"Seeer...., darahku kok kayaknya mengalir deras. Jantungku berdegup kencang", ucapku sambil mendramatisir suasana.
"Mulai alay deh nih cewek...", kata temanku kesal.
"Jadi gini lho jeng. Aku kan sudah lama ingin tahu tentang minimarket yang namanya Alfamart itu. Cuma selama ini aku cuma diam aja. Tidak berani ngomong sama mama. Nah, lalu tanpa disangka and diduga, tiba-tiba mama kok ngajak aku masuk, dan berbelanja di minimarket Alfamart tersebut, bagaimana aku jadi nggak norak gitu lho. Maklumlah jeng, namanya juga masih kecil", jawabku membela diri.
"Udah-udah, buruan ceritanya, Banyak banget sih reff-nya. Ntar lagi kita sampai kesekolah. Jangan bikin aku penasaran dengan kisah yang nggak selesai ya... nggak lagi-lagi", ancam kawanku dengan nada serius.
"Yaa...yaa...yaa. Okelah kalau begitu. Lanjutkan...", kataku dengan gaya sekena-nya saja.
"Tahu nggak, kesan apa yang pertama kali aku rasakan saat masuk ke Alfamart?", tanyaku pada kawanku.
"Au ah", jawab kawanku singkat.
"Rasanya sueeejuk tau. Kan pakai AC. Nggak kayak warung tempat aku dulu sering belanja, diluar dan didalam toko sama gerahnya. Mana raknya banyak debu lageee", ucapku menerangkan.
"Apalagi kalau dibandingkan dengan pasar becek yang ada di dekat rumah kita itu. Pernahkan kamu kesana?", tanyaku pada sang kawan.
"Pernah..., sekali diajak mami-ku. Udah gitu kapok deh. Gimana nggak kapok, pulang-pulang nyuci sepatu dan celana yang belepotan lumpur basah campur sampah pasar, mana sebelahnya tukang ikan ama cumi lagi, bisa bayangin nggak aroma baju dan sepatu aku waktu itu...", kata kawanku menimpali.
"He...he...he..., Ya DL, derita loe, jangan bawa-bawa aku ya", kataku balas menyukuri "penderitaannya".