Dan jawabnnya cukup mengharukan. 'Dia tahu ibu-bapaknya kali dari baunya'. (Sekarang saya berpikir jika pertanyaan itu mungkin agak menohok atau menyakitkan, tapi saat itu saya hanya penasaran).
'Apa sudah dibawa ke dokter?'
Ternyata setelah fisik dan kesehatan Iwan bertambah buruk, Bu Minah membawa Iwan ke RS Cipto, yang lalu akhirnya harus mendapatkan perawatan.
'Dua minggu sekali Om'
Saya langsung tertegun. Masya Allah, dua minggu sekali. Berapa besar biayanya yang harus disiapkan.
'Ditanggung pemerintah Om. Ya, kalo seperti saya gini mah, harus berani malu jadi orang miskin. Ke Cipto pakai kartu miskin kelurahan. Yang sekarang sering repot nyari uang untuk ongkos saja ke Cipto'.
'Ibu, ibunya Iwan? Bapaknya masih ada?'
'Ada Om. Yah, kerja begitu Om. Di Glodok. Jualan kaset yang sepuluh ribu tiga'.
Saat itu Iwan tambah gelisah. Lalu dengan sok tahu saya berkata 'Kayaknya Iwan bosen ya Bu?'
Jawaban Bu Minah cukup mengagetkanku.
'Bukan om. Dia lagi senang, senang karena naik mobil'. Sebuah jawaban yang begitu menyentuh nurani, apalagi diutarakan oleh Bu Minah dengan wajah berseri seorang ibu yang sedang melihat anaknya yang cacat fisik dan mental sedang menikmati kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang hanya bisa dibaca oleh seorang ibu.