“Pengen ke Belitung lagi Yah!” , begitu rengekan si Adek dalam beberapa hari belakangan. Cukup kaget juga karena tidak biasanya dia meminta pergi ke suatu tempat. “Habis Ade suka. Pengen Yah!”. Hmmm… ingatan saya lalu berjalan hampir setahun lalu, kala pertama kali kami – Ade, Kakak, Ayah, Ibu, menginjakkan kaki di Tanjung Pandan.
Saat itu, selepas tiba di Bandara Hanandjoeddin, kami mampir di sebuah warung kecil Aten dan menikmati sajian khas Belitung: Mie Belitung. Mie khas seperti diberi kuah sapo itu terasa enak di lidah, apalagi diiringi segelas minuman khas pulau itu: es jeruk atau jeruk hangat. Dugaan saya akan menyeruput minuman berwarna oranye pupus karena jeruk yang dipakai adalah sejenis lemon. Segar, apalagi menemani porsi mie yang pas untuk perut yang belum terlalu lapar, serta pelayanan yang cepat. Insya Allah, warung itu halal - seperti jawaban yang saya dapat ketika bertanya.
Kunjungan pertama kami selanjutnya adalah Belitung Timur tempat Pak Ahok pernah menjabat Bupati. Perjalanan ditempuh cujup lama karena jaraknya cukup jauh. Namun demikian kami menikmatinya karena jalan yang dilalui sangat mulus, dan pemandangan hijau pohon meneduhkan mata - termasuk pohon-pohon yang dicat warna-warna penanda kami memasuki wilayah Belitung Timur.
Belitung Timur terkenal dengan cerita Laskar Pelanginya. Karenanya, kami mengunjungi dua tempat wisata yang berhubungan dengan novel itu di Gantung, yaitu replika sekolah Muhamadiyah serta Museum Kata - yang terletak tidak jauh (katanya) dari rumah penulis novel itu: Andrea Hirata. Kunjungan ke dua tempat ini akan mengasyikan bagi mereka yang pernah membaca dan kagum akan novelnya. Namun jangan khawatir bagi mereka yang tidak tahu novel itu karena baik replika sekolah maupun museum adalah tempat yang bagus untuk berfoto. Anda bisa memuaskan bernarsis ria dengan mengambil sudut foto yang berbeda sepeti yang kami lakukan.
Adek sama Kakak di Museum Kata. Sudut kiri atas adalah rumah Andrea Hirata (dok.pri)
Bermain peran di kelas Ikal Museum Kata (dok.pri)
Saat jam makan tiba, sempatkan makan masakan khas Belitung di Fega Seafood Restaurant. Landscape yang indah terbuka ke danau bekas tambang melengkapu makanan khas sayur / sop gangan yang disajikan dengan ikan tenggiri bakar, cumi asam manis dan kangkung cah. Yummy. Bahkan si Ade makan lahap sambil emmandang si kakak yang lagi narsis pura-pura merenung di atas dek mengapung.
Sajian makan siang Gangan dengan landscape aduhai (dok.pri)
Setelah itu, kami lewati saja rumah Pak Ahok yang juga menjual batik khasnya. Perjalanan diteruskan ke Pantai Manggar, Puncak Manggar dan Bukit Samak. Daerah ini cukup sepi namun kami menikmatinya.
Kami kembali ke Tanjung Pandan menjelang maghrib. Sengaja kami minta langsung menuju hotel agar kami bisa beristirahat dan si Ade ingin segera berenang. Alhamdulilah ternyata kami bisa menikmati keindahan terbenamnya matahari detik demi detik sambil menemani dia berenang. Subhanallah indahnya. Berbahagialah mereka yang tinggal di tepi pantai atau puncak bukit yang bisa menikmati indahnya semburat cahaya ciptaanNya yang begitu indah tiap hari.
Sunset dilihat dari hotel (dok.pri)
Sunset sambil menemani Ade berenang (dok.pri)
Karam (dok.pri)
Sebelum beranjak ke peraduan, kami diajak makan malamdahulu di sebuah reatoran khas dengan suguhan masakan Belitung. Rumah Makan Belitong Timpo Duluk. Saya sangat menyukai interior rumah makan itu yang dihiasi ornamen-ornamen menarik. Makanannya pun lezat disajikan di atas piring jadul. Sangat memanjakan saya yang seoran jaduler sejati :)
Esoknya, kami melakukan wisata bahari. Saya sebenarnya paling tidak suka berwisata laut. Sederhana saja alasannya: tidak bisa berenang dan mudah sekali mual. Tapi entah kenapa setiap melihat foto pulau dengan warna lautnya yang hijau, membuat saya demikian semangat berkunjung ke Belitung. Dan hari itu, saya lakukan segala persiapan sebaik mungkin, termasuk obat-obatan, minyak kayu putih dan tentu saja plastik buat muntah. Tidak lupa kami pakai jaket pelampung.
Cuaca Alhamdulillah cerah pagi itu. Angin di pantai Tanjung Kelayang tempat perahu tertambat cukup kencang, namun itu hal biasa. Beranjak masuk perahu kayu, saya melihat sekeliling. Dari titik awal ini saja saya sudah melihat pemandangan yang bagus. Di kejauhan batu-batu besar berdiri elegan menghadap air hijau bening dan pasir pitih dengan keramaian orang-orang beraktivitas di atasnya. Mengherankan bagi saya saat itu karena saya tidak mencium bau amis khas air laut. Udara malah tercium segar.
Tanjung Kelayang. Di titik awal pun sudah terlihat indah (dok.pri)
Tujuan pertama hari itu adalah sebuah pulau yang disebut Pulau Pasir. Pulau Pasir sering disebut pulau timbul tenggelam adalah pulau sangat kecil yang harus segera dikunjungi sebelum air pasang dan menutupi keseluruhan pulau. Meski kecil, kami amat sangat menikmati pulau ini. Pasirnya sangat bersih. Air lautnya super bening. Di sekeliling pulau kami bisa melihat pemandangan sangat indah, picturesque, dan warna air laut yang melingkarinya indah antara hijau muda menuju hijau tua. Yang lebih membahagiakan lagi adalah kenyataan bahwa si Ade - yang dikhawatirkan takut air - justru tertawa riang apalagi kala dia bisa berpose dengan Patrick si bintang laut hidup asli yang ternyata akan lembek jika mati dan keras jika masih hidup. Beruntung pagi itu perahu kami datang paling awal sehingga kami bisa menikmati pulau itu lebih lama sebelum lalu menjadi ramai sekali dengan kedatangan beberapa perahu sekaligus.
Pulau Pasir yang indah, sangat cocok berfoto riang ceria (dok.pri)
Horeeee....bintang laut hidup!! (dok.pri)
Kakak memegang bintang laut, Ade berlari bebas mengejar Ibu (dok.pri)
Selanjutnya kami menuju Pulau Batu Berlayar. Dari jauh pulau ini sudah memiliki keunikan sendiri berupa batu-batu besar berdiri dengan gagah, eksotis dan juga elegan bak layar sedang berkembang. Kali ini yang heboh bukan si Ade, melainkan si Kakak yang langsung meminta difoto atau bertongsis ria di puncak batu. Saya harus sering mengingatkan dia untuk berhati-hati berselfie di ketinggian. Hati-hati pula dengan kaki Anda pada saat turun dari perahu karena bisa jadi telapak kaki Anda mendarat pada koral tajam, seperti yang saya alami.
Batu berlayar tempat kita bernarsis (dok.pri)
Pulau Lengkuas sudah menanti, dengan mercuar yang sering dilihat fotonya. Pantai putihnya cukup luas, amat tepat untuk bermain pasir bersama, Ade, Kakak, Ayah sama Ibu, meski si Ayah tahu-tahu sudah pergi berkeliling pulau mencari sudut-sudut pengambilan foto yang bagus. Memang pemandangannya bagus. Laut hijau, pasir putih, batu besar, nyiur kelapa, menara tinggi dan orang-orang dengan wajah ceria - temasuk beberapa wanita muda yang tidak mau turun ke air dan tertawa sambil digendong suaminya.
Pasir halus di Pantai Pulau Lengkuas (dok,pri)
Perahu pengunjung mulai berdatangan, sebagian digendong turun (dok.pri)
Ade mengobrol dengan anak yang entah siapa dan kapan kenalnya (dok.pri)
Setelah hujan berenti, kami lalu menjauh sedikit dari Pulau Lengkuas dan berhenti di suatu tempat dengan pemandangan laut yang menakjubkan. Saya yang berpelampung lalu memberanikan diri bersnorkeling bersama Kakak. Tidak mudah ternyata memakai alat snorkeling bagi yang tidak terbiasa. Air asin masih saja tercicip. Meski sempat terbawa arus keras menjauh dari perahu dan ditolong pengemudi kapal, namun saya menikmati pemandangan bawah laut yang indah langsung dengan mata kepala sendiri. Koral-koralnya bagus, ikan-ikan yang lucu berwarna-warna lalu lalang. Bahkan si Ade dan ibunya yang berada di atas perahu bisa melihat ikan-ikan itu di kebeningan air laut menghijau sambil memberi makan dengan biskuit yang diremas. Ah, alangkah indahnya alam Indonesia.
Nikmati hijau nya laut yang bening dan bersih (dok.pri)
Nikmati juga butiran pasirnya yang halus (dok.pri)
Jam makan siang tiba. Kami lalu dibawa ke Pulau Kepayang. Pulau ini tidak seramai pulau lain. Pasirnya berbeda dengan pantai lain karena lebih keras dan besar. Airnya pun – meski jernih – agak berbuih. Namun di pulau ini terdapat beberapa rumah sebagai vila dan gubuk-gubuk di bawah pepohonan yang rimbun. Sangat cocok untuk makan siang, yang dibawa oleh pengemudi perahu dan dihangatkan di pulau ini. Berdiri di pantai dekat perahu, kita bisa melihat ikan-ikan lucu berkeliaran di sekeliling betis kita. Kami istirahat cukup lama di sini, sekaligus membersihkan diri, mandi dan berganti baju. Memang di Pulau Lengkuas pun terdapat fasilitas mandi, namun air di sana masih memakai air payau. Sementara itu di Pulau Kepayang ini, kamar mandi yang sederhana ini sudah memakai air tawar.
Nikmati juga rimbunnya pohon termasuk akar bakau dan buahnya di Pulau Kepayang (dok.pri)
Perahu tertambat dekat batu besar. Indah juga ya (dok.pri)
Ade berenang dengan latar Batu Kura-kura (dok.pri)
Menjelang sore, kami pulang diiringi cuaca yang tiba-tiba mendung. Badai tiba. Cukup menegangkan juga tatkala ombak tiba-tiba membesar, lalu angin menerpa dan hujan turun lumayan deras. Kondisi seperti ini adalah biasa bagi nelayan di sana. Untuk mempercepat sampai di darat, maka diputuskan perahu bertambat di Tanjung Binga – bukan di Tanjung Kepayang tempat awal kita berangkat. Alhamdulillah, kita sampai darat dengan selamat, diiringi hujan cukup lebat.
Batu kepala burung memandang nuansa hijau muda ke tua (dok.pri)
Tak bosan-bosannya memandang hijau laut, pohon kelapa dan batu besar (dok.pri)
Sebelum pulang ke hotel, dengan harapan hujan mereda, kami sempatkan mampir ke Pantai Tanjung Tinggi. Pantai ini adalah lokasi pengambilan gambar filem Laskar Pelangi. Kami diajak ke beberapa area yang bagus untuk berfoto dengan batu-batu besar eksotis, seperti terbelah, ada batu pipih, ada batu yang seolah mau rubuh seperti domino. Kami tidak terlalu fokus di pantainya yang cukup ramai. Meski pasir pantainya halus sekali, pasir paling halus yang saya rasakan selama di Belitung, airnya bening dan pemandangan latar belakang dengan laut yang hijau sangat indah, namun sayang tempat ini sudah dicemari dengan sampah-sampah plastik. Sampah ada di mana-mana. Sangat disayangkan, karena tempat ini begitu bagus dan potensial. Tempat ini satu-satunya tempat / pantai di mana saya temukan sampah bertebaran. Sayang.
Tibalah akhir dari perjalanan. DI hari ketiga, kami putuskan untuk berleha-leha dulu di pagi hari. Kami biarkan si Ade puas-puasin berenang – karena bagi anak usia empat tahun liburan itu ya berenang di hotel. Menjelang siang, kami menuju Rumah Adat Belitung. RUmah adat yang cantik ini cukup menjelaskan liku-liku dan sejarah serta budaya Belitung. Namun rasanya rumah adat bisa dibuat lebih menarik lagi serta dilengkapi dengan penambahan replika, figur atau pertunjukan yang lebih bercerita dan dikemas lebih menarik. Seperti saya duga, si Kakak terlihat cukup bosan.
Rumah Adat Belitung - bisa dipermodern (dok.pri)
Tingkah si Ade di dalam Rumah Adat (dok.pri)
Perjalanan dilanjutkan ke Museum. Di bangunan khas jaman dulu yang berada di bekas komplek perkantoran PT Timah ini tersimpan banyak peninggalan yang terkait dengan pengeboran timah yang dahulu merupakan penghasilan utama daerah ini dan mata pencaharian utama warganya. Di sini terdapat laci-laci dan rak berisi berjenis-jenis batu mineral dan bahkan maket penambangan timah saat dahulu masih beroperasi. Beranjak ke halaman belakang, kami dikejutkan dengan lapangan yang besar tempat terdapatnya beberapa koleksi binatang – termasuk buaya yang dipakai dalam filem Laskar Pelangi. Ternyata halaman belakang bangunan ini menyambung dengan kebun binatang mini daerah Belitung. Menutup kunjungan di museum ini, istriku mendapatkan kejutan membahagiakan, karena dia mendapatkan buah “huni” yang selama ini dia idamkan langsung dari pohonnya.
Entah museum apa namanya, di bekas perkantoran PT Timah (dok.pri)
Akhirnya Ibu menemukan buah yang dicari selama ini langsung dari pohonnya (dok.pri)
Sambil berkendara menuju bandara, kami mampir sebentar di Pantai Tanjung Pendam. Rencananya kami akan ke pantai ini di hari pertama untuk melihat sunset. Tanjung Pendam adalah daerah wisata yang cukup ramai pada akhir minggu. Pantai dengan pasir yang tidak terlalu putih ini memang menghadap ke horison laut sehingga menjadi posisi yang bagus untuk melihat matahari terbenam. Karena berada dekat keramaian, dan juga bersebelahan dengan pelabuhan bongkar muat, maka lokasi ini akan ramai, terlihat dengan beberapa lapak pedagang yang saya temui. Sekelebat mungkin lokasi ini sedikit mirip dengan Ancol minus Dufan.
Tanjung Pendam ternyata bukan tujuan akhir kami. Kami ternyata mampir sebentar ke sebuah danau kecil berwarna biru muda. Indah sekali, apalagi dikelilingi pagar dari kayu serta beberapa tumbuhan berwarna di pinggirnya. Namun ternyata ada keindahan itu muncul dari sebuah “kerusakan”. Danau itu adalah bekas galian tambang timah yang konon katanya berkedalaman 30m. Bekas galian timah pun masih bisa dilihat di sebelah danau biru itu.
Keindahan di balik kerusakan bekas tambang (dok.pri)
Akhirnya, kami harus pulang. Kembali ke kampung halaman di Pamulang. Dengan membawa momen indah untuk dikenang. Momen kebersamaan keluarga menyatu dengan indahnya alam semesta. Dengan diantar pesawat Sriwijaya yang datang dan pulang tepat waktu, saya bawa kesan itu untuk teman-temanku, termasuk seorang bule dan berkata: 'Hei. Indonesia tidak hanya Bali kawan. Pantai itu tidak hanya Kuta. Coba deh ke Belitung. Rasakan keindahannya'. Dan ternyata “hasutanku” berhasil. Kawan buleku akhirnya berkunjung ke sana sebulan kemudian beserta istri dan keluarganya. Dia pulang membawa kekaguman yang sama. It is sooo beautiful.
Pulang dengan bahagia (dok.pri)
Masya Allah. Alhamdulilah. Terima kasih ya Allah atas limpahan indahnya Indonesia. It is wonderfulindonesia.
“Ade. Jadi siap mau ke Belitung lagi?”
####
Beberapa lokasi di atas di-link-an ke review penulis di tripadvisor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H