Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Anak Takut Cabut Gigi? Ini yang Bisa dilakukan

5 Agustus 2015   08:01 Diperbarui: 5 Agustus 2015   08:11 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - gigi anak diperiksa (Shutterstock)

"Ade! Giginya digoyang-goyangin. Sering-sering ya, biar cepat lepas." Begitu yang selalu dikatakan si Kakak kepada si Ade di sebulan terakhir. Dengan sok bijak, Ade yang sudah wisuda usia balita selalu menjawab, "Sudah, Kak, nggak usah cerewet. Ade ngerti kok."

Si Kakak, seperti juga bapaknya, sangat gemas melihat gigi si Ade yang sudah sangat goyah, tapi tidak ada tanda-tanda copot. Mau dipaksa dicabut, takut ada efek. Kalau dibiarkan terlalu lama, gigi gantinya sudah nongol. Takut nanti tumbuh terpaksa, jadi tidak rapi. Mendingan dibawa ke ahlinya: dokter gigi.

Entah karena naluriah anak kecil atau karena informasi dari teman-temannya, setiap kita bicara mengenai dokter gigi dia menperlihatkan ketidaknyamanan. Ada rasa ketakutan. Beberapa kali dia bertanya, "Disuntik gak?", "Sakit gak?" Benar. Mungkin rasa sakit yang dia takutkan.

Seperti orangtua lainnya, kami - saya dan istri - pun berusaha membujuknya. Segala cara kami lakukan, utamanya yang membuat dia nyaman. Sebisa mungkin kami tidak pakai cara menakut-nakuti. "Gak sakit kok, De." "Ayah juga dulu gitu, agak sakit sih tapi dikiiit." "Gak disuntik kok, cuman diolesin jely, ada rasa stroberinya lo." "Temen Ade juga sama ke dokter gigi. Dia hebat loh. Ade juga hebat." Begitu kira-kira. Cara-cara terakhir dikatakan istriku, karena terus terang ayahnya mah tidak tahu kalo cabut gigi memakai jeli biar tidak sakit.

Si Kakak, yang terpaut usia cukup jauh, juga memberikan semangat. Meski sebagai kakak yang cukup jahil terkadang kelepasan bercandanya kelewatan, "Ntar kalo gak dicabut, wajah Ade jelek loh." Dasar anak.

Akhirnya, kemarin si Ade mau dibawa ke dokter gigi. Syarat awalnya yaitu harus bareng ayah, ibu, dan kakak. Kolokan dia. Kakaknya memberi saran agar dia nonton youtube Shaun the Sheep saja saat diperiksa. Saran cukup ampuh. Si Ade langsung mau pergi hanya dengan ayah. Bahkan saat menunggu dokter dia tetap ceria meski bawelnya minta ampun, terutama bertanya tentang profesi dokter gigi. "Ade boleh jadi dokter gigi gak, Yah?" "Ntar kalo Ade jadi dokter gigi, Ade kerjanya di rumah sakit ini ya, Yah?"

Masuk ruang periksa, Ade mulai memperlihatkan ketidaknyamanannya. Muncul rasa takutnya kembali. Bahkan disuruh duduk oleh tante dokter spesialis gigi anak pun dia agak mengkeret. Dia merengek ingin ditemani. "Ayah di sini." Rasa takutnya kentara sekali. Obrolan yang dibuka dokter ramah khas obrolan terhadap anak tidak mempan. Saya lalu memosisikan diri di depan dia, sebelah tiang mesin periksa.

Saat disuruh membuka mulut, Ade pun membuka mulut. Terpaksa, meski tidak dipaksa. Matanya bergulir-gulir terus, meminta "dibelaskasihani". Lalu mata saya tertuju pada tangannya. Tangan mungil si Ade tegang. Keras. Terlihat sekali dia tekankan tangan itu ke tempat dia duduk. Tangannya lalu mengepal. Padahal saat itu dokter hanya memeriksa saja, tidak melakukan apa-apa. Kepalan tangan itu bukanlah kepalan tangan menahan kesakitan, tetapi salah satu cara melawan ketakutan.

Spontan saya mendekati dia. Saya ambil tangannya. Saya buka kepalannya. Lalu saya gengam. Dan lalu saya taruh dua jari saya di atas genggamannya. Persis seperti yang biasa dilakukan orang-orang kepada bayi baru lahir, memberikan satu jari dan lalu bayi itu menggenggamnya. Saya biarkan Ade menggenggamnya. 

Efeknya ternyata langsung terasa. Otot-otot di tangannya mengendur. Sorot matanya menjadi tenang, tidak bergulir ke sana kemari panik. Dan dia lebih rileks. Tambah rileks karena saya mengajak dia ngobrol ngalor-ngidul agar dia konsentrasinya terpecah. Bahkan sampai giginya dicabut pun dia cuma tersentak sedikit.

"Sakit gak, De?" saya coba tanya dia. Dengan mantap dia menjawab, "Nggak." "Cieee...," itu yang saya katakan di batin. Keren dia. Gak ada tangis. Gak ada sakit. Yang ada malah tanya, "Lah, tadi kok Ade gak liat Youtube waktu diperiksa. Mana hape Ayah?" Saya hanya ketawa saja. Bahagia mendengarnya. Bahagia juga mendengar dokternya berkata kalau gigi Ade putih dan gak ada bolong sama sekali - karena Ade tidak suka permen kali. Dan bahagia juga saat Ade dengan sedikit sombong berkata, "Yah. Besok di sekolah Ade mau bilang sama teman-teman kalo ke dokter gigi itu gak sakit." Cieeee..... cie.....

######

Temans. Sentuhan tangan orang tua menurut saya adalah faktor utama hilangnya ketakutan anak saya dan munculnya kenyamanan dia sehingga pemeriksaan dokter berjalan lancar. Sentuhan tangan seorang bapak mungkin juga memberikan dampak kenyamanan lebih besar, mengingat frekuensi sentuhannya yang tidak seintensif seorang ibu. Juga dampak rasa terlindungi oleh figur bapak mungkin juga lebih dalam dirasakan. Serta perbedaan respon si anak pun berpengaruh: jika dengan ibu cenderung manja menjurus menjadi lebih cengeng, tapi tidak dengan bapak.

Itulah kenapa pada saat-saat darurat seperti ini, peran seorang bapak mungkin lebih dibutuhkan. 

Yah, setidaknya dengan ayah membawa anak ke dokter juga sedikit membantu ibunya yang mengasuh dia seharian. Lagi pula, seorang ayah biasanya lebih bisa mengelola rasa panik dibanding ibu, jika suatu kondisi tertentu berubah tidak seperti yang diinginkan.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun