Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inspirasi Ramadan: Intan Rosmadewi, Ibu 12 Anak, Didik Anak dengan Contoh

4 Juli 2016   16:18 Diperbarui: 5 Juli 2016   22:57 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunda Intan Rosmadewi beserta keluarga

Intan Rosmadewi. Kami memanggilnya Bunda Intan atau Bunda saja. Beliau adalah seorang penulis cukup produktif di Kompasiana. Total sampai tulisan ini dibuat, sudah 195 artikel beliau buat dengan hampir 50 persennya masuk kategori pilihan. Bunda pun aktif mengikuti acara-acara komunitas, termasuk berkesempatan ikut tour ke pertambangan di Nusa Tenggara. Saya melihat Bunda Intan sebagai seorang sosok yang inspiratif.

Bunda Intan Rosmadewi - Ibu dengan 12 anak | Foto: Rifki Feriandi
Bunda Intan Rosmadewi - Ibu dengan 12 anak | Foto: Rifki Feriandi
Bagaimana tidak? Beliau ternyata memiliki dua belas anak. Dua belas, saudara. Bayangkan. Di kala saat ini seorang ibu hanya dan ingin memiliki anak cukup dua saja, beliau melahirkan dan mendidik dua belas putera dan puteri. Alangkah beratnya, bukan? Bukan itu saja. Di sela-sela membesarkan anak-anaknya, dan juga melakukan pekerjaannya sebagai seorang pendidik, Bunda pun masih keukeuh meneruskan jenjang pendidikan pasca sarjana. Beliau meraih gelar MPd sekitar lima tahun lalu.

Kompasianer Dzulfikar Al A'la, Kyai Muchtar Adam, Bu Kyai Siti Sukaesih, Bunda Intan Rosmadewi | Foto: Rifki Feriandi
Kompasianer Dzulfikar Al A'la, Kyai Muchtar Adam, Bu Kyai Siti Sukaesih, Bunda Intan Rosmadewi | Foto: Rifki Feriandi
Yang menarik saya untuk meminta izin berkunjung silaturahim ke rumahnya di Ciburial, Bandung 2 Juli 2016 kemarin, adalah kenyataan bahwa ada beberapa anak-anaknya yang juga suka menulis. Putera keduanya sudah tidak asing lagi di Kompasiana. Dia adalah Dzulfikar Al A’la, penulis produktif yang sering memenangkan lomba. Putera ke lima, Fawwaz Ibrahim – mahasiswa jurusan filsafat dan aqidah – juga menulis di Kompasiana dengan artikel berjumlah 100 buah, 70persennya masuk kategori pilihan. Juga anak ke delapan, seorang puteri – Hannah Siti Hajar Karimah – yang mulai menulis. Terakhir, ada Rara Muhammad – puteri ke tujuh – yang juga mulai menulis sejak April 2015 dengan 40 artikel.

Diari sebagai awal kesenangan menulis

Ketika lebih jauh ditanya apa resep memiliki anak yang suka menulis, Bunda tidak memberi jawaban jelas. Beliau tidak memiliki resep tersendiri. Saya mendapatkan kesan bahwa semuanya mengalir saja secara normal. Namun, saat berkomunikasi dengan anak-anaknya, Bunda terkadang mengusulkan mereka untuk membiasakan menulis diari. Bagi Bunda, menulis diari itu bagus karena anak dilatih untuk mengemukakan apa yang dirasakannya dan apa yang dipikirkannya. Itu adalah awal dari kesenangan aktivitas menulis.

Berilah contoh

Saya sempat mengeluarkan unek-unek bahwa anak-anak saya tidak punya bakat menulis. Dengan tegas Bunda menjawab “Biarkan saja. Kang Rifki nulis saja. Biar anak-anak melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Nanti juga sedikit demi sedikit mereka akan ikut”. Sebuah jawaban yang sederhana dan tepat. Biarkan anak melihat dari contoh. Biarkan anak merasa tertarik dengan sendirinya, sehingga jika pun mereka mengikuti dan melakukan aktivitas tersebut, mereka melakukannya dengan riang dan bahagia. Kalaupun mereka tidak melakukan aktivitas tersebut, bisa saja mereka tidak memiliki interest dalam aktivitas itu.

Akun Rara Muhammad | Foto: kompasiana.com
Akun Rara Muhammad | Foto: kompasiana.com
Apa yang Bunda kemukakan di atas, secara jelas tergambar dari tulisan putrinya, Rara Muhammad berjudul Menulis di Blog: Peluntur Duka Bagi Bunda. Dengan bahasanya yang cair dan khas anak muda, Rara menceritakan proses healing bundanya dari duka ditinggal terkasih, suaminya yang juga ayah Rara. Rara melihat bahwa menulis adalah peluntur duka bundanya. Yang menarik adalah Rara jelas-jelas melakukan pengamatan terhadap apa yang dilakukan bundanya. 

“Perlahan namun pasti Bunda bangkit. Bunda mulai beraktivitas seperti biasa, mengajar dan mengisi pengajian di beberapa masjid. Beliau pun mulai banyak menulis baik di laman Facebook-nya atau di Kompasiana. Lebih banyaknya tulisan mengenai kepergian Ayah, lama kelamaan rutin menulis artikel yang lebih panjang sesuai dengan gayanya sendiri. Hal apapun ditulis Bunda, semangat berbagi lewat tulisan memang cukup tinggi. Pintar menjalin silaturrahim sesama penulis dunia maya, Bunda pun rutin ikut event-event bersama Blogger Bandung”.

Dari satu alinea cerita Rara itu, terlihat apa aktivitas Bundanya yang sadar atau tidak sadar muncul sebagai sebuah contoh. Itulah aktivitas yang saya cetak tebal: menulis.

Demikian pula sebuah kalimat lucu dengan bahasa anak muda mencerminkan sebuah pesan dari aktivitas yang dijadikan contoh. “....Jika tidak begadang hingga malam, setidaknya shubuh hari sudah nongki-nongki cantik di depan notebook untuk menulis kembali...”.

Uyah tara tees ka luhur

Kalimat di atas adalah sebuah peribahasa Sunda, yang secara harfiah berarti “garam tidak pernah menetes ke atas”. Sebuah arti yang senada dengan peribahasa “Air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga”. Maksudnya adalah “pada umumnya sifat seorang anak mengikuti teladan orangtuanya”. Dan banyak kemungkinan bahwa ini yang terjadi pada Bunda Intan dan keluarga: aktivitas menulis itu sudah menjadi aktivitas turun temurun.

Tausiah Kyai Muchtar Adam di depan anak-mantu-cucu-buyut | Foto: Rifki Feriandi
Tausiah Kyai Muchtar Adam di depan anak-mantu-cucu-buyut | Foto: Rifki Feriandi
Hal ini saya temui pada saat mendapatkan kesempatan ikut berbuka puasa dengan Bunda Intan dan keluarga besarnya. Termasuk ayahandanya, Pak Kyai Muchtar Adam, Pimpinan Pesantren Qur’an Baabussalam, Ciburial, Dago. Dalam kesempatan berharga itu, saya menimba banyak ilmu dari Pak Kyai, termasuk memahami sebuah kebiasaan yang sangat positif: membaca dan menulis.

Di ruang tamunya yang sederhana, penulis melihat tiga rak buku penuh dengan buku-buku referensi dan literatur. Dari cerita Pak Kyai dan istrinya, banyak dari buku-buku itu didapatkan langsung dari tempat penerbitannya di luar neger, seperti Timur Tengah sampai Afrika. Tidak hanya itu saja, beliau bahkan selalu berusaha menemui ulama-ulama terkenal setempat untuk menimba ilmu. Di luar kegemaran membaca, Pak Kyai pun aktif menulis. Sudah 62 (enam puluh dua) judul buku yang beliau tulis.

Penulis mendapat kehormatan berbincang di ruang tamu yang penuh dengan buku | Foto: Rifki Feriandi
Penulis mendapat kehormatan berbincang di ruang tamu yang penuh dengan buku | Foto: Rifki Feriandi
Saat mengikuti tausiah menjelang berbuka, Pak Kyai menitipkan pesan kepada anak, mantu, cucu dan buyutnya untuk menulis. Karena dalam Surat Al “Alaq disebut “’allama bil qolam”. Qolam. Akan mulia dengan tulisan. Walaupun sudah mati, tulisan akan hidup terus. Beliau memberi contoh seorang ulama, Jalaludin as suyuthi yang menulis 600 buku dengan salah satunya Tafsir Ad-Durrul Mantsuur. “Kalian harus rajin menulis. Jangan buang-buang waktu. Kalo bapak bercerita 60 buku yang ditulis  ada sejarahnya, dari iqro. Membaca masyarakat, membaca situasi”

Sebagian buku karya Ayahanda Bunda Intan, Kyai Muchtar Adam | Foto: RIfki Feriandi
Sebagian buku karya Ayahanda Bunda Intan, Kyai Muchtar Adam | Foto: RIfki Feriandi
Mungkin Bunda Intan dan putera-puteranya yang bisa meyakinkan apakah aktivitas menulisnya berasal dari bakat yang diturunkan dari orang tuanya. Tetapi, saya lebih melihat bahwa apa yang coba diturunkan oleh Pak Kyai Muchtar adalah sebuah kebiasaan baik, berupa aktivitas menulis. Ayahnya suka menulis, anaknya pun mengikuti kebiasaan itu.

Melihat Bunda dan Kakeknya menulis, membuat cucu ikutan menulis. Pak Kyai suka menulis, membuat Bunda Intan – dan juga adiknya, Fajruddin Muchtar – penulis di Kompasiana pula, menjadi suka menulis. Bunda Intan menulis membuat beberapa orang puteranya pun ikutan menulis.

Bersama Bunda Intan dan adiknya yang juga menulis, Kang Fajruddin Muchtar (fxmuchtar) | Foto: Rifki Feriandi
Bersama Bunda Intan dan adiknya yang juga menulis, Kang Fajruddin Muchtar (fxmuchtar) | Foto: Rifki Feriandi
Bun, buatin blog dong!

Itu adalah kalimat permintaan dari si bungsu, anak ke 12 Bunda Intan yang kelas 4 SD. Sebuah permintaan yang menjadi tanda bahwa dua hal di atas, yaitu memberi contoh dan turunan kebiasaan, mulai memberi hasil ..... lagi. Sepertinya tinggal Bunda memfasilitasi permintaan si kecil itu dengan membuat “diari” berupa blog.

Your child will follow your example, not your advice

********

Catatan dari Bunda Intan

Keluarga Bunda Intan bersama Alm suami | Foto: dokpri Bunda Intan
Keluarga Bunda Intan bersama Alm suami | Foto: dokpri Bunda Intan
  1. Ritchie Ramadhan:  Baru menulis satu tulisan, akan tetapi Bunda berharap iapun bisa mengambil peluang menjadi penulis sehingga punya kesempatan untuk berkisah tentang pengalaman dan apapun yang berguna agar bisa di bagikan pada pembaca secara lebih luas.
  2. Dzulfikar Al’AlaDzulfikar satu – satunya putera Bunda yang menekuni dunia menulis hingga kini tulisan berjumlah 528 artikel salah satu tulisan yang menuai lebih dari seribu klik. Blog pribadinya didesain dengan sangat profesionalAroma harum dampak menulis banyak dan berulang kali ditebar Dzulfikar kepada adik – adiknya dan kepada keluarga besar Muchtar Adam.
  3. Hudaibiyah Al Faruqie: Bertugas di Banda Aceh, bagian karantina ikan di Bandara Sultan IskandarMudaalumni Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta di bawah kementerian Perikanan dan Kelautan.
  4. Mujahidah Raihanah: Alumni Sekolah Akademi Kesehatan. Sudah mengabdi selama beberapa tahun di RBC (Rumah Sakit Bersalin Cuma – Cuma Dompet Dhu’afa).
  5. Fawwaz Ibrahim: Kegiatan menulis bagi Fawwaz saat ini menjadi peluang mengasyikan dirinya untuk bisa  traveling gratis diantaranya ke Banyuwangi bersama Kementerian Pariwisata, salah satu tulisan yang cukup menyentuh pembaca: Aku Ayah dan Kompasiana.
  6. Raidah Shabirah: Alumni Pendidikan Bahasa Arab Univ. Pendidikan UPI tahun 2016 masih melamar ke beberapa sekolah di Bdg sebagai guru Bahasa Arab, heran juga ni satu anaknya Bunda penggemar drama Korea yang menyebar wabah negatif bagi adik – adiknya, hahaha . . . si Bunda jadi tertantang habis – habisan menasehati  agar jangan nonton film2 yang banyak menghabiskan waktu.
  7. Raadiyah MardiyyahSaat ini puteri Bunda ketujuh  tengah magang selama 3 bulan di RRI – Bandung sebagai script writter siaran bahasa Inggris Pro 2 FM, kuliah di Universitas Negeri Malang, aktif menulis di Kompasiana dan salah satu tulisan Didi ( panggilan harian di rumah ) yang sempat di apresiasi dan di komen Kang Pepih secara khusus adalah Lelaki empat Februari.
  8. Hannah Siti Hajar KarimahBaru satu tulisan, di Kompasiana  masih sibuk berkutat urusan masuk ke Perguruan Tinggi untuk yang kedua kalinya zonk masuk ke SBMPTN ;  berdasar kisahnya pada Bunda berkali – kali mau nulis susah log in, akhirnya malas dan lupa password (edisi Kompasiana dalam Pembangunan).
  9. Khalillah Muta’ally: Aktifis Hidzbul Wathan,  naik kelas 12 sempat ikut Jambore HW pada tahun 2015 ke Bantimurung, tanggal 12 ke solo ikut Mu’tamah HW,  baru hafal dua juz salah satu cita – cita Kholillah ingin menjadi Hafidzah ( Penghafal Al Qur’an).
  10. As Sajjad M. Ali Z Abidin: Aktif dalam turnamen – turnamen wushu, berbagai event dia ikuti dan selalu menjadi Juara saat di SD, setelah di SMP dan sekarang kelas 8 lebih tertarik main drumband dan gitar ( ah . . . Bunda, tidak menyangka ada yang berminat pada keriuhan dan berisik). 
  11. Sajaah Ash Shadiqah: Baru naik kelas 6 SD, bercita – cita ingin menjadi dokter dan penulis baru menulis lewat kertas sedikit – sedikit seperti catatan harian.
  12. Dzul Afaren Nasreen: Si bungsu kecintaan Ayah,  baru naik kelas 4 dan ingin ngeblog semoga sesudah lebaran Bunda segera membimbingnya karena sepeninggal Ayah si kecil rajin membuat surat cinta dan surat rindu untuk Ayah. Biasanya Ayah yang mengantar ke Sekolah demikian saat pembagian rapor dan ke dokter periksa gigi rutin adalah Ayah yang mendampingi. Catatan dari Ibu Gurunya saat Bunda menyempatkan mengambil eapor bahwa Afaren sepeninggal Ayahnya di kelas sering melamun,  katanya kalau di tanya secara perlahan ia akan berkaca – kaca menangis ia katakan dengan sendu : “rindu sama Ayah”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun