Membaca berita Goenawan Mohammad (GM) yang mengembalikan uang dari Bakrie Award ke Freedom Institute, mengingatkan pada postingan saya di Notes via Facebook pada Januari 2010 lalu. Opini saya tentang Century Gate ketika itu ternyata terbukti, ketika Sri Mulyani (SMI) mengundurkan diri sebagai Menkeu RI. Ini terjadi karena ... "dimanipulasi sedemikian rupa sehingga mereka seolah-olah dihukum. Bukan masalah Sri Mulyani dan Boediono saja, tetapi bagaimana menganiaya orang yang tak bersalah dan Bakrie ada di belakang itu!!" kata GM tegas. Itu salah satu alasan yang melatarbelakangi sikap GM untuk mengembalikan hadiah dari Award tersebut.
berikut posting nya:
Jenderal-Jenderal
Jenderal Macbeth diramal 3 penyihir bahwa ia akan menjadi Raja Skotlandia kelak. Sebuah ramalan yg berusaha diwujudkan Sang Jenderal dengan pedangnya sesegera mungkin.
Suatu malam, Raja Duncan menginap di rumah Jenderal Macbeth. Tanpa membuang kesempatan, malam itu juga Macbeth membunuh Raja Duncan, saat Sang Tamu Agung sedang lelap tertidur. Demi kekuasaan Jenderal tak tau untung ini membunuh Rajanya, yang Ia tahu benar bahwa Sang Raja begitu menyayangi dan percaya padanya. Tragedy of Macbeth ditulis Shakespeare, yg adalah salah satu karya termahsyur sekaligus terpendek miliknya.
Di cerita lain, di Kitab Perjanjian Lama, terpapar cerita Daud dan Bethsheba. Di mana Daud yang ketika itu bertakhta senagai Raja Jerusalem, jatuh cinta pada seorang wanita yg telah bersuami, Bethsheba namanya. Kala itu slogan “Cinta Tak Harus Memiliki” belum populer sepertinya. Daud cinta pada Bethsebha, dan Ia ingin memiliki Bethseheba sepenuhnya. Dan dengan kekuasannya, Daud pun merencanakan sesuatu yg keji untuk menyingkirkan kerikil kecil dalam sepatunya yg selama ini membuat langkahnya tertatih dalam mereguk cinta Bethsebha. Pada saat perang akan terjadi, Daud memerintahkan Panglima Perangnya untuk menempatkan Uriah, Suami Bethsebha, di garis terdepan. Akhir cerita, Uriah pun tewas dengan sukses, misi selesai, Daud pun bisa menikahi Bethsebha yg telah berstatus janda.
Dua cerita diatas memberi pesan pada kita bahwa manusia cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Makhluk yang kelakuannya di tentukan oleh emosi dan nafsu kata Thomas Hobbes, mencoba mendefinisikan manusia. Padahal tidak ada manusia yang berwenang atas manusia lain, meskipun satu manusia memiliki kekuasaan (seorang Raja misalnya, seperti Daud). Kekuasaan hanyalah kenyataan fisik dan sosial, tidak memuat wewenang apapun, termasuk wewenang akan hidup-mati seseorang (Thomas Aquinas).
Tapi akan berbeda kalau dua kisah itu dilihat dari sudut pandang Niccolo Machiavelli. Dalam Il Principle, ia merumuskan panduan lengkap bagaimana seharusnya seorang Raja Agung bersikap dan bertindak atas kerajaan beserta rakyatnya. Ia mengatakan membunuh sahabat, mengkhianati teman sendiri, tidak beriman pada Tuhan, tidak memiliki rasa kasihan, kesemua hal itu sah dilakukan dalam konteks merebut dan mempertahankan kekuasaan dan menggapai cita-cita. Tindakan Daud menyingkarkan Uriah pastilah dibenarkan oleh Machiavelli, karena Daud melakukannya untuk menggapai mimpinya, yakni memperistri Bethsheba. Pun dengan Jenderal Macbeth, ia percaya pada nujum dan ramalan bahwa ia akan jadi Raja Skotlandia, maka tak segan lah Macbeth membunuh Rajanya, yg adalah sahabat karibnya.
Dalam kasus Century, ada indikasi telah muncul Jenderal Macbeth versi Indonesia modern. Mencoba melemahkan atau boleh jadi mencoba mengkudeta pemerintahan yg sekarang ada. Melahirkan ketidakpercayaan rakyat pada eksekutif adalah langkah awalnya. Jenderal Macbeth ini (baca Menteri) mencoba mempolitisasi kasus Century. Jenderal yg dulu sohib Presiden punya dendam sepertinya . Mungkin karena kalah pemilu. Mungkin bisnisnya banyak dicekal atau dipersulit oleh Jenderal Presiden yg lain. Atau mungkin karena tidak dipilih Presiden lagi di Kabinetnya. Presiden pantas waspada, karena Macbeth mengaku mendukung pemerintah, nyatanya tidak. Musuh dalam selimut.
Diakui Centurygate memang cukup membuat pemerintah ketar-ketir. Legislatif bahkan mendesak presiden untuk menonaktifkan 2 Jenderal andalannya. Tapi Presiden menolak. Tindakan bagus. Salah satu sikap yg dianjurkan Machiavelli dalam Il Principle, dimana jika seorang Pemimpin ingin mendapatkan loyalitas dan kerja optimal menterinya, presiden mesti loyal dan percaya pada para menterinya terlebih dahulu.
Untuk alasan Demokrasi, Keadilan, dan Transparansi, investigasi pun dilakukan. Pansus dibentuk. Calon-calon terdakwa dipanggil dan dimintai keterangannya. Terkesan menghakimi memang, seolah-olah Pansus kumpulan orang suci, yg selalu benar dan berusaha menegakkan keadilan. Begitulah memang kalau ingin mencari muka terhadap rakyat. Legislatif Indonesia ingin kembalikan kepercayaan rakyat kepada mereka. Mumpung. Mumpung ada kesempatan.
Sekarang biarlah Demokrasi bekerja. Memang inilah tujuan Montesquieu menggagas Trias Politica, agar ada "separations of powers" dalam penyelenggaraan negara, kerja Eksekutif diawasi Legislatif.
Lalu bagaimana nasib 2 Jenderal andalan Presiden? Mereka masih berstatus saksi. Hanya, masyarakat kadung terhasut, mungkin Macbeth yang menghasut. Image mereka sebagai birokrat kalangan profesional yg bersih dan reformis mulai memudar. Bagaimanapun, sebagai 2 tokoh penting dalam memutuskan penyelamatan Century, mereka kudu bertanggung jawab atas tindakannya.
Karena 2 Jenderal itu bukan Mesiah ataupun Nabi seperti Daud. Dimana Daud sebagai Nabi, punya Legitimasi Religius, pembenaran atas apa yg telah ia perbuat. Walaupun tindakannya salah dan melampaui batas penilaian moral. Ia utusan Tuhan. Karenanya Ia mampu, kalau Ia mau, dengan berdalih apa yg dilakukannya sudah kehendak Tuhan.Sementara 2 Jenderal itu, mereka bukan siapa-siapa. Hanya Jenderal-Jenderal yang, mungkin, akan menjadi tumbal Jenderal Macbeth dalam usahanya memperoleh Takhta dan Kekuasaan.
P.S: Di post kan pada 16 January 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H