Kala dua puluh lima wanita disuruh bercerita…
bagaimana merajut Indonesia
Muncullah kisah-kisah tulus sederhana
Tentang persona …..
Tentang mama….
Tentang ananda….
Tentang keluarga…..
Tentang bahagia…..
Merajut keluarga
Merajut bahagia
adalah merajut Indonesia
Sederhana, konservatif tapi mengena
Itulah kesan dari buku ini. Buku ini menceritakan pengalaman dan pikiran para penulis wanita terhadap berbagai segi kehidupan. Topik yang dikemukakan bukanlah topik-topik berat, melainkan tentang segala hal yang sangat natural dan dekat dengan kehidupan, baik itu berupa kegalauan, kekhawatiran, nostalgia maupun harapan. Ceritanya ringan, dari mulai soal kebiasaan antri, kebiasaan salah menyebut “tangan bagus”, kebiasaan terlambat sampai dengan pembahasan tentang obat tradisional. Meski di satu sisi terasa topiknya cenderung konservatif, namun bahasannya mengena di mana pembaca akan mendapatkan makna dari setiap tulisannya.
Saat baca “Jadi anak Jerman rasa Indonesia” karya Gaganawati Stegmann, kita akan dibawa tersenyum dengan bagaimana penulis berusaha menerapkan kebiasaan-kebiaasaan yang Indonesia banget kepada anaknya, mulai dari jangan membantah orang tua, duduk yang manis, minta ijin pergi dan pulang tepat waktu dan kebiasaan baik lainnya, karena “berkali-kali berbuat baik maka kebaikan akan mengikuti tak hanya sekali-kali’.
Pembaca pun sepertinya akan setuju dengan cerita Lis S dalam tulisannya “Antri? Emangnya gue pikirin” kala anaknya dengan berani “menyanyi” pada seorang perempuan penyerobot antrian: “Tante, maaf ya, di sekolah dulu nggak diajarin antri ya? Aku aja di TK dulu udah diajarin antri lho..”. Setuju, karena memang sebenarnya tidaklah terlalu sulit membiasakan hal-hal positif dilkukan oleh anak asal ada kemauan memberikan contoh dan bertindak sebagai role model.
Cerita sederhana, termasuk cerita obat tradisional untuk ambien pun bisa didapat berdasarkan informasi dari mbakyu penjual rujak petis seperti cerita Dee Rumahkayu “Obat tradisional untuk ambien, batuk dan demam”.
Kupasan dari berbagai sudut pandang
Sebuah judul yang terlihat biasa saja “Aku belajar dari Mama” karya Arek Tembalangan menarik untuk dibaca. Tulisan itu menceritakan kenangan beliau sebagai seorang anak yang bangga memiliki ibu yang bekerja. Sebuah sudut pandang yang tidak biasa, di kala banyak hati pastinya lebih mendukung seorang wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Berbeda, karena “rasa” kebanggaan itu ada dalam diri anak, dan bukan si ibu. Dan ternyata rasa kebanggaan itu menjadi modal belajar tentang bagaimana “menyeimbangkan hidup, berkeluarga dan bekerja”. Demikian pula tulisan setelahnya, “Sekali masinis tetap masinis” karya Cay Cay, yang justru memberi sebuah cara pandang berbeda tentang dukungannya terhadap cita-cita seorang anak yang terlihat biasa-biasa saja. “Aku hanyalah busur” katanya.”..mempersiapkan anakku memasuki masa depannya”. “Daripada kamu jadi orang besar atau pejabat tetapi korupsi dan menipu rakyat, lebih baik kamu jadi masinis tapi bisa membawa berkat’.