Home Visit TKB Hanifa sebagai Kelas Inspirasi KW2 | Foto: Rifki Feriandi
Beberapa hari ini dinding fesbuk menjadi ceria dengan postingan teman-teman dan aktivitas kelas inspirasinya. Kelas Inspirasi yang serentak dimulai saat Hari Pendidikan Nasional. Keren ya. Postingan teman-teman itu telah berhasil membuat 'iri' untuk bisa mengikuti jejaknya. Sayangnya, Kelas Inspirasi yang copyright ini belum bisa saya ikuti, selain karena telat mendapatkan infonya, juga sedang susah mencari waktunya.
Namun, tidak perlu bersedih. Menginspirasi tidak harus lewat wadah yang resmi. Kelas Inspirasi KW2 pun jadi!!!!
Seperti jamaknya, KW2 berarti bukan asli, menyerupai asli, tapi gak banget-banget mirip yang asli. KW2 pun biasanya harganya lebih murah dan lebih terjangkau. Dan begitulah maksud Kelas Inspirasi KW2: intinya menyerupai Kelas Inspirasi Resmi, pelaksanaannya gak banget-banget mirip yang asli, gampang dan tanpa biaya. Hanya diperlukan kreatifitas. Dan itu yang saya jalani: 'Kelas Inspirasi KW2: Home Visit TKB Hanifa, Pamulang'.
Don't say NO to this kid's (and the mother's) request
“Rabu bisa ya Yah pergi ke kantor siangan. Sebentar saja, paling dua jam-an”.
Begitu ‘rengek’ istri. Dia mendapat permintaan dari Bunda di sekolah si Ade agar si Ayah bisa bercerita tentang profesi kerjanya pada saat program acara “home visit” anak-anak TKB Hanifa hari Rabu itu. Awalnya saya sudah berusaha menolak dengan segala alasan, sibuk kerjaan lah, meeting lah dan lain-lain. Tapi, setelah dipikir-pikir, saya bisa saja menolak dan sepertinya anak istri juga tidak akan terlalu kecewa. Tapi, kapan lagi saya bisa membahagiakan anak dan istri dengan memenuhi permintaannya, yang besar kemungkinan tidak akan terulang lagi pada masa / usia itu. Lagipula, permintaannya tidak terlalu sulit toh. Akhirnya saya penuhi permintaan itu.
Inspirator mencari inspirasi
Tapi.....ternyata permintaan itu sulit juga. Saya kan belum pernah sekali pun bicara di depan anak-anak seusia TK. Bicara di depan umum sih sudah mulai biasa. Tapi bicara di depan anak taman kanak-kanak? Belum pernah sama sekali. OMG!!!!
Ya sudah. Satu-satunya jalan yaitu mendapatkan inspirasi langsung dari anak TK. Siapa lagi kalau bukan si Ade – si bungsu. Tak lupa juga minta "petunjuk" istri, yang notabene sering ke sekolah dan sedikitnya lebih tahu bagaimana harus berhadapan dengan anak TK.
"Begini aja Yah....”, kata istri. “Oh. Bagaimana kalau begini....” tanya saya. “Jangan Yah, mendingan begini....”. “OK! Dek, kalo nanti begini, kira-kira seru gak?”, “Oh, iya deh. Tapi nanti Ade begini yah”. Pokoknya obrolan seperti itulah. Intinya, saya disarankan untuk bicara agak pelan, jangan terlalu cepat – maklum, bicara saya mirip lah dengan kecepatan Valentino Rossi. Lalu, intonasinya jangan terlalu keras – karena dalam satu kondisi, terkadang si Ade saja tidak bisa membedakan jika saya sedang marah atau cuman memberi tahu. Juga jangan lupa untuk terus tersenyum – karena “wajah ayah galak, takut” – kata si Ade.
“Ingat ya Yah, jangan panggil mereka dengan kata “anak-anak”. Panggil mereka dengan “teman-teman”. Karena itu yang dilakukan Bunda-bunda”, pesan istri yang terakhir. Dan terus terang, ini saran yang harus selalu saya ingat, karena jika tidak mendengar pesan ini, saya sudah siap-siap menggunakan kata “anak-anak”.
Oh, so cute. They are only a little kids, tapi ......
Lalu, satu rombongan pertama datang. Anak-anak TK dengan ciri khasnya: lucu-lucu. Tangan anak-anakTK yang kecil-kecil itu lalu mencium tangan khas cium tangan terhadap guru, meski wajahnya menghadap ke mana. Oh, so cute. They are only a little kids, tapi ..... Lalu.....pecahlah kesepian itu oleh teriakan-teriakan, obrolan-obrolan di antara mereka. Tidak hanya berteriak, tetapi mereka lincah mengekplorasi segala sudut rumah. Mereka penuh dengan energi. Seru melihat mereka.
Ketika rombongan kedua datang, gemparlah dunia. Anak-anak makin aktif, terus berceloteh, bergerombol ke sana ke mari. Semua masih dalam toleransi, karena mereka masih anak-anak.
Komando: Cukup satu kata
Seorang guru TK itu ternyata sangat powerful. Semua keriuhan khas anak-anak itu sekejap senyap ketika mereka mendengar Bunda-nya berkata: “BERSIAP!”. Dengan satu kata lembut itu saja, anak-anak langsung duduk membentuk lingkaran dengan rapi. Ada sih satu dua anak yang tidak bisa diam, namun wajar kan.
Bunda lalu membuka kata dengan memberi aba-aba untuk bersalam dan berdo’a. Lalu, saya pun bersiap berlaku sebagai Yanda – panggilan untuk guru laki-laki.
Tour de’house
Sebelum bercerita, dengan maksud agar tidak terlalu serius, saya mulai dengan mengajak anak-anak berkeliling rumah. Ada dua area yang saya ingin kenalkan kepada mereka, yaitu kamarnya si Ade – anak saya – yang juga temannya mereka. Yang kedua adalah perpustakaan.
Tidak ada maksud khusus membawa mereka melihat kamar si Ade, karena tidak ada sesuatu yang istimewa dari fisik kamarnya. Saya hanya ingin mendekatkan anak-anak dengan anak saya saja melalui visual. Ada dua hal yang saya jelaskan saat itu. Pertama mengenai piala-piala yang dipajang. Saya tekankan bahwa piala-piala itu adalah hasil perlombaan di sekolah yang kebetulan anak saya menangkan – seperti juga dimenangkan anak-anak yang lain. Tapi saya kemukakan bahwa anak saya pun sering pulang dengan tangan kosong karena kalah. Jadi, kalah menang ya tidak apa-apa. Hal kedua yang saya tunjukan adalah buku-buku di meja anak saya. Saya ingin menunjukan bahwa seperti yang dilakukan di sekolah, anak saya juga suka baca buku di rumahnya.
Apakah pembicaraan saya didengar mereka? Iya, tentu saja...meski cuman sebentar, karena mereka – yang mayoritasnya anak perempuan – lebih tertarik ke tumpukan boneka kecil di sudut kamar si Ade,
Nah, di area perpustakaan saya ingin memperlihatkan buku-buku kepunyaan ayah dan ibu anak saya. Saya sedikit hubungkan buku di perpustakaan itu dengan kebiasaan membaca yang akan menambah pengetahuan dan menjadi pintar. Ucapan yang khas buat anak kecil kan, meski sebenarnya terlalu mainstream.
Apa sih profesiku? Bingung aku?
Setelah berkumpul lagi, saya mulai bercerita mengenai profesi. Istri dan bunda di sekolah sebenarnya ingin saya bercerita mengenai “ayah sebagai penulis”. Tapi saya ragu, karena profesi saya kan bukan penulis. Saya hanya suka menulis. Jadi saya mengambil keputusan menceritakan profesi sebagai insinyur dengan hobi menulis.
Menjelaskan profesi insinyur kepada anak TK sangat tidak mudah. Satu-satunya cara yang terlintas saat itu adalah insinyur yang membangun gedung atau membuat mesin. Gedung kan mudah memvisualisikannya. Saya mengambil contoh gedung-gedung tinggi yang ada di Jakarta. Pekerjaan insinyur adalah yang membangun gedung itu. Bisa jadi banyak insinyur yang protes, karena membuat atau membangun gedung adalah kerjaan kontraktor atau tukang, sedangkan insinyur adalah mendesain dan mengawasi. Tapi bahasa itu, mendesain dan mengawasi, tidak saya pakai karena anak-anak pastilahtidak paham.
Terus terang saya membawakan cerita tentang profesi itu hanya sedikit saja karena anak-anak sedikit sulit menangkap. Jadinya, saya ubah pendekatannya ke tanya jawab dengan penekanan kepada belajar, membaca, enjoy melakukan sesuatu untuk keberhasilan, tidak terlalu fokus ke profesi. Tanya jawab pun diusahakan mereka yang bertanya. Kalaupun saya bertanya untuk memancing, saya lakukan dengan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya atau tidak, diikuti pertanyaan susulan sedikit terbuka. Ini dilakukan karena saat saya memberi pertanyaan langsung terbuka, mereka cenderung susah menjawabnya.
Demikian pula dengan cerita tentang aktivitas menulis. Saya perlihatkan satu buah piala yang saya punya: Juara 1 menulis tentang Taman Mini yang diadakan Kompasiana. Saya kemukakan kebanggaan saya itu karena saya bisa menulis, dan membandingkan piala saya dengan piala si Ade. Ternyata saya bisa seperti si Ade, dapat piala. Ini dimaksudkan selain si Ade memiliki kebanggaan karena prestasinya diakui, juga memperlihatkan bahwa ayahnya dan si Ade pun berlomba berprestasi. Saya sebenarnya bisa menggunakan buku saya sebagai acuan keberhasilan menulis, tetapi saya pikir anak kecil belum begitu mengerti mengenai hal itu. Namun demikian, penekanan saya lebih kepada menghubungkan kegiatan membaca, bercerita dan menulis dengan enjoy dan dinikmati.
The power of finger doll
Kelas inspirasi KW2 saya diakhiri dengan memberikan sedikit cendera mata. Saya minta semua anak mengacungkan telunjuknya sambil menutup matanya. Kemudian, satu demi satu saya sarungkan boneka jari yang sudah disiapkan ke tiap jari telunjuk anak-anak. Ya, boneka jari yang cukup murah itu menjadi oleh-oleh buat mereka. Di samping itu, saya berharap boneka itu bisa memfasilitasi mereka bercerita kepada orang tuanya. Anak-anak berteriak senang. Dan ini ternyata membuat beberapa anak berlaku “curang” dengan membuka matanya, melihat boneka-boneka yang saya pegang, dan “memesan” bonekanya – “Om, saya pingin yang pink”. Ah, dasar anak.
Ada admirer, pesawat mendarat di Monas, Bu Raden cilik dan ketemu kembaran
Ada beberapa hal menarik yang terjadi di Kelas Inspirasi KW2 ini. Ternyata saya mendapatkan admirer a.k.a pengagum juga loh. Ya, di beberapa kesempatan, dua tiga orang anak selalu membuntuti saya. Ada saja yang mereka ceritakan atau tanyakan. Hal-hal sepele, termasuk tentang kegiatannya minggu kemarin bersama ayah-ibunya, keinginannya, prestasinya. Pokoknya seperti curhat. Di posisi ini saya harus bertindak seperti ayah mereka. Jadi ya saya coba dengarkan dan coba memberi komentar, sesedikit apapun komentar itu. Dan tidak lupa ingat dengan saran istri “senyum ya Yah”.
Salah satu dari mereka ternyata curhat yang lucu, yaitu dia “kemarin kita naik pesawat ke Monas”. Entahlah apa maksudnya. Saya tidak boleh bersuudzon jika dia berkata sombong. Bisa jadi anak itu mau mengemukakan sesuatu yang lain, tapi masih belum bisa mengartikulasikannya dalam bahasa yang benar. Itulah proses, bukan?
Di satu area lain, beberapa anak membentuk kelompok sendiri dan sibuk dengan boneka-boneka di tangan. Satu orang yang terlihat sedikit dominan kemudian mengatur, berbagi peran. Dia juga menentukan dongeng apa yang diceritakan. Satu anak mencoba berargumentasi, sementara anak lain cenderung diam nrimo. Lalu, mengalirlah cerita-cerita mereka. Inilah yang paling amazing. Bagaimana seorang anak mengemukakan sebuah cerita yang dia ucapkan tanpa dia sendiri persiapkan sebelumnya. Istilah di percakapan klub pidato Toastmaster adalah impromptu. Dia – atau mereka – seperti memetik sendiri ide cerita dari langit, dan lalu langsung diceritakan di depan temannya.
Dan,....cerita itu menyambung dengan cerita temannya. Bahkan, di beberapa segmen saya lihat seorang anak itu begitu menghayati peran, termasuk bagaimana mereka menggerakan boneka sehingga tingkahnya persis seperti sedang main petak umpet. Di sini saya melihat cikal bakal Bu Raden cilik - penerus Pak Raden. Bisa jadi bukan sebagai pendongeng, tetapi setidaknya sebuah dongeng dan cerita akan membawa hal positif di masa depannya.
Sebelum pulang, kita berkesempatan berfoto bersama. Seperti biasa, saya pun sengaja berselfie ria. Saat itu, saya sengaja berselfie dengan seorang anak, namanya Meru. Saya kok seperti melihat kembaran sendiri yang berbeda usia jauh. Hadeuh.
Itulah pengalaman saya – ayah dari seorang anak TK, yang sejenak merasakan pengalaman menjadi guru taman kanak-kanak. Aktivitas berbagi cerita ini rasanya bisa dikategorikan sebagai Kelas Inspirasi yang bisa dilakukan siapa saja. Dengan demikian, semua orang bisa berbagi inspirasi tanpa menunggu sesuatu yang resmi.
Ayo kita ikuti Kelas Inspirasi KW2. Ayo kita lakukan Kelas Inspirasi sendiri, setidaknya untuk lingkungan terdekat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H