Mohon tunggu...
Rifki Aunurahman
Rifki Aunurahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang mahasiswa HI Starta 1

Mempelajari ilmu gado gado dengan segala normatif dan abstraknitas yang menyertainya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Uang: Parasit Demokrasi Indonesia

1 Januari 2024   11:22 Diperbarui: 3 Januari 2024   10:29 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik Uang: Parasit Demokrasi Indonesia  

Politik uang menjadi ancaman serius bagi demokrasi berintegritas. Praktik politik uang di Indonesia berdasarkan laporan riset dari Burhanuddin Muhtadi (2019) menduduki peringkat ketiga di Dunia yaitu 33% atau 62 juta dari daftar pemilih 187 juta daftar pemilih, di bawah Benin (37%) dan Uganda (44%). Berdasarkan dari fakta riset tersebut, dapat dilihat bahwa praktik politik uang merupakan hal yang umum dan bukan lagi praktek tabu dalam masyarakat serta peserta pesta demokrasi. Politik uang bukan hanya sekedar pelanggaran etika dan hukum dalam pesta demokrasi, namun juga menjadi parasit bagi demokrasi dan pemerintahan yang berintegritas. 

Dalam pesta demokrasi, politik uang yang menjadi norma umum, serta menjadi persyaratan kemenangan membuat para calon yang ikut dalam pesta demokrasi melakukan berbagai cara seperti bekerja sama dengan pemilik modal agar mendapatkan kemenangan. Hal ini membuat peserta pesta demokrasi yang menang tidak tunduk pada kontrak rakyat yang menjadi prinsip utama demokrasi, namun tunduk pada kesepakatan dengan para pemilik modal. Kemunculan dan Perkembangan Politik Uang Praktik politik uang dapat dilacak hingga era Kolonial Belanda. 

Kemunculan politik uang pada era kolonial disebabkan oleh peralihan sistem pengangkatan Kepala Desa dari keturunan menjadi pemilihan bebas yang didasarkan pada nilai-nilai tradisi. Secara teori peralihan ini seharusnya membentuk demokrasi rasional dan mengikis tradisi despotisme dan perilaku feodal, namun dalam prakteknya peralihan ini dimanfaatkan oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk memilih pemimpin yang loyal dan juga dimanfaatkan oleh para kapital tradisional untuk mencapai kekuasaan melalui pembelian suara. 

Berdasarkan laporan dari koran era kolonial, praktik politik uang yang digunakan oleh para kapital diantaranya dilakukan dengan cara membuka rumahnya untuk didatangi oleh masyarakat dengan menyuguhkan makanan jamuan, menyogok masyarakat agar memilih, dan memaksa para warga untuk memilihnya melalui tukang pukul. 

Praktik politik uang ini diwariskan hingga era sekarang dengan berbagai perkembangan namun memiliki esensi dan dasar yang sama dalam menarik suara rakyat dengan cara cara tidak etis dan melanggar hukum. Masifnya politik uang di era Reformasi disebabkan oleh peralihan sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka. Hal ini dimulai pada pemilihan umum 2004 yang merubah sistem proporsional tertutup menjadi semi proporsional terbuka, dan pada 2009 sepenuhnya berubah menjadi proporsional terbuka. Perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka pada pemilihan 2009 dimanfaatkan oleh para calon legislatif untuk menjadikan personal branding sebagai cara menuju kemenangan alih alih berdasarkan platform ideologis partai politik sebagai media meraup suara (Muhtadi, 58; 2019). 

Pemilihan umum 2014 adalah tahun pemilu yang memalukan integritas demokrasi. Hal ini disebabkan tingginya praktik politik uang yang digunakan untuk meraup suara para pemilih. Berbeda dengan pesta demokrasi 2009 ketika para calon legislatif dan eksekutif tidak memiliki persiapan matang dalam memanfaatkan momen proporsional terbuka. Para calon legislatif dan eksekutif pada pesta demokrasi 2014 memiliki persiapan penuh dalam memanfaatkan momen proporsional terbuka yang tidak lagi terpengaruh dengan nilai nilai ideologi kepartaian dalam basis utama namun menjadikan ketokohan sebagai basis utama. Praktik politik uang yang menjadi bibit parasit demokrasi dan efektivitas pemerintahan pada 2014 menjadi sangat vulgar. Para calon legislatif dan eksekutif yang ikut dalam pemilihan dengan terang terangan melakukan politik transaksional dengan masyarakat, tokoh tokoh masyarakat, dan para kapital. Hal ini membuat wajah pemilihan umum seharusnya berprinsip pada integritas serta nilai nilai falsafah Pancasila ternodai dengan kepentingan material dan populisme yang menghancurkan. 

Praktik politik uang pada pemilihan umum pada 2019 tidak kalah masifnya dengan pemilu 2014. Hal ini disebabkan semakin kompetitifnya pemilihan umum pada pemerintahan 2019, serta penambahan abang batas parlemen naik dari 3,5% menjadi 4% (Sjafrina, 48; 2019). Politik uang dalam pemilihan umum tidak hanya melalui politik transaksional dengan masyarakat, dan para tokoh tokoh berpengaruh namun juga dengan internal partai sendiri yaitu mahar politik. Mahar politik telah menjadi isu sensitif baik di internal dan eksternal, meskipun publik sudah mengetahui isu ini melalui berita berita resmi dan gosip gosip yang tersebar bagaikan jalaran api. 

Potensi praktik politik uang pada pemilihan umum 2024 sanggat mungkin terjadi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa politik uang telah menjadi hal yang umum dan tidak dianggap sebagai praktik yang tabu bagi masyarakat dan para peserta pesta demokrasi. Potensi praktik politik uang pada pesta demokrasi 2024 tidak hanya melalui metode konvensional, namun berinovasi dengan memanfaatkan media digital. Hal ini didasarkan pada pengalaman pemilihan umum 2019 dimana pengunaan media sosial untuk mengiring opini semakin massif, dan persebaran serta pertumbuhan penguna media sosial di masyarakat Indonesia. Dampak Politik Uang; Semangat Ideologis Kepartaian Politik uang telah merongrong integritas demokrasi dan efektifitas pemerintahan. 

Politik uang yang membudaya dalam tradisi kontemporer demokrasi Indonesia telah menjadi parasit yang merusak harmoni integritas dan melubangi pemerintahan. Hal ini disebabkan oleh harga yang dibayar dari politik uang yang bersifat transaksional yang melibatkan tiga unsur penting yaitu masyarakat, tokoh tokoh berkepentingan, dan partai politik. 

Politik uang telah menyebabkan ketidakefesienan pada pemerintahan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kemenangan para anggota legislatif maupun pemimpin eksekutif serta para pembantunya didasarkan oleh peran kepentingan politik uang dalam masa pemilihan umum. Ketidakefesienan pemerintahan dan birokrasi dibuktikan dengan lambatnya pola pembangunan di daerah daerah Indonesia, terlepas dari kucuran dana yang diberikan oleh pemerintahan pusat, serta contoh nyata dari produk politik transaksional adalah mantan MENKOMINFO yang terjerat kasus korupsi dan tidak memiliki kompetensi IT. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun