Saat Bu Minah turun dari taksi, tetap dengan Iwan di gedongannya, saya hanya diam. Sepanjang perjalanan tersisa menuju rumah, kembali saya seperti orang cengeng. Inginnya saya menangis. Saya melihat sebuah persembahan makna kehidupan yang dalam. Begitu dalam, berupa sebuah kasih seorang ibu yang tak berujung.
Bagaimana seorang perempuan seperti Bu Minah - yang sering diidentikan dengan kelemahan, terpampang begitu kuat. Kuat fisik dalam menggendong dua puluh delapan kilogram berat anak bungsunya yang harusnya sidah dewasa di hari terik. Â Kuat mental dalam menghadapi kenyataan hidup yang keras dengan anak yang cacat selama tujuh belas tahun dan sepertinya akan begitu terus. Dan yang paling kentara adalah pertontonan rasa kasih sayang seorang ibu yang begitu dahsyat, tetap memberikan kasih yang tidak terputus meski tahu bahwa anaknya ada kemungkinan tidak bisa sembuh dan tidak akan memberikan sesuatu.
Persis seperti syair lagu anak:
Kasih IBU kepada beta,
Tak terhingga sepanjang masa,
Hanya memberi TAK HARAP KEMBALI,
Bagai Sang Surya menyinari dunia.....
Kawan.
Marilah kita coba maknai pertemuanku dengan Bu Minah dan Iwan di atas. Kasih ibu tak berujung. Berbaktilah kepada mereka karena mengasihi kita. Jagalah orang tua kita, terutama ibumu. Rasulullah mengajarkan kita untuk berbakti dan berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat.
Janganlah kita membuat orang tua menangis karena kecewa karena setitik air matanya adalah doa. Bahkan jelas Allah bersabda untuk mengasihi orang tuamu di masa tuanya, dan bahkan sampai detail untuk jangan berkata 'Ah'...'.
Kawan.
Jangan tunggu Lebaran datang. Ambil telepon sekarang, dan bicara dengan ibumu: 'Mam, maafkan aku anakmu. Sepanjang hidupku mungkin aku pernah membuatmu kecewa, membuat hatimu menangis, membuat air matamu menetes. Sungguh Mam, aku sadar kasih sayangmu tulus. Dan aku harapkan kasihmu lagi untuk secara tulus memaafkanku'.
Ambil kunci mobilmu, dan kemudikan ke rumah ibumu yang kecil itu. Di tengah kesendiriannya, bersimpuhlah, menangislah dengan tulus. Meminta maaflah: 'Bunda, aku anakmu yang tidak tahu diri, sekarang bersimpuh memohon maafmu. Besar kecil kesalahan pernah kubuat. Kuingin dengan besar hati kau maafkan anakmu ini'. Kaget dan menangis mungkin adalah respon ibumu. Juga bangga, tatkala melihat kesungguhan anaknya memohon maaf, yang dirasakan lebih tulus dibandingkan dengan sungkeman ritual Lebaran.
Atau ambil air wudu, shalatlah dan berdoalah bagi ibumu yang sudah tidak mungkin diajak bicara lagi dan sudah tidak pada tempatnya dimintai ampunan, karena telah tiada: 'Ya Ilahi, kesadaran diri datang terlambat. Umi sudah pergi, namun aku anaknya belum sempat melihat dia berurai mata bahagia. Aku belum sempat memohon maaf secara tulus darinya, dan aku sudah tidak punya kesempatan lagi. Tapi kuasaMu untuk melihat ketulusan makhlukMu ini Ya Allah. Maafkan kesalahanku terhadap ibuku, kecil besar, sengaja atau tidak. Limpahi rahmat ibuku dengan cahaya kasihmu, karena dia telah mengasihiku dengan tulus. Rabbi, ampunilah dosa kedua orang tuaku, dan sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku waktu kecil.'