusa Tenggara. Saya melihat Bunda Intan sebagai seorang sosok yang inspiratif.
Diari sebagai awal kesenangan menulis
Ketika lebih jauh ditanya apa resep memiliki anak yang suka menulis, Bunda tidak memberi jawaban jelas. Beliau tidak memiliki resep tersendiri. Saya mendapatkan kesan bahwa semuanya mengalir saja secara normal. Namun, saat berkomunikasi dengan anak-anaknya, Bunda terkadang mengusulkan mereka untuk membiasakan menulis diari. Bagi Bunda, menulis diari itu bagus karena anak dilatih untuk mengemukakan apa yang dirasakannya dan apa yang dipikirkannya. Itu adalah awal dari kesenangan aktivitas menulis.
Berilah contoh
Saya sempat mengeluarkan unek-unek bahwa anak-anak saya tidak punya bakat menulis. Dengan tegas Bunda menjawab “Biarkan saja. Kang Rifki nulis saja. Biar anak-anak melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Nanti juga sedikit demi sedikit mereka akan ikut”. Sebuah jawaban yang sederhana dan tepat. Biarkan anak melihat dari contoh. Biarkan anak merasa tertarik dengan sendirinya, sehingga jika pun mereka mengikuti dan melakukan aktivitas tersebut, mereka melakukannya dengan riang dan bahagia. Kalaupun mereka tidak melakukan aktivitas tersebut, bisa saja mereka tidak memiliki interest dalam aktivitas itu.
“Perlahan namun pasti Bunda bangkit. Bunda mulai beraktivitas seperti biasa, mengajar dan mengisi pengajian di beberapa masjid. Beliau pun mulai banyak menulis baik di laman Facebook-nya atau di Kompasiana. Lebih banyaknya tulisan mengenai kepergian Ayah, lama kelamaan rutin menulis artikel yang lebih panjang sesuai dengan gayanya sendiri. Hal apapun ditulis Bunda, semangat berbagi lewat tulisan memang cukup tinggi. Pintar menjalin silaturrahim sesama penulis dunia maya, Bunda pun rutin ikut event-event bersama Blogger Bandung”.
Dari satu alinea cerita Rara itu, terlihat apa aktivitas Bundanya yang sadar atau tidak sadar muncul sebagai sebuah contoh. Itulah aktivitas yang saya cetak tebal: menulis.
Demikian pula sebuah kalimat lucu dengan bahasa anak muda mencerminkan sebuah pesan dari aktivitas yang dijadikan contoh. “....Jika tidak begadang hingga malam, setidaknya shubuh hari sudah nongki-nongki cantik di depan notebook untuk menulis kembali...”.
Uyah tara tees ka luhur
Kalimat di atas adalah sebuah peribahasa Sunda, yang secara harfiah berarti “garam tidak pernah menetes ke atas”. Sebuah arti yang senada dengan peribahasa “Air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga”. Maksudnya adalah “pada umumnya sifat seorang anak mengikuti teladan orangtuanya”. Dan banyak kemungkinan bahwa ini yang terjadi pada Bunda Intan dan keluarga: aktivitas menulis itu sudah menjadi aktivitas turun temurun.
Di ruang tamunya yang sederhana, penulis melihat tiga rak buku penuh dengan buku-buku referensi dan literatur. Dari cerita Pak Kyai dan istrinya, banyak dari buku-buku itu didapatkan langsung dari tempat penerbitannya di luar neger, seperti Timur Tengah sampai Afrika. Tidak hanya itu saja, beliau bahkan selalu berusaha menemui ulama-ulama terkenal setempat untuk menimba ilmu. Di luar kegemaran membaca, Pak Kyai pun aktif menulis. Sudah 62 (enam puluh dua) judul buku yang beliau tulis.
Melihat Bunda dan Kakeknya menulis, membuat cucu ikutan menulis. Pak Kyai suka menulis, membuat Bunda Intan – dan juga adiknya, Fajruddin Muchtar – penulis di Kompasiana pula, menjadi suka menulis. Bunda Intan menulis membuat beberapa orang puteranya pun ikutan menulis.
Itu adalah kalimat permintaan dari si bungsu, anak ke 12 Bunda Intan yang kelas 4 SD. Sebuah permintaan yang menjadi tanda bahwa dua hal di atas, yaitu memberi contoh dan turunan kebiasaan, mulai memberi hasil ..... lagi. Sepertinya tinggal Bunda memfasilitasi permintaan si kecil itu dengan membuat “diari” berupa blog.
Your child will follow your example, not your advice
********
Catatan dari Bunda Intan
- Ritchie Ramadhan: Baru menulis satu tulisan, akan tetapi Bunda berharap iapun bisa mengambil peluang menjadi penulis sehingga punya kesempatan untuk berkisah tentang pengalaman dan apapun yang berguna agar bisa di bagikan pada pembaca secara lebih luas.
- Dzulfikar Al’Ala: Dzulfikar satu – satunya putera Bunda yang menekuni dunia menulis hingga kini tulisan berjumlah 528 artikel salah satu tulisan yang menuai lebih dari seribu klik. Blog pribadinya didesain dengan sangat profesional. Aroma harum dampak menulis banyak dan berulang kali ditebar Dzulfikar kepada adik – adiknya dan kepada keluarga besar Muchtar Adam.
- Hudaibiyah Al Faruqie: Bertugas di Banda Aceh, bagian karantina ikan di Bandara Sultan IskandarMuda, alumni Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta di bawah kementerian Perikanan dan Kelautan.
- Mujahidah Raihanah: Alumni Sekolah Akademi Kesehatan. Sudah mengabdi selama beberapa tahun di RBC (Rumah Sakit Bersalin Cuma – Cuma Dompet Dhu’afa).
- Fawwaz Ibrahim: Kegiatan menulis bagi Fawwaz saat ini menjadi peluang mengasyikan dirinya untuk bisa traveling gratis diantaranya ke Banyuwangi bersama Kementerian Pariwisata, salah satu tulisan yang cukup menyentuh pembaca: Aku Ayah dan Kompasiana.
- Raidah Shabirah: Alumni Pendidikan Bahasa Arab Univ. Pendidikan UPI tahun 2016 masih melamar ke beberapa sekolah di Bdg sebagai guru Bahasa Arab, heran juga ni satu anaknya Bunda penggemar drama Korea yang menyebar wabah negatif bagi adik – adiknya, hahaha . . . si Bunda jadi tertantang habis – habisan menasehati agar jangan nonton film2 yang banyak menghabiskan waktu.
- Raadiyah Mardiyyah: Saat ini puteri Bunda ketujuh tengah magang selama 3 bulan di RRI – Bandung sebagai script writter siaran bahasa Inggris Pro 2 FM, kuliah di Universitas Negeri Malang, aktif menulis di Kompasiana dan salah satu tulisan Didi ( panggilan harian di rumah ) yang sempat di apresiasi dan di komen Kang Pepih secara khusus adalah Lelaki empat Februari.
- Hannah Siti Hajar Karimah: Baru satu tulisan, di Kompasiana masih sibuk berkutat urusan masuk ke Perguruan Tinggi untuk yang kedua kalinya zonk masuk ke SBMPTN ; berdasar kisahnya pada Bunda berkali – kali mau nulis susah log in, akhirnya malas dan lupa password (edisi Kompasiana dalam Pembangunan).
- Khalillah Muta’ally: Aktifis Hidzbul Wathan, naik kelas 12 sempat ikut Jambore HW pada tahun 2015 ke Bantimurung, tanggal 12 ke solo ikut Mu’tamah HW, baru hafal dua juz salah satu cita – cita Kholillah ingin menjadi Hafidzah ( Penghafal Al Qur’an).
- As Sajjad M. Ali Z Abidin: Aktif dalam turnamen – turnamen wushu, berbagai event dia ikuti dan selalu menjadi Juara saat di SD, setelah di SMP dan sekarang kelas 8 lebih tertarik main drumband dan gitar ( ah . . . Bunda, tidak menyangka ada yang berminat pada keriuhan dan berisik).
- Sajaah Ash Shadiqah: Baru naik kelas 6 SD, bercita – cita ingin menjadi dokter dan penulis baru menulis lewat kertas sedikit – sedikit seperti catatan harian.
- Dzul Afaren Nasreen: Si bungsu kecintaan Ayah, baru naik kelas 4 dan ingin ngeblog semoga sesudah lebaran Bunda segera membimbingnya karena sepeninggal Ayah si kecil rajin membuat surat cinta dan surat rindu untuk Ayah. Biasanya Ayah yang mengantar ke Sekolah demikian saat pembagian rapor dan ke dokter periksa gigi rutin adalah Ayah yang mendampingi. Catatan dari Ibu Gurunya saat Bunda menyempatkan mengambil eapor bahwa Afaren sepeninggal Ayahnya di kelas sering melamun, katanya kalau di tanya secara perlahan ia akan berkaca – kaca menangis ia katakan dengan sendu : “rindu sama Ayah”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H